TAMPAKNYA makin kuat dugaan siapa di belakang pembunuhan Muhammad Boudiaf, ketua Dewan Negara Aljazair itu, yang terjadi dua pekan lalu. Yakni kelompok yang akan menjadi korban gerakan antikorupsinya. Tuduhan terhadap Front Islam Penyelamat, atau FIS dalam akronim bahasa Prancisnya, kini surut. Pekan lalu harian Mesir Akhbar El Youm menurunkan wawancara khusus dengan Fathiyah Boudiaf, istri Muhammad Boudiaf. Sang istri mengungkapkan satu peristiwa yang baru kali ini diungkapkan. Beberapa pekan sebelum peristiwa keji itu, tutur Fathiyah, aliran listrik di rumahnya tiba-tiba mati beberapa menit. Tak lama kemudian telepon berdering. Dari ujung sana seseorang tak dikenal mengeluarkan ancaman pendek: "Jika Jenderal Mustafa Belwasef tak segera dilepaskan, sejumlah nama busuk dari kalangan pejabat akan dibeberkan pula. Dan sebuah tindak kekerasan akan menyusul." Esoknya, diketahui bahwa sejumlah dokumen berisi kasus penggelapan uang negara yang disimpan di kediaman Boudiaf lenyap. Mengetahui hilangnya dokumen itu, "Suamiku tertegun beberapa lama," kata Fathiyah. Istri Boudiaf tak tahu apakah dokumen yang lenyap adalah dokumen yang berkenaan dengan kasus Jenderal Mustafa Belwasef atau ada dokumen lain. Yang jelas, Jenderal Belsawef itu memang jadi tertuduh pertama gerakan antikorupsi Boudiaf. Ia ditahan Maret lalu, dituduh menggelapkan sejumlah uang pembelian senjata. Menurut istri Boudiaf, suaminya yang merasa berjuang sendiri dalam pemerintahannya memutuskan untuk pergi ke Maroko, menemui Raja Hassan II. Di negara inilah selama lebih dari 25 tahun Muhammad Boudiaf yang diusir dari Aljazair berlindung. Soalnya ia diusir dari negerinya karena mengkritik pemerintahan Ben Belaa waktu itu, sebagai pemerintahan yang berbau diktator. Dalam kunjungan selama seminggu sebagai kepala negara Aljazair, menurut Fathiyah, suaminya menceritakan secara rinci komplotan mafia pemerintahan Aljazair yang korup. "Sampai-sampai waktu itu Raja Hassan menawari suaka lagi kepada Muhammad Boudiaf untuk mengungsi lagi di Maroko," ujar sebuah sumber di Istana Maroko. Tapi rupanya Boudiaf bukan seorang pengecut, dan memilih kembali ke Aljazair, hingga ia ditembak. Dalam tafsiran Raja Hassan, "Boudiaf dihukum mati di hadapan regu tembak." Maksudnya, sekelompok orang yang memusuhinya, di antara orang yang berkuasa, menjatuhkan hukuman mati padanya secara diam-diam, dan mengirimkan regu tembak ke Kota Annaba, ketika Boudiaf memberikan sambutan pada pembukaan Gedung Kebudayaan di kota itu. Dugaan Raja Hassan sesuai dengan tuduhan Naser dan Taufik Boudiaf, dua anak laki-laki Boudiaf. Kedua anak laki-laki Boudiaf itu yakin bahwa "kelompok mafia yang menguasai Aljazair" terlibat pembunuhan ayahnya yang ingin memerangi korupsi. Mereka memang tak merinci siapa "mafia" itu. Tapi, menurut analisa di Kairo, mereka adalah para pemimpin inti Front Pembebasan Nasional, partai yang berkuasa sejak Aljazair merdeka sampai Januari lalu, sebelum terjadi "pengambilalihan kekuasaan" oleh Dewan Negara. Kata Fathiyah Boudiaf, yang Rabu pekan lalu terbang ke Maroko untuk tinggal di sana selamanya: "Pembunuh suamiku masih berkuasa. Suamiku adalah simbol kejujuran dan kebersihan bagi Aljazair." Tapi siapakah "pembunuh yang masih berkuasa" itu? Yang bisa ditebak-tebak kini adalah justru orang yang sudah tak berkuasa. Dalam kasus korupsi Jenderal Mustafa Belwasef, bekas panglima angkatan bersenjata sekaligus penasihat militer di masa pemerintahan Bendjedid, dari bukti-bukti yang hilang yang belum sempat dibacakan di depan pengadilan, ada indikasi kuat bahwa Chadli Bendjedid sendiri terlibat dengan penyalahgunaan uang pembelian senjata sebesar US$ 15 milyar, pada tahun 1980-an. Lalu, menurut beberapa sumber di Paris, kasus korupsi lain yang sedianya akan digarap oleh gerakan antikorupsinya Boudiaf menyangkut nama seorang jenderal lain dan pengelola Institut Kesehatan Pasteur. Juga disebut-sebut, kasus korupsi lain yang melibatkan salah seorang pejabat kementerian perdagangan Aljazair. Terdengar pula tuduhan korupsi yang dilakukan keluarga Bendjedid, dan pembangunan sebuah vila mewah milik bekas menteri dalam negeri Aljazair. Dan sebenarnya, menurut jadwal, beberapa pekan sebelum Boudiaf ditembak, sejumlah pejabat militer akan diajukan ke pengadilan pula atas tuduhan terlibat korupsi. Melihat orang-orang yang disebut tadi, Dr. Abdel Qadir Sayyid Ahmad, ekonom Aljazair yang menjadi dosen di Universitas Paris, mempunyai komentar. "Boudiaf ingin memusnahkan ular tidur dengan mengusik buntutnya dulu. Bukan memecahkan kepalanya. Akibatnya dia yang musnah duluan," ujar Ahmad. Tapi, kepada pers, ekonom Aljazair itu pun tak mengungkapkan siapa kepala ular itu. Bila semua itu benar, tampaknya Ketua Dewan Negara yang baru, Ali Kafia, bakal menemukan masalah dan bahaya yang sama. Soalnya, dekat setelah ia ditunjuk menggantikan Boudiaf, ia berjanji akan tetap melaksanakan program-program lama yang sudah dirintis oleh Boudiaf. Sampai di sini ada tiga kemungkinan yang akan dijalankan olah Kafia. Ia akan terus dengan gerakan antikorupsi, karena sudah tahu siapa saja yang bakal dijaringnya dan ia yakin cukup kuat menghadapinya. Atau ia tak tahu siapa saja di balik pembunuhan itu dan kaitannya dengan gerakan antikorupsi Boudiaf, karena itu ia nekat akan melanjutkan misi sahabatnya itu. Kafia, sebagaimana Boudiaf, memang kemudian menjauh dari partai Front Pembebasan Nasional, karena dua-duanya berpendapat bahwa partai itu sudah tak begitu lurus. Atau, omongannya dekat setelah ia ditunjuk menggantikan Boudiaf sekadar basa-basi. Yang sudah jelas, Perdana Menteri Sid Ahmad Ghozali tiba-tiba menyatakan mengundurkan diri. Hingga awal pekan ini sebab-sebab mundurnya Ghozali tak jelas. Untuk menggantikan kedudukannya, Ali Kafia menunjuk Belaid Abdessalam, bekas anggota politbiro Front Pembebasan Nasional. Bekas direktur perusahaan minyak negara Sonatrach ini dikenal berhaluan keras. Dialah yang menentang habis-habisan reformasi ekonomi Bendjedid yang memperkenalkan sistem pasar bebas di tahun 1980-an. Kebijaksanaan yang menurut Abdessalam hanya membuat sebagian besar rakyat Aljazair yang miskin itu makin susah hidupnya. Dan itulah sebabnya Front Islam Penyelamat, yang disebut-sebut sebagai partai Islam fundamentalis, mendapat simpatik banyak orang. Tapi belum diketahui apa komentar Abdessalam tentang gerakan antikorupsi Boudiaf. Tapi tampaknya tuduhan dan dugaan bahwa di belakang pembunuhan Boudiaf adalah "mafia" koruptor tak akan dengan cepat diketahui kebenarannya. Jumat pekan lalu mahkamah militer menolak menerima kasus Letnan Dua Lembarek Boumaraf, tertuduh penembak Boudiaf yang tertangkap dua pekan lalu. "Kasus itu adalah tanggung jawab pengadilan sipil," ujar seorang hakim militer kepada kantor berita Aljazair APS. Padahal, semua orang tahu bahwa si pelaku jelas-jelas militer yang saat itu bertugas sebagai pengawal kepresidenan. Karena itu, di Aljazair beredar ungkapan "Militer tak mau mencuci pisau yang berlumuran darah Boudiaf." Jelasnya, orang kini punya dugaan pula bahwa militer pun punya andil dalam pembunuhan itu. Sidang pengadilan yang malah dibuka Ahad kemarin adalah pengadilan terhadap dua tokoh utama Front Islam Penyelamat, yakni Abassi Madani dan Ali Belhadj. Jangan-jangan ini upaya pemerintah Aljazair untuk kembali memanaskan tuduhan pembunuhan pada partai yang sudah dilarang Januari lalu itu. Didi Prambadi (Jakarta), Dja'far Bushiri (Kairo), dan Andree Feillard (Paris)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini