Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di apartemennya yang sederhana di pusat Kota Sana'a, pengusaha dan komentator terkemuka Yaman, Haykal Bafana, berusaha tenang menjawab semua kekhawatiran ibu mertuanya lewat telepon. "Berita-berita di media tentang situasi di Sana'a semuanya dramatis," katanya melalui saluran telepon yang berderak-derak, Kamis siang pekan lalu. "Saya masih di sini dengan istri dan anak-anak di Sana'a. Situasi secara umum tetap tenang."
Bafana sebenarnya tak sepenuhnya jujur. Ibu kota Yaman itu baru saja diserang jet-jet tempur pasukan koalisi negara kawasan Teluk Persia pimpinan Arab Saudi. Ketakutan melanda warga kota berpenduduk 1,7 jiwa itu. Hal ini diungkapkan Hakim Al Masmari, editor Yemen Post. "Serangan udara tidak hanya di tempat tertentu, tapi hampir di seluruh wilayah Sana'a," kata Masmari.
Kota Sana'a, Pangkalan Udara Al-Daylami di utara Sana'a, dan kompleks kepresidenan yang sudah dikuasai pemberontak Houthi sejak Januari lalu menjadi target serangan. Beberapa serangan udara juga terjadi di Malaheez dan Hafr Sufyan, yang terletak di wilayah Saada. Lokasi ini merupakan markas Houthi yang berbatasan dengan Arab Saudi.
"Kami melakukan apa yang diperlukan untuk melindungi legitimasi pemerintahan Yaman dari kejatuhan dan mencegah kelompok radikal Houthi melakukan kudeta," kata Duta Besar Arab Saudi untuk Amerika Serikat, Adel al-Jubeir, dalam konferensi pers di Washington, DC. Pengumuman ini tak lama setelah serangan pertama yang menewaskan setidaknya 18 orang dan melukai 24 lainnya.
Stasiun Al Arabiya TV melaporkan Arab Saudi mengerahkan 100 pesawat tempur dalam operasi "Badai Perbaikan" itu. Tak kurang dari 85 pesawat disokong Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Kuwait, Yordania, Maroko, dan Sudan. Mesir mengirim empat kapal perangnya ke Teluk Aden.
Serangan ini dilancarkan hanya beberapa jam setelah Presiden Yaman Abd-Rabbuh Mansour al-Hadi, yang didukung Iran dan Amerika Serikat, meninggalkan Aden. Kota di tenggara Sana'a ini selama satu bulan terakhir menjadi lokasi pelarian Hadi setelah terusir dari Sana'a, yang dikuasai Houthi.
Saksi mata mengatakan iring-iringan kendaraan pada Rabu malam me-ninggalkan istana di puncak bukit Aden yang menghadap ke Laut Arab. Petugas keamanan dan pelabuhan kepada kantor berita The Associated Press mengatakan Hadi menggunakan dua kapal berukuran kecil sejak sore.
Serangan koalisi Arab dan kepergian Hadi menjadi babak baru dalam konflik Yaman.
KISRUH di negara yang terletak di ujung Jazirah Arab itu berawal ketika Houthi, yang berlatar belakang Syiah Zaidi, menggeruduk Sana'a pada September tahun lalu. Invasi minoritas yang berkuasa di utara Yaman memaksa pembubaran parlemen serta turunnya Perdana Menteri Khaled Baha dan Presiden Al-Hadi pada Januari lalu.
Sebulan berselang, Hadi menarik pengunduran dirinya dan menyatakan tetap sebagai pemimpin sah Yaman. Ia kemudian memindahkan pemerintahannya ke Aden, sekitar 300 kilometer tenggara Sana'a. Meski Houthi menguasai ibu kota dan wilayah utara negara itu, pengaruh mereka kecil di daerah selatan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Amerika Serikat berinisiatif menggelar pertemuan membahas masalah Yaman di Doha, Qatar. Utusan khusus PBB untuk Yaman, Jamal Benomar, melansir kekhawatiran memburuknya situasi di negara berpenduduk 23 juta jiwa itu. Ia menyebut Yaman berada di ambang perang saudara.
"Niat Houthi melakukan serangan dan berhasil menguasai seluruh negeri adalah ilusi. Begitu juga pendapat Presiden Hadi bahwa dia bisa menghimpun kekuatan untuk membebaskan negara dari Houthi," katanya.
Sepintas kisruh di Yaman terlihat sebagai ketidakpuasan etnis Houthi terhadap pemerintah pusat di Sana'a yang dikuasai Sunni. Mereka menganggap pemerintah melakukan diskriminasi dan tak memperhatikan minoritas Syiah. Houthi bergerak cepat dengan menguasai Sana'a. Mereka meluaskan kekuasaan ke selatan. Kelompok yang dipimpin Abdel-Malik al-Houthi itu hingga pekan lalu diperkirakan sudah menguasai 9 dari 21 provinsi di Yaman.
Kemampuan Houthi merebut Sana'a dan wilayah lain menimbulkan kecurigaan. Kelompok ini diduga mendapat dukungan Iran, yang sama-sama menganut Syiah. Dukungan lain datang dari pasukan yang loyal pada Ali Abdullah Saleh, mantan presiden yang didukung Teheran sebelum digantikan Hadi pada 2012.
Inilah yang membuat kelompok Sunni meradang. Pada Jumat pekan lalu, bom bunuh diri ganda meledak di tengah jemaah Houthi di Masjid Badr di wilayah selatan Sana'a dan Masjid Al-Hashahush di Jarraf di bagian selatan ibu kota. Insiden ini menewaskan 142 orang dan melukai 357 lainnya. Al-Qaidah di Semenanjung Arab (AQAP), milisi Sunni yang berafiliasi dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dan berikrar menghabisi Syiah di Yaman, mengaku bertanggung jawab.
Namun Jamal Benomar mengatakan konflik melibatkan kekuatan lain di luar Yaman yang bersaing memperebutkan pengaruh dalam skala lebih besar. Ia menyinggung keterlibatan Iran di belakang Houthi dan Arab Saudi yang mendukung pemerintah Presiden Hadi.
Robert McFadden dari lembaga konsultan strategi internasional Soufan Group mengatakan konflik tersebut "tidak diragukan lagi" dipicu oleh Iran dan Arab Saudi. Ia beralasan ketegangan sektarian bukan "hal biasa" di Yaman, yang terbagi berdasarkan suku, bukan Sunni-Syiah seperti di negara-negara Levant. "Hal ini membuat transisi dari medan politik menjadi sesuatu yang sangat sektarian," katanya.
YAMAN punya arti penting bagi Iran dan Arab Saudi. Dengan penduduk yang 35 persennya merupakan warga Syiah, Yaman dapat menjadi potensi sekutu di kawasan. Sedangkan bagi Arab Saudi, yang memiliki panjang perbatasan 1.770 kilometer dengan Yaman, keamanan dan kestabilan Yaman adalah pertaruhan yang tinggi. Jika Houthi berkuasa di Yaman, hal itu akan menjadi ancaman bagi kerajaan Sunni ini.
Jamal Benomar memperingatkan perang pengaruh Iran-Arab Saudi bisa membuat Yaman bernasib buruk seperti tetangganya, Irak, Libanon, dan Suriah. Tiga negara itu jatuh dalam perang saudara dan terperosok dalam konflik berunsur sektarian. "Jika tidak segera tercapai kesepakatan, prospek Yaman sangat suram. Ini adalah kombinasi dari skenario seperti Irak, Libya, dan Suriah," katanya seperti dilansir CNN, pekan lalu. "Ini skenario mengerikan."
Banyak orang di Iran masygul bila mengingat bagaimana Arab Saudi mendukung mantan orang kuat Irak, Saddam Hussein-dari kelompok Sunni-selama perang Iran-Irak 1980-1988. Perang yang berlangsung delapan tahun itu menewaskan ratusan ribu orang.
Ketika Amerika Serikat melakukan invasi ke Irak pada 2003 untuk menggulingkan Saddam Hussein, ketegangan sektarian merebak ke seluruh wilayah itu. Serbuan Amerika juga mempunyai akibat yang tidak diinginkan dengan membaliknya Irak terhadap Iran. Mayoritas Syiah Irak memperoleh kekuasaan di Bagdad. Riyadh akhirnya menyalurkan dukungan kepada minoritas Sunni di Irak.
Terakhir palagan beralih ke Suriah. Konflik yang sudah berjalan empat tahun pada Maret ini juga tak lepas dari perseteruan keduanya. Arab Saudi dan sekutunya merupakan pendukung pasukan pemberontak, yang sebagian besar merupakan milisi Sunni. Mereka berusaha menggulingkan Presiden Bashar al-Assad dari Alawit, pecahan Syiah. Sekitar tiga tahun lalu, Assad tampaknya siap menyerah dan kalah. Namun Iran mengerahkan Hizbullah, sekutunya di Libanon, dan membuat Assad mampu bertahan sampai hari ini.
Perseteruan berbalut sektarianisme ini sepertinya masih berlangsung lama. "Dalam waktu dekat tidak akan ada jeda di antara kedua musuh itu," kata Nader Karimi Juni, pengamat dan mantan tahanan politik di Teheran, kepada kantor berita Mi'raj Islam News Agency (MINA). "Iran dan Arab Saudi tidak akan pernah menjadi teman. Setiap negara memiliki ideologi yang memusuhi negara lain."
Iran membantah dugaan keterlibatan-nya di Yaman. Menteri Luar Negeri Iran Muhammad Javad Zarif, yang tengah melakukan perundingan nuklir Iran dengan enam negara kekuatan dunia di Lausanne, Swiss, justru menuding Arab Saudi sebagai biang kekacauan. Zarif mengungkapkan serbuan militer Arab Saudi itu melanggar kedaulatan Yaman.
Kaum Houthi juga menepis anggapan bahwa mereka mendapat dukungan Iran. Juru bicara Houthi, Mohammed al-Bukhaiti, mengatakan mereka akan menghadapi Iran dan aliansi Sunni tanpa bantuan siapa pun. "Rakyat Yaman bersiap menghadapi agresi ini tanpa campur tangan asing. Kami tak akan melenggang tanpa perlawanan."
Pernyataan itu bisa dipastikan menjadikan Yaman sebagai palagan baru.
Raju Febrian (reuters, Bbc, Cnn, Al Jazeera, Ib Times, Mina)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo