Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Orang ismailiah yang netral

Putra pemimpin ismailiah, sayed jaffar nadri, 24, diangkat jadi pemimpin menggantikan ayahnya, sayed mansoor nadri. umat ismailiah netral, tak memihak soviet atau mujahidin tapi taat dengan aga khan.

10 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Afghanistan tak hanya ada Mujahidin dan rezim Kabul yang kini sedang bertempur. Di antara desing peluru dan roket, tersebut sekelompok orang Afghanistan yang berdiri neral. Merekalah orang-orang Ismailiah, seke dari Syiah. Di zaman kerajaan, kaum Ismailiah Afghanistan -- sebagaimana banyak suku di negeri ini -- punya wilayah merdeka di pedalaman. Ketika kerajaan dikudeta oleh kelompok militer 1973 yang menjadikan Afghanistan sebuah republik mereka dipaksa mengakui pemerintah pusat. Gerakan Ismailiah menyebabkan sejumlah pemimpinnya pada 1976 ditahan. Campur tangan Soviet dalam pergolakan politik di negeri ini ternyata menguntungkan kaum Ismailiah. Sejak Babrak Karmal berkuasa dengan bantuan Soviet tanah mereka dikembalikan. Salah satu dari yang dibebaskan itu adalah Sayed Mansoor Nadri pemimpin Ismailiah. Kini dia memimpin 2 juta umat Ismailiah di Kayan, wilayah seluas 27.000 km -- sekitar 5 kali luas Pulau Bali -- di timur laut Afghanistan. Sayed Mansoor tak cuma memimpin kembali umatnya. Ia pun memanggil pulang putranya Sayed JafJar Nadri yang ketika ia masuk penjara Jaffar diungsikan ke Inggris. Berikut kisah Jaffar yang kini 24 tahun yang memimpin 12.000 tentara yang tetap mencoba netral dalam perang Mujahidin-rezim Kabul kini. JAFFAR terpaksa diungsikan ke Inggris saat ia masih 10 tahun. Ia masuk Sekolah Persiapan Blue Coat di Birmingham. Empat tahun kemudian ia pindah ke AS, menumpang pada salah satu pamannya di Allentown, Pennsylvania. Anak muda ini cepat beradaptasi dengan lingkungan barunya. Ia ubah namanya menjadi Jaff Nadri. Barangkali sudah menjadi tabiatnya, ia lebih mudah berbicara dengan tinjunya daripada dengan mulutnya. Di Mountain Junior High School, sekolahnya di AS itu, Jaff 16 kali kena skors. Salah satunya karena menonjok guru. Ia pun ikut gang sepeda motor yang suka putar-putar di jalan raya. Di lengannya ada tato salib, diukir oleh pacarnya. Ia pernah ditangkap polisi gara-gara berenang telanjang bulat di kolam renang umum. Tapi Jaffar cukup bertanggung jawab atas uang sakunya sendiri. Ia bekerja juga sebagai pelayan di restoran McDonald di kota itu. Ketika ia 17 tahun itulah, awal 1980-an ayahnya dibebaskan dan ia harus pulang kampung. "Aku tak bisa berbahasa Inggris waktu ngungsi ke Inggris. Pulang ke Afghanistan aku sudah lupa bahasa Persia," tuturnya. Remaja yang hidup manja dan ugal-ugalan di tanah orang itu harus menghadapi kenyataan. "Ketika mendarat di bandara Kabul, aku merasa memasuki neraka. Ketiga pamanku hilang, puluhan pemimpin kaum Ismailiah tak jelas nasibnya. Kampung kami hancur." Tapi ajaib, si remaja tumbuh jadi kepala suku dan panglima tentara yang sanggup tawar-menawar dengan pihak Soviet maupun pejuang Mujahidin. Itu semua dimulai ketika suatu malam ia dipanggil ayahnya diwejang, dan diangkat sebagai pemimpin. "Kami tunduk pada Aga Khan. Apa pun perintah beliau kami kerjakan. Percaya atau tidak, jika beliau memerintahkan kami bunuh diri, semua warga Ismailiah di Afghanistan akan melakukannya," kata ayahnya waktu itu. Sesungguhnya sewaktu masih di AS, Jaffar sudah menunjukkan kepribadian yang ia perlukan kini. Kata seorang gurunya di AS dulu. "Ia cepat bersahabat dan pandai melucu." Mungkin karena itu ia diterima oleh pihak Kabul juga tak dimusuhi oleh Mujahidin. Di samping sebab yang lain tentu. Rezim Najibullah tentu tak ingin musuhnya bertambah. Sementara di dalam Mujahidin yang Suni itu memang ada sekelompok Mujahidin Syiah, memusuhi kaum Ismailiah sama saja artinya memecah belah kekuatan Muhjahidin. Dari diplomasi dua sisi itulah Jaffar berhasil mempersenjatai pasukannya. Bukan sekadar senapan, bahkan kendaraan lapis baja, tank, dan peluncur roket darat ke darat. Di Kayan, Jaffar punya rumah khusus untuk menjamu para perwira Soviet. Di rumah itulah ia bisa menjamu sekaligus pemimpin pemberontak Mujahidin dan para perwira Soviet tanpa kedua seteru itu mengetahui kehadiran masing-masing. Sekali waktu, kepada para perwira Soviet, Jaffar berjanji menolong melepaskan tentara Soviet yang ditawan Mujahidin. "Kami kaum Ismailiah selalu melakukan yang kami ucapkan. Apa pun akibatnya bagi kami, anak buah Anda pasti kembali. Pulanglah, dan Anda tak perlu khawatir." "Tapi kadang-kadang kami terpaksa juga bertempur melawan mereka. Kami cinta damai. Tapi jangan coba-coba ada yang memperbudak kami. Pasti kami bantai habis-habisan," kata Jaffar. Itu memang kata-kata seorang yang merdeka. Kayan pada kenyataannya memang mengatur sendiri segalanya. Dari soal pertahanan pajak. Listrik, sampai perdagangan. Secara turun-temurun kaum Ismailiah di mana saja menyumbangkan 10% pendapatan mereka kepada Yayasan Aga Khan di Pakistan. Tapi khusus untuk kaum Ismailiah di Afghanistan, mereka boleh menggunakan dana itu untuk kesejahteraan masyarakat. Di Kayan, sebuah rumah sakit memberi perawatan cuma-cuma. Tak cuma buat orang Ismailiah sendiri. Korban peperangan, tak peduli dari pihak pemerintah atau Mujahidin, dirawat juga dengan cuma-cuma tanpa membedakan siapa mereka. Ada juga sebuah penjara. Penghuninya orang dari suku lain, pembunuh, bahkan anggota gerilyawan Mujahidin yang dituduh melakukan kejahatan. Bea cukai Kayan pun berfungsi sebagaimana layaknya. Meski wilayah ini di tengah peperangan, konvoi tentara Kabul atau pejuang Mujahidin yang melewati Kayan harus diperiksa dan membayar pajak. Jaffar, lelaki bertubuh gemuk dan bercambang ini, yakin benar bahwa siapa pun yang keluar sebagai pemenang di Afghanistan, ia akan masih tetap seperti sekarang: sebagai tuan di wilayah yang merdeka. Cita-citanya satu: mendirikan diskotek di negeri yang tiga perempat warganya pemeluk Suni dan sisanya Syiah ini.Bahan: The Sunday Times Magazine

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus