Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"BANGSA Palestina dibiarkan sendiri," ucap Tony Clifton, kepala
biro majalah Newsweek di London. Berada di Beirut ketika kota
itu dikepung Israel, wartawan ini merasa amat prihatin. Ia
menyadari hanya segelintir orang di dunia luar yang menjerit dan
meratap agar pembunuhan dihentikan. "Orang Palestina menyangka
Rusia akan membantu, bangsa-bangsa Arab akan menolong, opini
dunia akan menyumbangkan sesuatu. Tapi dunia nampaknya
bersimpati pada Israel. Pembantaian yang dilakukan Israel
disiarkan lewat tv dan pemberitaan media massa. Tapi tidak
seorang pun bertindak. Karena itulah buku ini saya tulis." Buku
yang berjudul Tuhan Yang Menangis, beredar di Inggris awal Juni
ini.
Penjelasan tersebut diucapkan Clifton kepada majalah The Middle
East edisi Juni, yang beredar, pekan lalu. Dalam kesendiriannya,
Palestina, menurut Clifton, justru mendapat simpati dari gerakan
Israel Damai Sekarang. Dalam buku itu dikutipnya apa yang
diungkapkan penyair Palestina, Muin Bseisso. "Ironi terbesar itu
menjadi amat terasa justru karena untuk perlakuan keji yang kami
alami satu-satunya bangsa yang protes hanyalah orang Israel."
Tony Clifton, wartawan Newsweek kelahiran Australia itu,
terus-terang mengaku pro-Palestina. Dalam hal apa? "Menurut
hemat saya, tidak akan tercipta perdamaian di Timur Tengah,
kecuali orang Palestina mempunyai negara sendiri. Saya percaya
PLO mewakili bangsa itu dan Yasser Arafat seorang pemimpin yang
baik." Penulis yang dapat mencurahkan seluruh simpati dan
pendapatnya tanpa tekanan-tekanan pihak atasannya di Newsweek,
berkata ia mengharapkan reaksi keras dari pihak Israel. "Saya
akan sangat kecewa bila tidak ada reaksi dari kelompok Zionis,"
katanya.
Buku yang ditulis Clifton itu jelas-jelas anti-Begin dan
anti-Sharon. Di situ juga ia menganalisa bahwa perang Libanon
itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan orang-orang
Palestina ataupun Libanon. "Setelah membaca, mendengar,
bertanya, saya sampai pada kesimpulan bahwa penghancuran
Libanon, pembunuhan 25.000 penduduk sipil, dan kematian 500
prajurit Israel semata-mata akibat tindakan yang menyimpang,"
ungkap Clifton. Dia berpendapat Israel bertekad mencaplok Tepi
Barat sebelum bangsa Arab, AS, dan Eropa dapat bersama-sama
memperjuangkan sebuah negara Palestina. Wartawan Newsweek ini
tidak sependapat dengan Arafat yang percaya sebuah negara
Palestina akan berdiri dalam waktu 3-5 tahun mendatang. Tapi dia
yakin bahwa sekali waktu bangsa Arab akan menang. "Mereka lebih
kaya, lebih banyak, dan mulai terdidik. Pada akhirnya angka akan
menentukan."
Mengapa judul bukunya Tuhan Yang Menangs? Idenya datang dari
sebuah lelucon Palestina. Konon, Reagan, Brezhnev, dan Arafat
diterima menghadap Tuhan. Reagan bertanya kapan Presiden AS akan
memerintah dunia. Tuhan menjawab 200 tahun lagi. Reagan
menangis. Brezhnev bertanya kapan seluruh dunia jadi komunis.
Tuhan menjawab 250 tahun lagi. Brezhnev pun menangis. Akhirnya
Arafat bertanya, kapan bangsa Palestina memperoleh tanah air
mereka? Kali ini justru Tuhan yang menangis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo