Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Basile Cuvereaux sedang berada di kantornya ketika dia mengetahui kabar adanya serangan ke kantor koran satire Charlie Hebdo. "Saya langsung berpikir mungkin muslim pelakunya, dan saya lantas khawatir konsekuensinya bagi kami semua (muslim)," kata pria 37 tahun ini, pekan lalu.
Ia pun memperhatikan tak banyak warga muslim dari kawasan pinggiran Paris yang ikut pawai solidaritas setelah tragedi Charlie Hebdo. "Kami takut, jadi kami tinggal di rumah," ujar warga Boulogne-Billancourt, kawasan pinggiran barat Paris, ini. "Dan kami bukan Charlie. Ini tak berarti saya tak peduli kepada korban. Ini hanya berarti saya tak mendukung kebebasan pers seperti yang dianut di Prancis."
Menurut Laurent Othily, yang tinggal di Vitry-sur-Seine di pinggiran Paris bagian selatan, serangan dua pekan lalu yang menewaskan total 16 orang itu juga akan menambah rasa tak percaya terhadap warga muslim yang selama ini telah ada. "Ketika saya keluar dari tempat kerja, Rue du Faubourg di Honore (di jantung Paris, dekat Champs-Élysées), seorang Arab berbicara di telepon dan, mungkin ia terlalu keras, semua orang di jalanan menatapnya seolah-olah mereka panik," katanya.
Ketakutannya yang lebih dalam untuk jangka lebih panjang: anak-anak akan menjadi korban kedua. "Anak-anak muslim dan nonmuslim akan 'berperang'," ujar muslim 40 tahun ini. "Mereka mendengar apa yang dikatakan orang tua mereka dan mengulanginya, baik kata-kata maupun sikap," Cuvereaux mencemaskan kemungkinan terjadinya perpecahan di Prancis.
Ketakutan Cuvereaux dan Othily bukan tak beralasan. Setelah serangan terhadap kantor Charlie Hebdo, beberapa serangan dialami komunitas muslim. Di antaranya penembakan di masjid di Port-la-Nouvelle, Prancis selatan, dan lemparan granat ke halaman masjid di Le Mans, barat Paris. Juga ledakan di dekat masjid di Kota Villefranche-sur-Saone. "Komunitas muslim sangat takut," kata Hassen Farsadou, Presiden Uni Asosiasi Muslim Seine-Saint-Denis, kepada The New York Times.
Namun kejadian sebaliknya juga dirasakan sebagian muslim Prancis, seperti dialami Mariam dan temannya yang sama-sama biasa mengenakan jubah hitam besar dan menutup muka. Ketika mereka ke pusat belanja, orang-orang justru tersenyum lebar kepada mereka. "Seolah-olah mereka ingin lebih ramah karena apa yang telah terjadi," ucap Mariam. Padahal, biasanya, pakaian hitam besar yang mereka kenakan membuat orang langsung menghakimi sebagai muslim fundamentalis.
Menurut Cuvereaux, pengkategorian Islam di Prancis bermasalah. "Mereka tak menerima beragamnya Islam, tapi kami harus bertoleransi dengan semua orang," ia mengeluh.
Sebagai warga komunitas muslim Boulogne-Billancourt, ia kerap bertukar pikiran dengan anak-anak muda di sana. Kebanyakan anak muda itu tidak mendukung kekerasan atau perjalanan ke Irak, Suriah, atau Afganistan untuk angkat senjata.
Bagi Cuvereaux, kebanyakan orang yang pergi ke Irak, Suriah, atau Afganistan untuk bertempur tak memiliki latar belakang agama yang kuat. "Mereka orang-orang yang kekurangan sesuatu: keluarga, nilai-nilai, budaya, dan perspektif masa depan dalam masyarakat.... Dan, ketika kita kosong dari hal-hal penting itu, kita akan mudah tertarik pada sesuatu yang bisa memenuhinya," katanya. "Mereka yang lari ke agama tapi dengan kebencian akan gampang memilih mengangkat senjata dengan atas nama agama. Padahal sebenarnya masalahnya antara mereka sendiri dan masyarakat Prancis."
Sosiolog Farhad Khosrokhavar senada dengan Cuvereaux. Kepada Mediapart, penulis buku tentang Islam di penjara dan radikalisasi di Prancis ini menyatakan, meski dua tahun terakhir ada jenis baru orang radikal, yakni orang-orang dari kalangan menengah yang tiba-tiba lebih religius, sampai 2012-2013, muslim radikal biasanya memiliki latar belakang sosiokultural yang sama. Mereka muda, generasi kedua atau ketiga imigran, tidak berintegrasi dalam masyarakat Prancis. Biasanya anak-anak muda ini berasal dari pinggiran kota dan melakukan kejahatan, kemudian menemukan jihad sebagai alasan untuk mendefinisikan mereka dengan positif.
Badan intelijen Prancis memperkirakan jumlah orang radikal yang perlu mendapat perhatian sebanyak 1.000-1.500 orang. Sedangkan jumlah muslim di Prancis sekitar tujuh persen dari total 64 juta penduduk. "Mereka tidak banyak, tapi berbahaya, dari sudut pandang material dan simbolis," ujar Khosrokhavar. "Pembantaian 12 orang di Charlie Hebdo berdampak bagai sebuah bom yang bisa jadi membunuh 1.200 orang."
TIGA tersangka serangan dua pekan lalu yang semuanya telah tewas—dua bersaudara Kouachi, Cherif dan Said, serta Amedy Coulibaly—memiliki latar belakang seperti disebutkan Cuvereaux dan Khosrokhavar. Cherif dan Said adalah tersangka pelaku penyerangan terhadap kantor Charlie Hebdo, sedangkan Coulibaly tersangka pelaku penembakan polisi dan kemudian membunuh empat sandera di supermarket Kosher di Paris timur.
Cherif Kouachi, yang orang tuanya imigran Aljazair, lahir dan besar di Distrik 10 yang memanjang dari Place de la Republique hingga Gare du Nord. Seorang sumber menyatakan kepada The Guardian bahwa Cherif ditelantarkan orang tuanya dan sudah harus tinggal di tempat penampungan saat umurnya belum genap 10 tahun. Baru, saat berumur 18 tahun, ia hidup di Paris dengan kakaknya. "Dia seperti gelandangan, tinggal dengan seseorang tapi hanya menggunakan matras di lantai. Dia jelas sangat terpinggirkan," kata sumber itu.
Coulibaly pun tumbuh di kawasan terpinggirkan. Pria keturunan Mali yang memiliki sembilan saudara perempuan ini tinggal di La Grande-Borne di Grigny, selatan Paris. Setidaknya 40 persen warganya penganggur. Daerah ini rawan kejahatan oleh anak-anak muda serta marak kasus narkotik dan jual-beli senjata. "Lingkungan yang bagus untuk pertumbuhan kelompok radikal," ucap Malek Boutih, mantan aktivis anti-rasisme yang sekarang menjadi anggota parlemen, kepada The Guardian.
Ketiganya memang kemudian bergabung dengan kelompok radikal, bersama banyak anak muda Prancis lain. Cherif berkenalan lewat kelompok Buttes-Chaumont di Distrik 19. Seperti analisis Cuvereaux dan Khosrokhavar, menurut jurnalis Le Monde yang menulis buku Democracy under Control dan The Posthumous Victory of Bin laden, Jacques Follorou, kelompok ini beranggotakan anak muda berpendidikan rendah, pengangguran, tak berpengalaman, tak bersosialisasi, dan terpinggirkan. "Mereka mencari identitas," katanya kepada The Guardian.
Cherif Kouachi dan teman-temannya biasa joging bersama di taman yang dibangun lebih seabad lalu, dan kemudian berkumpul di sebuah apartemen untuk mendengarkan ceramah "guru" Farid Benyettou. Saat itu, pada 2003, topik yang panas di kelompok ini adalah perang di Irak yang baru diinvasi pasukan Amerika Serikat. "Apa pun yang saya lihat di TV, penyiksaan di penjara Abu Ghraib, memotivasi saya," ucap seorang teman Cherif dalam pengadilan beberapa tahun lalu, seperti disitir The Guardian.
Cherif dan teman-temannya berangkat ke Irak. Tapi penangkapan pada 2005 membuat kelompok ini tercerai-berai dan dianggap tak lagi menjadi ancaman. Cherif sendiri gagal berangkat dan dijatuhi hukuman tiga tahun.
Koran Le Monde menggambarkan kelompok Buttes-Chaumont sebagai "sekolah jihad pertama" di Prancis. "Merekalah pionir jihadisme Prancis," ujar Jacques Follorou.
Sekolah lanjutan bagi para "murid" Buttes-Chaumont dan kelompok radikal lain adalah Fleury-Merogis, penjara terbesar di Eropa yang dikenal sangat keras. Pengacara yang terlibat dalam kasus Buttes-Chaumont, Dominique Many, menyatakan Cherif Kouachi menjadi lebih radikal pada saat keluar dari penjara daripada saat penangkapannya. "Jadi mungkin penjara membuat dia menjadi seperti sekarang ini," katanya kepada The New York Times.
Coulibaly, yang mengenal Cherif Kouachi di penjara, kemudian juga bergabung dengan Buttes-Chaumont. Coulibaly dipenjara karena perampokan dan menjadi tukang tadah. Adapun Said Kouachi tak jelas kaitannya dengan kelompok itu, tapi pernah diperiksa polisi soal kelompok adiknya ini.
Sebuah laporan yang disitir koran New York itu menyatakan adanya sekitar 200 narapidana muslim radikal yang layak mendapat perhatian khusus. Sedangkan 95 orang dikategorikan "bahaya". Laporan ini juga menyebutkan para narapidana itu bisa menjadi bom waktu begitu bebas.
Peringatan ini terbukti benar. Setelah sekian tahun, dua alumnus Fleury-Merogis, Cherif Kouachi dan Amedy Coulibaly, menggelar "serangan mematikan". Inilah bukti bahwa mereka masih mengancam, termasuk mengancam warga muslim sendiri.
Purwani Diyah Prabandari (Jakarta), Elsa Clave dan Anda Djoehana Wiradikarta (Paris, Prancis)
Pesan Charlie Tetap Hidup
Hanya dua hari setelah serangan di kantor mereka yang menewaskan sepuluh orang dan dua aparat keamanan, awak Charlie Hebdo kembali bekerja. Rapat digelar Jumat dua pekan lalu. Cuma, rapat redaksi ini tak dilangsungkan di kantor mereka di Rue Nicolas-Appert, tapi di ruang rapat awak media Liberation.
"Saya sudah menengok semua teman di rumah sakit," kata Gerard Biard, pemimpin redaksi baru Charlie Hebdo, membuka rapat, seperti dilansir Cafebabel. "Riss (kartunis yang selamat) terluka di pundak kanannya, tapi tidak sampai ke saraf. Dia tidak baik," ujarnya. "Hal pertama yang dia katakan, dia tidak yakin akan sanggup terus bekerja dengan kita." Biard menggantikan Stéphane Charbonnier, yang tewas dalam serangan.
Biard melanjutkan kisah teman lainnya. "Fabrice Nicolino, yang terkena tembakan beberapa kali, lebih baik meski jelas tetap menderita." Satu per satu yang dirawat di rumah sakit ia ceritakan kondisinya. Semua bungkam. Hening. Hingga jurnalis perempuan, Sigolene Vinson, tak tahan dan menangis. "Kalian tak boleh merasa bersalah," kata Biard menenangkan Vinson. Vinson berada di ruang rapat Charlie Hebdo saat serangan terjadi, tapi ia selamat. Penyerang memang sempat mengatakan tidak membunuh perempuan.
Biard kemudian bergeser membicarakan teman-temannya yang tewas, bagaimana pemakaman akan dilakukan, bagaimana dengan penghormatan nasional, dan musik apa yang akan dimainkan. Juga tak ada bendera nasional yang akan dikibarkan. "Tentu tidak bisa ada simbolisme yang mereka sendiri benci," ucap seseorang di meja tersebut. Semua setuju.
Pembahasan kembali bergeser ke penerbitan berikutnya. Biard mengusulkan Charlie Hebdo mengeluarkan edisi seperti biasanya, tidak dibuat spesial. "Sehingga pembaca bisa mengenali Charlie," katanya.
Ketika pembicaraan sampai pada topik edisi berikutnya, orang yang berbicara lebih banyak lagi. Corinne Rey, yang saat kejadian dipaksa penyerang membawa mereka ke ruang rapat redaksi, bersuara mengenai isu apa yang akan dipublikasikan: "Menyampaikan pesan bahwa kita tetap hidup."
Rabu pekan lalu, Charlie Hebdo terbit. Kembali membuat kejutan, sampul muka kembali menggambarkan kartun Nabi Muhammad, tokoh yang diyakini sudah mengundang serangan ke kantor mereka beberapa kali, termasuk serangan dua pekan lalu. Di sampul yang berwarna hijau, Nabi Muhammad digambarkan menangis sambil memegangi tanda bertulisan "Je suis Charlie" (Saya Charlie), menunjukkan simpati kepada jurnalis yang tewas dalam serangan. Judulnya: "Tout est pardonne" (Semua dimaafkan).
Renald Luzier yang menggambarnya. Kartunis yang biasa dikenal dengan nama Luz ini mengaku menangis setelah sampul itu selesai. "Itu bukan sampul yang diharapkan dunia. Juga bukan sampul yang diinginkan teroris karena tidak ada teroris di sini, hanya seorang laki-laki yang menangis: Muhammad. Maaf, kami menggambar Muhammad lagi. Tapi Muhammad yang kami gambar adalah Muhammad yang menangis lebih dari siapa pun," ujarnya.
Purwani Diyah Prabandari (Cafebabel, The Daily Beast, The Telegraph)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo