Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mimpi Khilafah yang Memudar

Dalam beberapa pertempuran belakangan ini, kelompok ISIS kehilangan sejumlah wilayah. Mosul tengah digempur pasukan koalisi yang melibatkan beberapa negara dan kelompok militer.

31 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERANG besar, sangat besar, yang akan merenggut jiwa sepertiga penghuni bumi ini, akan pecah di Dabiq, sebuah kota kecil dengan hamparan tanah pertanian yang luas di utara Suriah. Dan ISIS atau IS, Negara Islam itu, merupakan aktor utama dalam pertempuran menentukan, yang pada akhirnya akan berujung pada Kiamat Besar. Apokaliptik!

Namun perang yang dinanti-nanti itu tak pernah meletus—paling tidak hingga detik ini. Ketika bulan lalu kelompok pemberontak Faylaq al-Syam dan Brigade Sultan Murad yang didukung artileri pasukan Turki berhasil merebut Dabiq dan belasan desa di sepanjang perbatasan Suriah-Turki dari tangan ISIS, tembak-menembak memang terjadi. Tapi tentara berseragam hitam-hitam tersebut kemudian memilih mundur ketimbang bertempur habis-habisan untuk mempertahankan medan Kurusetra yang disebutkan dalam hadis Nabi itu.

Dua tahun berjaya, bintang dan keberuntungan ISIS memudar pada Oktober ini. Setelah Fallujah, Dabiq, dan kota-kota lain di Suriah jatuh, kini sebuah koalisi berkekuatan 30 ribu tentara bergerak ke Irak, menjepit Mosul, kota terbesar kedua setelah Bagdad. Pasukan pemerintah Irak dengan iring-iringan panjang Humvee menghampiri dari selatan, Peshmerga Kurdi yang merupakan pasukan pendobrak di garis depan mendekat dari timur, sedangkan Turki mengintai dari utara menunggu lampu hijau dari pemerintah Irak di Bagdad. Amerika Serikat, yang tak ingin menerjunkan pasukan darat, mengirimkan pesawat-pesawat tempurnya yang rajin menjatuhkan bom dan menembakkan roket ke sasaran-sasaran spesifik dari udara sejak operasi militer raksasa ini dimulai dua pekan lalu.

Diakui atau tidak, sejauh ini ISIS telah kehilangan lebih dari seperempat wilayah yang pernah mereka rebut, serta terancam kehilangan lebih luas dan lebih banyak. Para ahli dari lembaga pengkajian keamanan dan pertahanan Inggris, IHS, menunjukkan daerah kekuasaan ISIS menyusut 28 persen dibanding saat mereka menguasai wilayah terluas pada Januari 2015. Pada tiga kuartal pertama tahun ini, wilayah ISIS menyusut dari 78.000 kilometer persegi menjadi 65.500 kilometer persegi.

ISIS terdesak hingga 10 kilometer dari perbatasan Turki. Sementara pangkalan udara Qayyarah direbut kembali pasukan Irak, Kota Manbij di Suriah juga sudah berpindah tangan, diambil alih pasukan Peshmerga. "Kerugian teritorial ISIS sejak Juli relatif kecil dalam skala, tapi secara strategis hal ini belum pernah terjadi," kata Columb Strack, analis senior dan kepala Pemantauan Konflik IHS.

Pekan depan diperkirakan 30 ribu tentara gabungan yang bersenjata modern itu akan berhadap-hadapan dengan sekitar 5.000 anggota pasukan ISIS yang akan bertempur mati-matian mempertahankan Mosul dengan aneka cara. Termasuk menggunakan penduduk sebagai perisai hidup, membakar pabrik belerang di Misyrak di selatan Kota Mosul untuk menghambat laju tentara Irak, dan memecah perhatian musuh dengan serangan kilat yang mengejutkan ke kota-kota yang bertetangga dengan Mosul, seperti Kirkuk.

* * *

ISIS pintar menaklukkan hati umat yang telah lelah, kecewa pada rezim otoriter atau totaliter yang bercokol di negara-negara Islam, serta sakit hati pada komunitas internasional yang cinta buta kepada Israel.

Pada 2013, menggunakan kesempatan di negara yang centang-perenang diroyan perang, kelompok sempalan Al-Qaidah ini mendirikan kekhalifahan di atas tanah luas, sepanjang Sungai Tigris di utara Irak dan Suriah. Setelah pembubaran kekhalifahan Ottoman pada 1922, setidaknya di mata sebagian orang, berdirinya kekhalifahan ISIS seperti mimpi yang tiba-tiba menjadi kenyataan.

"Ada kerinduan terhadap kekhalifahan atau khilafah yang mampu menciptakan keadaan (negara) yang islami, mampu mempersatukan umat muslim, dan mengatasi persoalan di dunia ini. Dan ISIS muncul menawarkan konsep ini," kata pengajar Fakultas Ushuluddin Universitas Negeri Syarif Hidayatullah, Dr Ahsin Sakho Muhammad. Namun, ia yakin, itu tak lepas dari motif politik dan kekuasaan.

Rupanya, skenario ini cukup ampuh. Setelah memproklamasikan kekhalifahannya, kelompok itu tidak hanya cepat menjadi "musuh bersama" bagi kalangan Islam arus utama dan sejumlah negara Islam, tapi juga menjadi solidarity maker di antara kelompok militan garis keras dari seluruh dunia. Namun kehilangan wilayah yang mereka alami belakangan ini mengurangi legitimasinya sebagai satu-satunya kekhalifahan setelah kevakuman yang ditinggalkan Kesultanan Ottoman.

Popularitas ISIS yang menanjak secepat kilat setelah keberhasilannya merebut kota-kota di Irak seperti Mosul telah memukau tak sedikit orang. Tahun lalu, di sebuah ruang pertemuan di kampus UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta, juga di sebuah masjid di perkebunan tebu di Dusun Sempu, Desa Gading Kulon, Kecamatan Dau, Malang, Jawa Timur, sebuah deklarasi dukungan terhadap ISIS dinyatakan. Dibimbing seorang ustad, jemaah yang berasal dari bermacam latar belakang itu menyatakan sumpah setia kepada sang khalifah, kepada Amirul Mukminin Abu Bakar al-Baghdadi.

Gerakan profetik yang berpretensi membangun dunia baru ini tidak pernah ragu memutar kembali jarum waktu ke masa lalu. Mereka seperti Taliban yang menghancurkan patung Buddha terbesar di Bamyan, Afganistan. Atau—pada ekstrem sebaliknya—seperti Khmer Merah di Kamboja yang menghalalkan pembantaian untuk membangun suatu masyarakat baru tanpa kelas.

Di wilayah-wilayah yang dikuasainya, eksperimentasi kelompok Sunni garis keras ini berlangsung cukup mengerikan. Demi pemurnian agama, mereka membantai orang-orang Syiah, menghancurkan situs makam Nabi Yunus di Mosul, bahkan—kalau mungkin—menghancurkan Ka'bah, bangunan yang dianggap telah membuat orang menyembah bentuk kubus itu ketimbang menyembah Allah Yang Maha Esa.

* * *

Dabiq adalah kota kecil yang senyap di utara Suriah. Sejarah memang pernah mampir di tempat ini, tapi itu terjadi jauh hari di masa lampau. Nun di abad ke-8, ketika balatentara Sulaiman bin Abdul-Malik mengalahkan orang-orang Mamluk di situ. Dan sebagai penghormatan, jenazah khalifah dari dinasti Umayah itu dimakamkan di Dabiq, yang berjarak hanya 10 kilometer dari perbatasan Suriah-Turki.

Kemudian tidak ada kejadian penting di tempat yang tak terkenal itu, sampai akhirnya pemberontakan meletus di seantero Suriah dan orang-orang asing berbendera hitam mulai mengambil alih bagian demi bagian dari kota itu pada awal 2014.

"Mereka datang bertruk-truk," ujar seorang tua setempat yang menolak disebutkan namanya kepada The Guardian. Rupanya, Dabiq yang mungil itu lebih berarti daripada kota strategis Raqqa, ibu kota kekhalifahan ISIS; atau Mosul, kota yang direbut dengan kemenangan yang gemilang. Di mata para pengikut ISIS yang fanatik, Dabiq merupakan titik awal sebuah transformasi besar yang akan merombak geopolitik dunia.

Terletak di ujung utara Provinsi Aleppo, dengan 3.000-an penduduk yang menghuni hamparan tanah pertanian, Dabiq terkenal dengan hasil pertanian seperti gandum dan kacang adas. Dabiq di mata ISIS adalah "Kurusetra", arena perang kolosal yang bakal melibatkan kekuatan-kekuatan raksasa. Berkali-kali mereka memancing Amerika Serikat dan para sekutunya mengirimkan pasukan ke tempat itu dalam pertempuran darat yang telah mereka nanti-nanti.

Tahun lalu ISIS yang brutal itu menyembelih seorang sandera, warga Amerika beragama Islam, Peter Kassig atau Abdul Rahman, untuk memancing kemarahan Amerika Serikat. Video rekaman adegan menjijikkan itu memperlihatkan latar belakang yang sama persis seperti di Dabiq. "Di sini kami menguburkan 'tentara' Amerika yang pertama; (kami) sangat mengharapkan kedatangan sisanya," begitu suara narator dalam bahasa Inggris beraksen Britania di video itu. Mereka menganggap Kassig yang pekerja sosial itu bagian dari militer Amerika Serikat.

Kini arena perang besar itu bergeser ke selatan, ke Mosul. Dengan wilayah kekuasaannya yang semakin terbatas, daya tarik ISIS sebagai suatu khilafah—mimpi yang telah diwujudkannya—tentu berkurang. Rekrutmen warga internasional untuk bergabung juga akan berkurang. Kendati kenyataan itu akan mendorong kelompok ini mengaktifkan sel-sel terornya di seberang lautan. Dan ini akan meramaikan kontestasi di antara organisasi teror.

Idrus F. Shahab (BBC, CNN, Foreign Policy, The Guardian)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus