Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Ancaman dari Dalam: Masa Depan Pemerintahan Netanyahu Setelah Invasi ke Gaza

Anggota koalisi pemerintahan Benjamin Netanyahu mengancam akan mundur bila Netanyahu menyetujui gencatan senjata Biden.

9 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PULUHAN ribu pengunjuk rasa berdemonstrasi dengan melakukan pawai di Tel Aviv, Israel, Ahad, 2 Juni 2024. Mereka menyerukan pengunduran diri Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan pembebasan sandera segera. Demonstrasi masih berlanjut pada hari-hari berikutnya di berbagai kota, yang menambah tekanan terhadap pemerintahan Netanyahu untuk segera menyelesaikan perang Hamas-Israel di Jalur Gaza.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Einav Zangauker, ibu salah satu sandera yang masih berada di tangan Hamas, misalnya, meminta Yoav Ben-Tzur, Menteri Tenaga Kerja dan anggota partai Yahudi ortodoks Shas, mendukung langkah-langkah memulangkan warga Israel yang diculik Hamas pada 7 Oktober 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Israel meyakini Hamas masih menahan sekitar 120 sandera di Jalur Gaza. Beberapa di antaranya diduga telah tewas di tengah serangan pasukan Israel di Rafah, yang berpuncak pada pengeboman di kamp pengungsi pada 26 Mei 2024 yang diperkirakan membunuh sekitar 50 pengungsi. Menurut Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, 36 ribu lebih warga Palestina tewas di Gaza sejak invasi Israel pada 8 Oktober 2023, yang kebanyakan perempuan dan anak-anak.

Setelah delapan bulan berjalan, tujuan invasi Israel membebaskan para sandera belum juga tercapai. Kini Netanyahu terancam dijatuhkan setelah terjadinya demonstrasi besar warga Israel dan adanya potensi perpecahan koalisi partainya. Dua menteri sayap kanan Israel, Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir, mengancam akan mundur dan membubarkan koalisi pemerintahan jika Netanyahu menyetujui proposal gencatan senjata di Gaza yang diajukan Presiden Amerika Serikat Joe Biden.

“Ini dilema bagi Netanyahu. Agak berat dari sisinya. Dilema antara mempertahankan pemerintahan dan memikirkan tujuan perang yang harus didahulukan, apakah pembebasan sandera atau penghancuran Hamas,” kata Ibnu Burdah, guru besar kajian dunia Arab Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, kepada Tempo, Senin, 3 Juni 2024. “Itu yang sedang dia pikirkan sebetulnya.”

Biden menyebut proposal itu berasal dari Israel dan terdiri atas tiga fase. Fase pertama, yang berlangsung selama enam pekan, berupa gencatan senjata penuh. Pada fase ini, pasukan Israel akan mundur dari Gaza dan melakukan pertukaran sejumlah sandera dengan Hamas. Hamas dan Israel juga akan berunding mengenai fase kedua, yang berupa gencatan senjata permanen. 

“Namun usulan tersebut menyatakan, jika perundingan memakan waktu lebih dari enam pekan untuk tahap pertama, gencatan senjata akan tetap berlanjut selama perundingan terus berlangsung,” ujar Biden dalam briefing di Gedung Putih, Jumat, 31 Mei 2024.

Pada fase kedua, akan ada pertukaran sandera yang tersisa dan “penghentian permusuhan secara permanen”. Pada fase terakhir, pembangunan kembali Gaza akan dimulai dan sandera yang meninggal atau tersisa akan dikembalikan kepada keluarga mereka.

Biden mengungkapkan, kekuatan Hamas sudah sampai pada titik tak mampu menyerang lagi seperti yang terjadi pada 7 Oktober 2023. Dia menyadari bahwa ada orang-orang di Israel yang tidak menyetujui rencana ini dan akan berseru agar perang berlanjut tanpa batas waktu serta menduduki Gaza.

“Beberapa (di antara mereka) bahkan berada dalam koalisi pemerintah,” ucapnya. “Saya sudah mendesak para pemimpin di Israel untuk tetap mendukung kesepakatan ini, apa pun tekanan yang datang.”

Menurut Ibnu Burdah, proposal Biden itu berbeda dari proposal-proposal sebelumnya. “Kalau dilihat, tekanan Amerika kali ini jelas jauh lebih kuat dibanding sebelumnya. Akan berisiko kalau Netanyahu menyatakan ‘tidak’ terhadap proposal ini,” ujarnya. Israel, bagaimanapun, sangat bergantung pada Amerika, yang menjadi pemasok dana dan peralatan militer terbesar ke Negeri Yahudi.

Bezalel Smotrich mengatakan kepada Netanyahu bahwa dia “tidak akan menjadi bagian dari pemerintah yang menyetujui garis besar yang diusulkan (Biden) dan mengakhiri perang tanpa menghancurkan Hamas dan membawa kembali semua sandera”.

Adapun Itamar Ben-Gvir menilai kesepakatan sebagai akhir perang dan mengabaikan tujuan Israel untuk menghancurkan Hamas. “Ini adalah kesepakatan yang sembrono, yang merupakan kemenangan terorisme dan ancaman keamanan terhadap negara Israel,” tutur Ben-Gvir, yang bersumpah memilih “membubarkan pemerintah” daripada menyetujui usulan tersebut.

Benny Gantz, anggota kabinet perang dan pemimpin partai Persatuan Nasional, malah sudah mengajukan usulan pembubaran Knesset dan percepatan pemilihan umum. “Ketua Persatuan Nasional Pnina Tamano-Shata telah mengajukan rancangan undang-undang untuk membubarkan Knesset. Hal ini menyusul permintaan pemimpin partai Benny Gantz untuk menyetujui pemilihan umum sebelum Oktober, setahun sejak pembantaian 7 Oktober itu,” ujar Gantz.

Yair Lapid, pemimpin partai oposisi terbesar Yesh Atid, dengan cepat menawarkan dukungannya kepada Netanyahu. Dia mengatakan Netanyahu “memiliki jaring pengaman untuk kesepakatan penyanderaan jika Ben-Gvir dan Smotrich meninggalkan pemerintahan”.

Pemerintahan Israel di bawah Netanyahu sekarang dibentuk pada 29 Desember 2022 setelah partai Likud pimpinan Netanyahu menang dalam pemilihan umum Knesset, parlemen negeri itu. Likud berkuasa setelah berhasil membentuk koalisi persatuan dengan enam partai, yakni Yudaisme Torah Bersatu, Shas, Partai Zionis Religius, Otzma Yehudit, Noam, dan Persatuan Nasional, dengan menguasai 64 dari 120 kursi parlemen. Hal ini mengakhiri krisis politik di negeri itu, yang sejak 2018 harus menggelar lima kali pemilihan umum yang dipercepat karena partai pemenang gagal membentuk pemerintahan yang stabil.

Pengalaman tersebut, menurut Ibnu Burdah, membuat partai-partai akan berpikir ulang untuk membubarkan pemerintahan Netanyahu sekarang, yang sejauh ini berjalan cukup lancar. “Secara umum, mereka akan berpikir keras untuk membubarkan pemerintahan. Sebab, dalam situasi perang, penyelenggaraan pemilihan umum akan sangat riskan lantaran posisi perdana menteri dan menteri pertahanan adalah inti dalam komando perang,” katanya.

Ancaman Smotrich, Ben-Gvir, dan Gantz ini serius. Persatuan Nasional punya 12 kursi di parlemen dan Partai Zionis Religius 14 kursi. Bila mereka mundur dari koalisi partai, otomatis pemerintahan Netanyahu bubar. “Berkurang empat kursi saja, koalisi persatuan Netanyahu ini ambruk. Jadi ancaman mereka sangat tegas,” tutur Ibnu.

Meski begitu, Ibnu menilai Netanyahu masih sangat kuat di mata rakyat Israel. “Likud menguasai 32 kursi parlemen, itu tinggi sekali,” ujarnya. Selain itu, dia menerangkan, popularitas Netanyahu, yang sempat menurun beberapa waktu lalu, malah kembali menguat setelah Karim Ahmad Khan, Kepala Jaksa Mahkamah Pidana Internasional (ICC), mengajukan permohonan surat perintah penangkapan Netanyahu ke Pra-Peradilan ICC dalam kasus invasi di Gaza.

Apa pun pilihan Netanyahu tampaknya tak akan berpengaruh banyak terhadap prospek perdamaian Israel-Palestina. Hasil pemilihan umum Israel terakhir, Ibnu mengimbuhkan, menunjukkan bahwa masyarakat Israel makin berideologi kanan. Mereka sangat peduli pada warganya yang disandera, tapi tak pernah memandang penting bencana kemanusiaan yang menimpa warga Palestina.

Masalahnya, Ibnu menambahkan, perang ini telah melahirkan dendam di kalangan generasi muda Palestina yang mungkin berujung pada ekstremisme. Hamas mungkin hancur, tapi, “Kelompok-kelompok perlawanan lain, seperti Jihad Islam, akan mengambil peran Hamas.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Simalakama Gaza di Tangan Netanyahu".

Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus