Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Merayap dari bawah, didukung dari atas

Awalnya adalah kelompok gerakan bawah tanah.Kini, front penyelamatan islam (FIS) memenangkan pemilu.Dukungan dari lapisan bawah dan para intelektual. tujuan mendirikan negara islam belum terwujud.

25 Januari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"JIKA orang Aljazair ditanya dalam suasana bebas, apakah mereka menghendaki negara Islam, saya kira mayoritas akan menjawab 'tidak'," kata seorang aktivis Islam fundamentalis Aljazair. Pada akhir 1988 itu, aktivis Islam fundamentalis sendiri meramalkan, untuk tampil ke permukaan mereka masih harus menempuh jalan panjang. Waktu itu pun mereka berterus terang pada wartawan The Middle East, belum berani membentuk partai, meski Presiden Chadli Bendjedid sudah memberikan isyarat bakal diberlakukannya sistem multipartai. Mereka masih sangsi, apakah akan mendapat pengikut. "Sebagian besar rakyat Aljazair acuh tak acuh pada politik," kata seorang aktivis gerakan Islam Aljazair yang bermukim di Paris. Maka, sungguh ajaib, hanya kurang dari dua tahun, pada pemilu lokal Juni 1990, Front Penyelamatan Islam yang baru dibentuk pada Maret 1989 menang. Dari 1.500 daerah pemilihan, 825 di antaranya dimenangkan partai Islam fundamentalis itu. Apa yang terjadi? Ketika akhirnya kelompok Islam fundamentalis membentuk partai, Front Islamique du Salut (FIS), Front Penyelamatan Islam, ternyata tak cuma mendapat dukungan dari lapisan bawah, juga dari para intelektual. Ada yang menduga, sebenarnya para intelektual bergabung dengan FIS bukan karena mendukung programnya, melainkan karena ingin mengalahkan Front de Liberation Nationale (FLN), Front Pembebasan Nasional, partai berkuasa sejak Aljazair merdeka, 1962. Apa pun sebab dukungan pada FIS itu, bagaimanapun pesimistisnya mereka bahwa mereka bisa menang bila membentuk partai, akhirnya menghadapi pemilu lokal 1990 para pemimpin FIS bergerak dengan tenaga dan pikiran penuh. Abassi Madani, Ali Belhadj, dan Abdelqader Hachani, tiga pemimpin populer dalam FIS sepakat bergerak di dua tempat. Pertama di permukiman kaum miskin. Kedua, para intelektual pendukung FIS diminta berkampanye di universitas dan sekolah dan di lembaga-lembaga lain. Dan FIS sukses. Begitu hasil pemilu lokal diumumkan, bahwa FIS menang, Aljazair kaget. Partai-partai yang kalah, termasuk FLN, segera melancarkan tuduhan bahwa FIS melakukan intimidasi terhadap para pemilih. Tapi pemerintah, yang sudah menerapkan reformasi politik, tak mau begitu saja tunduk pada tuntutan tanpa bukti. Pada pers, Presiden Bendjedid mengumumkan keabsahan hasil pemilu itu. "Pemerintah memerlukan oposisi untuk menunjukkan kesalahan-kesalahannya," kata Bendjedid. "Sudah terlalu lama negeri ini memotong kegiatan politik." Protes segera reda. Dan partai-partai lawan FIS segera menghibur diri, bahwa kemenangan FIS sebenarnya semu. "Orang Aljazair tak mendukung program FIS," kata Hocine Ait Ahmad, pemimpin Front des Forces Socialites (FFS), Front Kekuatan Sosialis. Kemenangan FIS cuma bersifat "mistik", katanya. Sikap yang agak meremehkan FIS itu ternyata harus dibayar pada pemilu nasional putaran pertama, 26 Desember lalu. Sekali lagi, dengan mengejutkan FIS memperoleh hampir 48% suara. Para pengamat sudah memastikan, pada putaran kedua yang semestinya diselenggarakan 16 Januari lalu, FIS bakal menang mayoritas. Sebagaimana terjadi pada pemilu lokal 1990, hasil pemilu nasional pun diprotes. Serikat Pekerja Aljazair mengorganisasikan 100.000 kelompok sekuler turun ke jalan, untuk minta pemerintah menunda pemilu. Mereka yakin, jika FIS menguasai parlemen, gagasan negara Islam bukan lagi sekadar khotbah sembahyang Jumat di masjid-masjid, tapi akan diterapkan di seluruh Aljazair. Tapi, sekali lagi, Presiden Bendjedid menolak mencampuri pemilu. Suatu hal yang membuat ia mendapat simpati dari para aktivis FIS. Cuma, akhirnya tangan militer bergerak, Bendjedid dipaksa mundur, dan pemilu dibatalkan, empat hari sebelum dilaksanakan. FIS sebelumnya adalah gerakan bawah tanah Islam fundamentalis. Dalam tiap kampanyenya saat sembahyang Jumat di sekitar 9.000 masjid di Aljazair, gagasan negara Islam itu selalu dicanangkan. Program memang bukan daya tarik FIS di kalangan pendukungnya. Tema yang diangkat FIS umumnya berkisar pada pemberantasan kemiskinan akibat pemerintahan FLN yang korup, sambil menjanjikan pemisahan sekolah pria dan wanita, diharuskannya wanita muslim memakai busana muslim, larangan penjualan alkohol, dan lain-lain. Jadi, kampanye FIS memang simpel dan langsung. Dan itu sudah cukup untuk menarik perhatian massa pendukung FIS, yang sebagian besar adalah kelompok muda dan penduduk yang buta huruf. "Memilih FIS berarti memilih Tuhan, dan melawan FIS berarti melawan Tuhan," begitulah bunyi slogan FIS. Lapisan tengah pendukung FIS terdiri para pengusaha kecil dan menengah yang frustrasi. Mereka yang tidak punya koneksi di kalangan atas punya rasa dendam pada birokrasi pemerintah FLN yang menghambat perkembangan usaha mereka. Kelompok inilah yang merupakan sumber dana FIS, di samping bantuan dari Arab Saudi, dengan harapan akan mendapatkan imbalan bila FIS berkuasa. Mungkin untuk memelihara dukungan kelompok pengusaha itu, FIS sejak awal sudah berjanji akan menerapkan ekonomi liberal. "Ekonomi liberal bukan sesuatu yang menakutkan bagi kami," kata Aldelqader Moghni, imam di Masjid Es Sunna, salah satu masjid besar di Aljier. Di lapisan atas adalah para pemimpin FIS yang terdiri dari kelompok ulama dan cendekiawan. Mewakili kelompok cendekiawan adalah Abbassi Madani, seorang sosiolog lulusan London. Sedang dari kelompok ulama adalah Ali Belhadj. Kedua tokoh yang kini berada dalam tahanan itulah yang mendirikan FIS pada bulan Maret 1989. Saat ini yang menjabat Presiden FIS adalah Aldelqader Hachani, seorang insinyur perminyakan. Sumber ulama FIS datang dari lulusanlulusan pendidikan sekolah agama di Al Azhar, Mesir, yang memang merupakan pusat gerakan Islam fundamentalis (lihat Islam Fundamentalis yang Belum Beruntung). Mereka biasanya berlatar belakang pedesaan dan berpandangan sempit. Sedangkan para cendekiawan biasanya datang dari mereka yang berpendidikan matematika dan teknik, yang menemukan kesamaan cara berpikir secara eksak dengan cara umat Islam fundamentalis menjelaskan soal akhirat yang serba pasti. Bila ditengok lebih ke belakang, sebenarnya ajaran Islam tidak bisa dilepaskan dari tumbuhnya gerakan nasionalisme Aljazair. Tokoh-tokoh gerakan nasionalisme Aljazair dipelopori oleh tokoh-tokoh Islam yang mendapat pendidikan di Prancis. Merekalah yang pada 1930 mendirikan Dewan Federasi Islam, gerakan pertama yang mengusulkan persamaan hak antara Aljazair dan Prancis, jauh sebelum FLN berdiri pada 1954. Di bawah pimpinan Ferhat Abbas, kelompok ini kemudian mengajukan Manifesto Rakyat Aljazair. Isinya, menyatakan bahasa Arab sebagai bahasa resmi, dan menuntut kemerdekaan Aljazair. Sayangnya, gerakan bercorak Islam itu mulai memudar pada 1950-an, dengan munculnya kaum muda yang memilih jalan perang untuk mencapai kemerdekaan Aljazair. Kaum muda itulah yang membentuk FLN. Sebagian ulama bahkan kemudian bergabung dalam FLN. Sejak saat itu gerakan bercorak Islam tidak terdengar di Aljazair. Apalagi FLN, yang berperan dalam perjuangan kemerdekaan, tumbuh menjadi partai tunggal yang dominan. Memang, FLN, meski partai tunggal, tetap memberi tempat bagi gagasan Islam. Dalam hal ini, FLN cukup toleran, bahkan menunjuk tokoh Islam Maoloud Kacem sebagai menteri agama dalam pemerintahan FLN. Aspirasi Islam yang jelas baru muncul kembali pada 1970-an, yang masih terbatas di lingkungan universitas. Tujuan mereka juga masih terbatas pada diajarkannya studi Politik Islam, penggunaan bahasa Arab dalam ujian, serta penggunaan busana muslim bagi wanita. Mula-mula gerakan itu mendapat tentangan dari kelompok sekuler yang mendominasi kampus-kampus di Aljazair. Bagi kelompok sekuler, gerakan yang menganjurkan norma Islam itu tidak sesuai dengan identitas nasional. Kala itu, hanya di Universitas Konstantin di Kota Konstantin, yang terkenal dengan kelompok tradisional Islam, gerakan Islam fundamentalis berkembang. Gerakan Islam fundamentalis ini mulai menonjol ke permukaan pada pertengahan tahun 1980, ketika kemerosotan ekonomi semakin terasa. Pada awalnya demonstrasi masih terbatas pada protes kurangnya bahan pangan, perumahan, serta air bersih. Baru belakangan massa mulai turun ke jalan dengan protes politis: penangkapan atas rekan-rekan mereka sebelumnya. Puncaknya adalah demonstrasi pada Oktober 1988, yang melanda beberapa kota di Aljazair. Tema protes tetap soal kemiskinan, tapi waktu itu seorang imam muda dari FIS, Ali Belhadj, juga mengampanyekan perlunya Aljazair menerapkan hukum Islam. Empat ribu orang ditahan. Konflik antara Islam fundamentalis dan pemerintahan FLN mulai terbuka. Beberapa pengamat melihat bahwa FIS belum pasti bertujuan mendirikan negara Islam. Mereka yakin bahwa tradisi militan Syiah di Iran tidak dikenal dalam Islam Sunni Aljazair. Di samping itu, gerakan Islam fundamentalis di Iran adalah kelompok ilegal yang marah yang merebut kekuasaan lewat revolusi. Sedangkan FIS di Aljazair adalah partai legal yang mencoba merebut kekuasaan lewat jalan pemilu. Dan dalam FIS sendiri setidaknya ada dua faksi. Yakni faksi Abbasi Madani, 60 tahun, yang moderat. Ia yakin bahwa negara Islam hanya bisa dicapai secara bertahap. "Negara Islam adalah tujuan jangka panjang, yang tidak bisa dicapai langsung," katanya. Dosen ilmu sosial di Universitas Aljier yang sederhana ini bukanlah seorang orator ulung yang mampu menggerakkan massa, tapi ia sangat berwibawa dengan wajahnya yang teduh itu. Sayap radikal diwakili oleh Ali Belhadj, 37 tahun, seorang orator ulung. Ia antibahasa Prancis. Bekas pegawai pengadilan Islam yang bertugas menyelesaikan pertengkaran di masjid ini selalu menyatakan hukum Islam harus ditegakkan secepat mungkin, walau lewat revolusi sosial yang mahal. Setelah dua orang itu dipenjarakan, pimpinan dipegang oleh Abdelqader Hachani, yang lebih cenderung pada kelompok Ali Belhadj, yang disebut Salafiya. Kelompok Madani dikenal dengan nama Djezara, dan pada prinsipnya menentang kekerasan. Kelompok inilah yang pada demonstrasi Oktober 1988 berhasil mengurangi jumlah massa yang turun ke jalan dari ratusan ribu menjadi puluhan ribu. Tapi kini dua kelompok itu tak punya alasan untuk memperpanjang perbedaan tersebut. Mereka memilih bersatu, toh tujuan mereka sama -- meski yang satu cukup sabar, yang lain tidak -- untuk berdirinya sebuah negara Islam. Liston P. Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus