Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemimpin baru Taliban, Mullah Akhtar Mohammad Mansour, menyerukan persatuan kelompoknya lewat sebuah pesan suara. Rekaman berdurasi 30 menit itu dirilis di situs Taliban oleh juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, Sabtu dua pekan lalu. "Di mana ada perpecahan, Allah tidak akan senang, hanya musuh yang akan senang. Kita sudah berperang 25 tahun dan tidak akan kehilangan pencapaian kita," ujar Mansour, seperti dilaporkan The Washington Post. Dalam rekaman, pada beberapa bagiannya terdengar bayi menangis di latar belakang.
Perpecahan dalam Taliban terjadi berkaitan dengan pengangkatan Mansour menggantikan Mullah Omar, yang meninggal di sebuah rumah sakit di Pakistan pada 2013. Rapat (shura) pimpinan Taliban di Quetta, bagian barat Pakistan, pada Rabu dua pekan lalu memilih Mansour sebagai pemimpin baru. Namun beberapa tokoh senior, termasuk Mullah Abdul Manan, adik Omar, dan Mullah Yaqoub, anak Omar, memilih walk out sebagai bentuk protes. Gara-garanya tidak semua ulama dan anggota Taliban hadir dalam pertemuan yang cenderung rahasia tersebut. "Itu bukan pertemuan Dewan Pemimpin Taliban. Mansour hanya mengundang anggota kelompoknya untuk memuluskan jalan pemilihan dirinya," kata anggota senior Taliban yang tak mau menyebut nama, seperti dilansir Reuters.
Mansour memimpin faksi terkuat di Taliban serta mengendalikan sebagian besar juru bicara dan situs. Selain dipilih dalam rapat itu, secara mengejutkan dia mendapat surat dukungan dari pesaing lamanya, komandan perang Taliban yang pernah menjadi tahanan penjara Guantanamo milik Amerika Serikat, Abdul Qayum Zakir. Dukungan juga datang dari Jalaluddin Haqqani, pemimpin Haqqani Network, yang dituding sebagai dalang serangan terorisme di Kabul beberapa tahun terakhir. Sedangkan Mullah Yaqoub didukung dua figur berpengaruh dalam Taliban, yaitu Mullah Mohammad Rasool dan Mullah Hasan Rahmani.
Meski Mansour lima tahun menjadi wakil Mullah Omar, beberapa anggota shura mempertanyakan loyalitasnya dan menuduhnya sebagai kaki tangan Pakistan. "Mansour dipandang sebagai orang Pakistan. Itu penyebab perbedaan sengit di antara pemimpin Taliban," ucap pejabat menengah Taliban yang tak disebut namanya, seperti dikutip The National.
Mansour juga dianggap membohongi anggota Taliban selama hampir dua tahun tentang kematian Mullah Omar dan memalsukan pesan-pesan atas nama Mullah Omar selama tiga tahun. Mohaz Ghadafi, pemimpin Tehrik-e-Islam, kelompok pemberontak lain, bahkan menuduh Mansour meracuni Mullah Omar lewat kolaborasi dengan badan intelijen Amerika Serikat.
Mullah Manan, adik Mullah Omar, menyatakan keluarganya tak mengakui kepemimpinan Mansour. "Keluarga kami... tidak mendeklarasikan kepatuhan kepada siapa pun di tengah perbedaan ini," ujarnya lewat pesan suara yang dibenarkan oleh Taliban.
Menurut Manan, keluarganya ingin para ulama menyelesaikan perbedaan daripada menyatakan kepatuhan kepada pihak tertentu. "Seharusnya ada dewan utama sehingga semua orang berkesempatan memilih pemimpin mereka. Saya tidak menerima pemilihan Mullah Mansour karena hanya sedikit yang memilihnya." Manan menyebutkan keluarganya hanya akan melayani pemimpin baru jika dipilih lewat konsensus.
Sikap lebih keras diambil Mohammad Tayab Agha. Kepala Kantor Politik Taliban di Qatar ini memilih mengundurkan diri daripada harus menerima kepemimpinan Mansour. Aliran dana dan dukungan politik dari Doha terancam putus. "Dalam situasi kontroversial saat ini, saya tidak mendukung sisi mana pun," kata Agha. Menurut dia, Taliban membuat kesalahan bersejarah dengan mengungkap kematian Mullah Omar dan memilih penggantinya di luar Afganistan.
Dia mengingatkan hal serupa pernah terjadi ketika pemilihan pemimpin komunis Afganistan di Moskow ataupun pemilihan pemimpin faksi di Pakistan. "Penunjukan pemimpin di luar negaranya membawa kemunduran bagi bangsa Afgan yang tertindas," ujar Agha, seperti dilansir Associated Press. Karena itu, dia meminta semua anggota Taliban di luar negeri kembali ke Afganistan.
Di tengah perpecahan, pada Senin pekan lalu Taliban merilis video yang mengklaim janji kepatuhan Taliban kepada Mansour. Sayap informasi Taliban mengirim video 100 detik itu kepada The Express Tribune dan media lain lewat aplikasi WhatsApp. Menurut laporan Tribune, Mansour tak tampak jelas di video itu, tapi puluhan anggota Taliban terlihat mengenakan sorban dan peci. Bersama para ulama, mereka berjanji patuh kepada sang pemimpin baru. Taliban tidak membenarkan lokasi pertemuan itu.
Suara dalam video itu juga dilaporkan tak jelas. Namun ada keterangan di dalamnya: "Satu bagian upacara kepatuhan kepada pemimpin baru". Terdengar suara sejumlah anggota mengatakan "Allah telah berkehendak".
Bukan hanya itu, Taliban juga merilis foto dan video lain yang menunjukkan simpatisan mereka berkumpul menyambut pengangkatan pemimpin baru. Tribune menulis tak biasanya kelompok ini mempublikasikan video perkumpulan mereka. Langkah ini dianggap sebagai upaya menepis adanya perpecahan internal dan menunjukkan persatuan Taliban.
Melalui sebuah pernyataan, Taliban juga menyerukan kepada pengikutnya agar tak mengindahkan propaganda musuh tentang perpecahan internal dan bersatu di bawah Mullah Mansour. Pernyataan ini ditandatangani juru bicara Mujahid dan Qari Yusouf Ahmadi. Mereka meminta pendukungnya menulis pesan dan surat di media sosial untuk menunjukkan kesatuan front.
Bagaimanapun, perpecahan ini mengancam kelanjutan perundingan damai Taliban dengan pemerintah Afganistan yang difasilitasi Pakistan pada 7 Juli lalu di Islamabad. Pengamat dari Amerika dan Cina ikut hadir dalam perundingan itu. Perundingan terbilang merupakan kemajuan signifikan setelah konflik 14 tahun yang menelan ribuan nyawa. Presiden Afganistan Ashraf Ghani pun mengaku optimistis menjalaninya.
Kenyataannya, pada Kamis pagi pekan lalu Taliban kembali melancarkan serangan besar pertamanya di Kabul pasca-kematian Mullah Omar. Setidaknya tiga warga sipil dan tiga polisi tewas serta puluhan terluka. Mereka menambah daftar korban konflik Taliban-Afganistan sejauh ini. Menurut Misi Bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Afganistan (UNAMA) dalam laporannya Rabu pekan lalu, hingga pertengahan tahun ini, ada 4.921 korban sipil tewas akibat konflik.
Menurut laporan The New York Times, perundingan damai di Islamabad justru membuat geram sebagian pemimpin Taliban yang selama bertahun-tahun menolak pembicaraan langsung dengan pemerintah Afganistan. Mereka memilih proses perdamaian yang lebih lambat tanpa campur tangan Pakistan. Agha termasuk golongan ini.
Bagi Agha, perundingan Islamabad dibajak oleh agen mata-mata militer Pakistan, Inter-Services Intelligence. Perundingan itu menghancurkan upaya Agha bertahun-tahun lewat diplomasi pulang-pergi (shuttle diplomacy) untuk berunding dengan politikus Afganistan yang berpengaruh di Doha, Oslo, hingga Dubai. Kaki tangan Agha yang tak mau menyebut nama mengatakan pejabat Taliban yang berpartisipasi dalam perundingan Islamabad hanya ingin menyelamatkan keluarga dan properti mereka di Pakistan.
Utusan khusus Washington untuk Afganistan dan Pakistan, Daniel Feldman, berharap Taliban memanfaatkan momentum perundingan Islamabad untuk mencapai perdamaian. "Kami melihat dan menunggu." Sedangkan analis politik berbasis di Kabul, Haroon Mir, menganggap Taliban berada di ambang kematian. "Mereka tak bisa berperang selamanya, harus mengubah diri dari kekuatan militer dan religius menjadi kekuatan politik," kata Mir. Namun, kalaupun nanti Taliban menerima perundingan damai, mereka akan tetap kesulitan menyesuaikan diri dengan masyarakat.
Ada semacam isyarat baik pada Selasa pekan lalu, ketika sekitar 200 anggota tingkat tinggi Taliban berkumpul di Quetta bersama adik dan anak Mullah Omar. Menurut Mullah Hameedullah, anggota Dewan Persatuan Taliban, mereka ingin menyelesaikan konflik internal. "Kami membahas masalah dari kedua sisi. Akhirnya keluarga Mullah Omar memberi otoritas kepada Dewan Persatuan, keputusan apa pun yang diambil, mereka akan setuju dan menerimanya," ujar Hameedullah.
Putra sulung Mullah Omar, Mullah Yaqoub, membenarkan kabar bahwa dia hadir pada pertemuan itu, tapi tak memberi keterangan lebih jauh. Menurut dia, selanjutnya Dewan akan bertemu dengan Mullah Mansour.
Menurut The Washington Post, jika Mansour gagal menyatukan Taliban, Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) bakal diuntungkan. Sebab, kelompok kecil bentukan ISIS terus tumbuh di Afganistan selama setahun belakangan dan merekrut anggota Taliban yang kecewa. Pada awal bulan ini, sekitar 50 tentara Taliban di Provinsi Kunduz bergabung dengan ISIS setelah diiming-imingi uang.
Atmi Pertiwi (The Washington Post, The New York Times, The National, The Express Tribune,Reuters, AP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo