Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Terbelah Setelah Kudeta

Kelompok minoritas etnis Myanmar terbelah dalam merespons kudeta militer. Nasib pengungsi muslim Rohingya makin tidak pasti.

6 Maret 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Berbagai kelompok etnis minoritas Myanmar ikut bergabung dalam aksi unjuk rasa menentang kudeta militer.

  • Warga Rohingya mengecam kudeta militer, tapi tak mendukung Aung Sang Suu Kyi.

  • Rencana repatriasi warga Rohingya setelah kudeta militer terjadi kian suram.

ISU krisis yang menimpa kelompok minoritas muslim Rohingya turut diusung para demonstran Myanmar dalam aksi memprotes kudeta militer sejak awal Februari lalu. Di jalanan, mereka membawa poster berisi ungkapan solidaritas bagi warga Rohingya. Lewat media sosial, banyak kaum muda Myanmar menyampaikan permintaan maaf karena tidak bersuara atas operasi militer di Negara Bagian Rakhine pada 2016-2017. Kebrutalan tentara Myanmar atau Tatmadaw kala itu memaksa lebih dari 750 ribu warga Rohingya mengungsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengembang aplikasi Aung Kyaw Paing sadar bahwa dia selama ini menjadi bagian dari masyarakat yang rasis dalam kasus Rohingya. Kudeta seakan-akan menjadi karma karena mereka mengabaikan represi militer terhadap warga Rohingya, yang bahkan sudah dikategorikan sebagai genosida oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. “Kami dulu menyalahkan PBB yang membuat pemerintah tak stabil dengan membawa-bawa isu Rohingya. Kini kami malah memohon pertolongan mereka,” kata Aung Kyaw Paing seperti dilaporkan Vice World News pada Kamis, 25 Februari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kyaw Paing mengubah pandangannya terhadap Rohingya dan bergabung dalam gerakan menentang junta militer. “Jika mati dalam aksi protes nanti, saya tak ingin ada penyesalan lagi,” tuturnya.

Rohingya merupakan kelompok etnis minoritas di Myanmar yang paling menderita akibat tekanan militer. Mereka jarang sekali mendapat dukungan publik, apalagi dari pemerintah Myanmar. Aktivis hak asasi manusia Myanmar, Nay San Lwin, mengatakan aksi militer selepas kudeta mengubah pandangan masyarakat atas krisis etnis yang selama ini terjadi di Myanmar. “Mereka kini memandang militer sebagai musuh bersama,” ujarnya seperti dilaporkan Time.

Dua pertiga populasi Myanmar adalah warga etnis Burma yang menganut agama Buddha. Negara itu juga memiliki sekitar 100 etnis minoritas. Namun, seperti halnya warga Rohingya, mereka kerap menjadi korban penindasan Tatmadaw. Menurut Nay San Lwin, para demonstran tak hanya menuntut pemenuhan hak bagi orang Burma ketika berunjuk rasa. “Sekarang agama dan ras bukan lagi masalah. Setiap orang kini memikirkan soal kemanusiaan,” ucapnya.

Alih-alih mencari solusi damai, aparat keamanan Myanmar justru terus menyerang penentang kudeta militer. Frontier Myanmar melaporkan enam orang tewas, tiga di antaranya dengan luka tembak di kepala, ketika tentara dan polisi membubarkan unjuk rasa prodemokrasi di Kota Yangon utara pada Rabu, 3 Maret lalu. Hari itu, 38 demonstran tewas di Myanmar. “Sejak kudeta bermula, lebih dari 50 orang tewas,” kata Utusan Khusus PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener.

Tekanan militer menggugah kesadaran penduduk Myanmar untuk bekerja sama. Unjuk rasa selama ini memang terkonsentrasi di sejumlah kota besar, seperti Yangon, Mandalay, dan Naypyidaw. Belakangan, demonstrasi menyebar ke wilayah lain. Ribuan demonstran dari berbagai kelompok etnis minoritas di wilayah Kachin, Kayah, dan Karen bergabung. Mereka pun membawa bendera atau simbol etnis masing-masing.

Bergabungnya warga etnis minoritas dalam unjuk rasa menunjukkan keresahan akan masa depan mereka jika rezim militer berkuasa. Sebelumnya, penduduk itu lebih banyak menuntut pembentukan negara federal agar bisa mendapatkan hak-hak mereka. Kini tuntutan mereka sama dengan penduduk dari wilayah lain, yang dihuni kelompok etnis mayoritas Burma, yaitu militer menghentikan kudeta dan mengembalikan kekuasaan kepada pemerintah sipil. Mereka juga mendesak agar Aung San Suu Kyi dan anggota partai politiknya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), dibebaskan dari tahanan.

Respons berbeda muncul di Rakhine, negara bagian di utara Myanmar. Selama bertahun-tahun, penduduk Rakhine, baik yang beragama Buddha maupun Islam, menjadi korban opresi militer. Namun konflik panjang antara tentara dan milisi Arakan di sana membuat penduduk memikirkan keselamatannya jika turun ke jalan memprotes kudeta.

Tatmadaw dan milisi Arakan menyepakati gencatan senjata sejak pemilihan umum November tahun lalu. Meski demikian, warga Rakhine belum yakin mereka aman. “Kini kami di bawah kendali militer. Jika kami turun ke jalan dan memprotes mereka, bisa timbul banyak korban,” ujar seorang penduduk di Kota Mrauk-U, Rakhine, seperti dilaporkan Radio Free Asia.

Menurut dia, tragedi di Mrauk-U, ketika masyarakat memprotes pemerintah yang melarang festival tahunan umat Buddha pada Januari 2018, menjadi pertimbangan mereka untuk tidak ikut dalam unjuk rasa. Bentrokan massa pedemo dengan polisi kala itu menyebabkan tujuh orang tewas dan belasan lain terluka. “Kami jelas lebih mendukung pemerintah sipil,” ucapnya. “Tapi, mengingat situasi di sini, kami memilih diam agar selamat.”

Militer berusaha merangkul kekuatan politik di Rakhine. Partai Nasional Arakan (ANP), kelompok politik terkuat berbasis etnis di Rakhine, juga menuai kritik setelah mereka bekerja sama dengan Dewan Administrasi Negara, junta militer negeri itu. Militer menunjuk juru bicara ANP, Aye Nu Sein, sebagai anggota dewan. Sehari selepas kudeta, militer juga mengembalikan akses Internet di sana yang sebelumnya terputus selama 18 bulan.

Sejumlah anggota ANP memutuskan keluar dari partai begitu militer memilih Aye Nu Sein. Namun ANP menyatakan akan bekerja sama dengan pemerintah militer demi menjamin adanya perwakilan dalam pembahasan isu-isu Rakhine. ANP juga menyatakan kerja sama dengan Tatmadaw diperlukan untuk menjaga kepentingan masyarakat Arakan dan Rakhine.

Sebanyak 47 lembaga sipil di Rakhine merilis pernyataan bersama yang mendesak ANP menjauh dari junta militer. “Komunitas Arakan tidak boleh bersama sekelompok orang yang mengambil kekuasaan secara tidak sah,” tutur Sekretaris Kongres Etnis Arakan Zaw Zaw Tun seperti dilaporkan The Irrawady. “Sejarah menunjukkan, rezim militer sudah melakukan opresi dan gagal menepati janjinya."

Namun sebagian penduduk memutuskan melawan. Sekitar seribu demonstran, yang didominasi kaum muda etnis Chin, turun ke jalanan Kota Ann pada Selasa, 2 Maret lalu. Itu pertama kalinya unjuk rasa menentang kudeta militer berlangsung di Ann, yang juga menjadi lokasi markas Komando Militer Myanmar Bagian Barat.

Polisi langsung memburu dan menangkap sejumlah aktivis muda yang ikut dalam aksi protes itu. Laporan Myanmar Now pada Kamis, 4 Maret lalu, menyebutkan lima pelajar dicokok polisi. Salah satunya Yadanar Aung, Sekretaris Perhimpunan Mahasiswa Chin di Rakhine (CUSR), yang digelandang polisi dari rumahnya pada pekan lalu. “Sebagian kawan saya masih bersembunyi,” kata Ketua CUSR Khaing Zin May Than.

Gara-gara polisi memburu pelajar, para orang tua di Ann melarang anak-anak mereka bergabung dalam aksi unjuk rasa selanjutnya. Namun perlawanan para pemuda itu belum selesai. Menurut May Than, mereka akan terus memprotes pelanggaran hak asasi manusia oleh militer.

Kudeta militer telah memicu kekacauan di seantero Myanmar. Komunitas internasional pun mengecam dan menjatuhkan sanksi terhadap militer Myanmar. Namun, bagi warga Rohingya, kudeta tak membawa perubahan nasib.

Warga Rohingya saat ini hidup dalam ketidakpastian di tempat-tempat pengungsian di perbatasan Myanmar dan Bangladesh. Rencana memulangkan ratusan ribu warga Rohingya yang mengungsi di Bangladesh pun menyusut. “Kudeta jelas buruk bagi siapa pun, tapi risiko warga Rohingya meningkat karena rezim militer inilah yang bertanggung jawab atas kekerasan yang menimpa mereka selama bertahun-tahun,” ucap aktivis hak asasi manusia Fortify Rights, Matthew Smith, seperti dilaporkan NPR.

Tekanan Tatmadaw dan pemerintah Myanmar terhadap kaum Rohingya sudah berlangsung puluhan tahun. Tak ada nama etnis Rohingya dalam daftar 135 suku yang diakui Myanmar pada 1982. Warga Rohingya, yang sudah mendiami sebagian wilayah Rakhine selama ratusan tahun, menjadi paria di tanah kelahiran sendiri. Sebagian besar di antaranya bahkan tak punya kewarganegaraan sehingga mereka kehilangan hak dalam pemilihan umum dan akses layanan publik lain.

Ketika Aung San Suu Kyi berkuasa setelah LND memenangi pemilihan umum pada 2015, banyak warga Rohingya yang menaruh harapan kepadanya. Namun keyakinan bahwa Suu Kyi bisa membawa perdamaian bagi komunitas Rohingya kandas pada 2017. Saat itu Suu Kyi bergeming ketika Tatmadaw melancarkan operasi militer terhadap warga Rohingya di Rakhine.

Warga Rohingya di pengungsian mengecam kudeta militer, tapi mereka mengaku tak prihatin ketika Suu Kyi ditangkap. Mohammad Yunus Arman, pemimpin warga Rohingya di kamp pengungsi Kutupalong, Cox’s Bazar, Bangladesh, menilai Suu Kyi bertanggung jawab saat militer menyerang permukiman Rohingya di Rakhine. “Dia bungkam soal serangan itu,” tutur Arman seperti dilaporkan Al Jazeera. “Dulu kami berharap banyak dan mendoakannya sukses. Tapi, setelah 2017, akhirnya kami tahu karakter aslinya."

Tentara mengobrak-abrik permukiman Rohingya dengan alasan memburu milisi bersenjata yang mengancam keamanan negara. Operasi militer itu juga disertai penganiayaan dan pemerkosaan. Diperkirakan lebih dari seribu orang tewas dalam serangan tersebut. Laporan PBB pada 2019 menyatakan Tatmadaw telah melakukan genosida, tapi Suu Kyi justru membela aksi militer itu dalam Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda.

Hossain Ahammad, warga Rohingya yang tinggal bersama istri dan tiga anaknya di Cox's Bazar, mengatakan militer dan Suu Kyi tak melakukan apa pun untuk memulihkan hak mereka. Warga Rohingya pernah berharap keadilan bisa tercapai lewat proses demokrasi yang sempat tumbuh di Myanmar. “Kini, setelah militer mengambil alih, kami tak bisa berharap apa-apa lagi yang baik untuk komunitas kami di negeri sendiri,” ujar Ahammad kepada The Guardian.

Bangladesh sudah mengaku kerepotan mengurusi sekitar 1 juta warga Rohingya yang mereka tampung di Cox’s Bazar. Negara tetangga langsung Myanmar itu kemudian mulai memindahkan para pengungsi ke Bhasan Char, pulau apung di Teluk Bengali. Sekitar 10 ribu orang sudah dipindahkan pada Desember tahun lalu. Sejak akhir Februari lalu, 4.000 orang lagi mulai dipindahkan. Meskipun pemerintah Bangladesh menyatakan bahwa pemindahan itu bersifat sukarela, sejumlah pengungsi mengaku dipaksa pindah.

Bangladesh juga berusaha memulangkan para pengungsi ke Myanmar—upaya yang banyak dikritik komunitas internasional. Bangladesh telah meneken rencana repatriasi itu dengan Myanmar pada November 2017, tapi setiap usaha pemulangan menjumpai jalan buntu karena ditolak para pengungsi. Rencana itu kini tertunda lagi setelah kudeta terjadi. Kini warga Rohingya di sana makin cemas akan nasib mereka setelah militer yang dulu memburu mereka justru berkuasa.

Kelanjutan rencana repatriasi warga Rohingya kini bergantung pada militer. Sekitar sepekan selepas kudeta, Panglima Militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing menyatakan akan memulangkan para pengungsi dari Bangladesh. Sejumlah pejabat Bangladesh juga berharap proses repatriasi bisa berjalan lebih baik. Namun kondisi selepas kudeta tetap meragukan bagi warga Rohingya. “Peluang mereka untuk pulang dengan sukarela dan mendapatkan keamanan kini lenyap,” kata Matthew Smith.

Sebelum kudeta terjadi, warga Rohingya masih punya sedikit harapan untuk pulang. Kini mereka justru khawatir dan menolak jika juta militer berusaha memulangkan mereka. “Jika kami pulang dan rezim militer itu masih ada, mereka bisa menyiksa kami lagi,” tutur Nurual Amin, pengungsi Rohingya di Bangladesh, seperti dilaporkan Associated Press.

Menteri Luar Negeri Bangladesh A.K. Abdul Momen telah meminta negara-negara anggota Organisasi Kerja sama Islam (OKI) membantu proses repatriasi pengungsi Rohingya. Ia menyampaikannya kepada Asisten Sekretaris Jenderal Ambasador Urusan Politik OKI Youssef Aldobeay, yang berkunjung ke Dhaka pada Senin, 1 Maret lalu.

Bangladesh juga menolak tambahan pengungsi ketika patroli penjaga pantai India menemukan perahu nelayan yang mengangkut para pengungsi Rohingya di Laut Andaman, yang berada di antara India, Bangladesh, dan Myanmar. Perahu itu terkatung-katung selama hampir dua pekan dan berisi 81 warga Rohingya yang kabur dari Myanmar. Delapan orang telah meninggal karena dehidrasi.

India bermaksud mengirim mereka ke Bangladesh, negara terdekat dari lokasi perahu tersebut, tapi Menteri Abdul Momen menyatakan negaranya “tak punya kewajiban” menampungnya. “Mereka bukan warga Bangladesh, dan pada kenyataannya mereka warga Myanmar,” tutur kata Momen kepada Al Jazeera.

India tidak mengadopsi Konvensi PBB tentang Pengungsi, yang mewajibkan negara penanda tangan mengakui hak-hak pengungsi dan bertanggung jawab melindungi mereka. Negeri itu juga tidak punya undang-undang perlindungan pengungsi meskipun kini menampung lebih dari 20 ribu pengungsi, termasuk warga Rohingya. Nasib para pengungsi Rohingya di perahu itu kini tidak pasti karena India pun melarang mereka masuk ke negaranya.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA (MYANMAR NOW, MYANMAR FRONTIER, THE IRRAWADY, BBC, TIME, AL JAZEERA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus