Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RATUSAN tenda berjejer tak beraturan di halaman Central World Plaza, pusat belanja tak jauh dari perempatan Ratchaprasong, Bangkok—satu dari tujuh perempatan yang menjadi tujuan demonstran anti-pemerintah. Kelompok yang menamakan diri Komite Reformasi Rakyat Demokratik (PRDC), Rabu pekan lalu itu, sengaja menginap di jalanan untuk menggelar aksi protes selama dua pekan. Mereka mendesak Perdana Menteri Thailand Yingluck Shinawatra mundur dari jabatannya dan menyerahkan kekuasaan kepada dewan rakyat.
"Jika membandel, kami akan menghentikan suplai listrik dan air ke rumah mereka," kata pemimpin demonstran, Suthep Thaugsuban, seperti dikutip Reuters, Rabu pekan lalu. Langkah ini diambil setelah tak ada titik temu antara demonstran dan pemerintah. Yingluck menawarkan pemilihan umum untuk menyelesaikan kisruh politik. Tapi Suthep, bekas Sekretaris Jenderal Partai Demokrat yang beroposisi, menolak opsi itu.
Setiap hari sejak Senin pekan lalu, perempatan Ratchaprasong dipenuhi ribuan pengunjuk rasa yang sebagian mengenakan kaus kuning, menenteng bendera Thailand, dan mencangklong peluit warna emas. Mereka mengikuti aksi itu bak piknik dengan membawa ransel dan mengajak keluarganya. Jalanan lumpuh, hanya pejalan kaki yang bisa melintas.
Namun aksi ini tidak semengkhawatirkan seperti disebut sejumlah media asing. Wisatawan tetap bebas berbelanja di kawasan pusat belanja fashion di Thailand. "Kami sudah terbiasa dengan demonstrasi. Kalau tahun ini kaus kuning kembali berkuasa, pasti akan ada demonstrasi dari kaus merah (lawannya)," kata Boy Wattana, pelayan Kafe Black Canyon, kepada Tempo.
Kaus kuning adalah simpatisan Partai Demokrat. Selama satu dekade, Partai Demokrat selalu kalah melawan Partai Thai Rak Thai, bentukan Thaksin Shinawatra, kakak Yingluck. Pada 2011, Demokrat kembali dipecundangi Pheu Thai, yang baru saja berdiri.
Mereka mengenakan kaus kuning sebagai simbol pendukung Kerajaan. Mereka berasal dari kelompok kelas menengah-atas: pengusaha, akademikus, mahasiswa, hingga birokrat. Sebagian memiliki kedekatan dengan keluarga Raja Thailand Bhumibol Adulyadej. Wilayah selatan Thailand yang maju karena bisnis dan pariwisata menjadi basis kaus kuning.
Demonstrasi itu merupakan cara yang digunakan oposisi untuk memperburuk situasi politik. Mereka ingin menciptakan situasi seperti saat sebelum penggulingan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra pada 2006. Mereka berharap demonstrasi akan memicu aksi serupa oleh pendukung Yingluck, kaus merah.
Kaus merah berasal dari pedesaan di wilayah utara dan timur laut Thailand. Mereka sebagian besar petani yang selama puluhan tahun ditindas elite Thailand. Setelah berkuasa, Thaksin memperbaiki kehidupan petani dengan memberikan jaminan kesehatan dan pinjaman bank berbunga lunak serta menetapkan harga gabah yang lebih tinggi. Kebijakan ini diteruskan hingga Yingluck berkuasa.
Pada saat penggulingan Thaksin, kelompok kaus kuning turun ke jalan untuk mendesak pengusutan kasus korupsi yang melibatkan Thaksin dan keluarganya. Bentrok kubu kaus kuning dan kaus merah tak terhindarkan, dan memaksa militer turun tangan. Keadaan serupa itulah yang kini dikhawatirkan pemerintah. "Ini serupa dengan kondisi yang diciptakan saat itu," kata Chaturon Chaisang, petinggi Partai Pheu Thai, partai penguasa, kepada The Nation.
Awalnya oposisi menggunakan "peluru" kontroversi pengajuan Undang-Undang Amnesti. Mereka menduga undang-undang itu digunakan untuk memberi jalan kepada Thaksin kembali ke Thailand—sehingga dia tak perlu menjalani hukuman dua tahun yang diputuskan pengadilan pada 2008. Namun cara ini melempem, gagal menarik simpati mayoritas publik Thailand.
Mereka mulai memanfaatkan lembaga-lembaga tinggi negara untuk menyerang pemerintah. Kaus kuning adalah kelompok terpelajar yang memiliki jaringan di Mahkamah Konstitusi, Komisi Antikorupsi, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Hak Asasi Manusia, dan Pengadilan Federal Thailand. "Lembaga-lembaga penting itu digunakan oposisi untuk menjatuhkan pemerintahan Yingluck. Tuduhan-tuduhan dimunculkan agar penggulingan Yingluck seolah-olah legal," kata Marc Saxer, analis politik Friedrich Ebert Stiftung, lembaga peneliti demokrasi di Jerman, seperti dikutip Deutsche Welle.
Saxer mencontohkan pengusutan oleh Komisi Antikorupsi Thailand terhadap kasus dugaan pemalsuan tanda tangan dalam amendemen Undang-Undang Senat. Kasus ini menjerat 308 bekas anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang baru sebulan dibubarkan Yingluck. Mayoritas berasal dari Partai Pheu Thai, partai Yingluck, dan koalisi pemerintah. Komisi bahkan melarang para tersangka itu maju dalam pemilu pada 2 Februari. Oposisi memang gencar berusaha menggagalkan pemilu. Padahal sebagian besar politikus ini akan maju lagi dalam pemilu karena tidak cukup waktu untuk mencari kandidat baru.
KPK Thailand juga sedang mengulik-ulik kebijakan Yingluck tentang skema pembelian beras petani dengan harga tinggi. Akibat kebijakan yang menelan anggaran 425 miliar baht atau sekitar Rp 153,8 triliun ini, Thailand kalah bersaing dengan India sebagai eksportir beras terbesar di dunia. Importir beras memilih India dan Vietnam, yang menawarkan harga lebih murah. Yingluck sebagai Ketua Komite Beras Nasional bisa terjerat. Kasus ini segera masuk ke pengadilan.
Bidikan juga datang dari Mahkamah Konstitusi. Saat ini sedang berlangsung sidang "uji materi" rencana proyek pembangunan empat jalur kereta cepat. Salah seorang hakim menilai proyek yang menelan anggaran 2 triliun baht itu belum terlalu penting. Proyek itu dinilai hanya akan buang-buang duit. "Putusan (dari sidang) itu untuk menjatuhkan akuntabilitas pemerintah, sehingga ada dasar yang kuat pengunjuk rasa menyerang Yingluck," kata Puangthong Pawakapan, pengamat politik Chulalongkorn University di Bangkok.
Masih ada upaya lain: kaus kuning juga berusaha mendekati militer. Pertengahan Desember lalu, demonstran memblokade gedung militer untuk mencari dukungan. Suthep Thaugsuban dikabarkan bertemu dengan petinggi militer. Suthep dikenal dekat dengan petinggi militer senior karena pernah memegang jabatan Direktur Pengambil Kebijakan Situasi Darurat saat krisis pada 2010. Dia berusaha mengajak militer bergabung menggulingkan Yingluck. Militer Thailand telah 18 kali mengkudeta pemerintah dalam 80 tahun terakhir.
Harian berbahasa Inggris di Thailand, Bangkok Post, menyebutkan militer telah terpecah. Sejumlah perwira yang dikenal sebagai burapha payak (berarti macan timur) mendukung Suthep. "Suthep telah melobi pegawai senior pemerintah untuk menolak perintah dari Yingluck dan ikut bergabung dengan pengunjuk rasa," kata seorang sumber di militer.
Michael Winzer, pengamat dari Konrad Adenauer Stiftung, lembaga peneliti tentang kemiliteran di Bangkok, menjelaskan bahwa mayoritas tentara berasal dari wilayah utara, tempat Pheu Thai memiliki dukungan kuat. Namun mereka ini berada di level bawah. "Sedangkan pemimpin militer didominasi kaus kuning," kata Winzer.
Militer secara tradisional memiliki hubungan dekat dengan keluarga Kerajaan dan kaus kuning. Pasalnya, tugas utama tentara bukanlah membela bangsa, melainkan melindungi monarki. Raja Thailand adalah panglima tertinggi militer. Namun Winzer menyebutkan kudeta militer sulit dilakukan karena kaus merah sekarang lebih terorganisasi. Jika dipaksa kudeta, menurut dia, akan terjadi perang saudara di militer. "Kami akan berusaha tetap netral," kata Panglima Militer Jenderal Prayuth Chan-Ocha.
Meski serangan datang bertubi-tubi, Yingluck tetap berkukuh bertahan di kursi perdana menteri. Dia menegaskan bahwa jalan terakhir dari krisis politik ini hanya dengan pemilihan umum, yang dijadwalkan 2 Februari. "Saya berada di sini bukan untuk menjaga stabilitas politik. Tugas saya untuk menjaga demokrasi, karena demokrasi milik rakyat Thailand," kata Yingluck.
Eko Ari Wibowo, Yos Rizal (Bangkok)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo