Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengungsi Rohingya Berharap pada Barat
Pengungsi Rohingya Berharap pada Barat
Pengungsi Rohingya Berharap pada Barat
DHAKA – Para pengungsi etnis Rohingya berharap pada opsi lain untuk menetap di negara Barat setelah gagal dua kali dalam upaya repatriasi selama 2018 dan 2019. Mereka berharap bisa bermukim di sejumlah negara kaya. “Saya hanya berdoa dan berharap suatu hari keluarga saya akan menetap di negara Barat,” kata Mohammed Nur, yang tinggal di kamp pengungsi di Distrik Cox’s Bazar, Bangladesh, yang bertetangga dengan Myanmar, seperti dilansir Reuters, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) melaporkan bahwa pada 2011, sekitar 265 ribu pengungsi Rohingya tinggal di perbatasan Bangladesh. Namun, sejak konflik komunal terjadi pada Agustus 2017 di Rakhine, negara bagian di Myanmar barat, hampir 1 juta warga etnis muslim Rohingya kabur ke perbatasan di Bangladesh. Mereka tinggal di kamp-kamp pengungsi di Cox's Bazar di Kutupalong, perbatasan Myanmar-Bangladesh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Upaya pemulangan kembali atau repatriasi warga Rohingya pada 2018 dan 2019 ke Myanmar gagal. Para pengungsi menolak kembali ke Myanmar, yang mayoritas beragama Buddha, karena mereka tidak diberi kewarganegaraan dan dianggap sebagai orang luar. Mereka juga masih takut akan kekerasan yang terjadi di kampung halamannya setelah repatriasi.
Beberapa pengungsi nekat dan mengambil pilihan berbahaya. Mereka menggunakan perahu reyot untuk mencoba masuk ke negara-negara ASEAN. Puluhan orang tewas dalam beberapa tahun terakhir karena perahu mereka yang penuh sesak terbalik dihantam ombak atau kehabisan air dan makanan. Rute berbahaya itu kini semakin sulit karena negara-negara seperti Malaysia menutup perbatasan dan mengancam mendorong kapal kembali ke laut. Alasannya, menghindari meluasnya pandemi corona.
Nur termasuk pengungsi yang masuk daftar untuk program pemukiman kembali di bawah program sebelumnya. Bangladesh, pada 2010, telah mengakhiri program pemukiman kembali karena khawatir akan menjadi pusat pengungsi yang ingin pindah ke Barat. Nur berharap program itu kembali dihidupkan. Dia bahkan menunda pernikahan karena khawatir, jika nanti berkeluarga, dia akan dicoret dari daftar program itu. “Saya sekarang 29 tahun dan tidak ingin menambah anggota keluarga,” kata dia.
Komisioner urusan pengungsi Bangladesh, Mahbub Alam Talukder, mengatakan fokus lembaga itu tetap pada repatriasi. Lembaganya siap memukimkan kembali para pengungsi di negara lain jika pemerintahnya memutuskan melanjutkan program tersebut.
Sejak 2006 hingga 2010, melalui program itu, ada 920 warga Rohingya yang dimukimkan kembali di negara-negara seperti Australia, Kanada, dan Amerika Serikat. Talukder mengatakan kini terserah kepada UNHCR untuk memulai kembali atau tidak program pemukiman tersebut. Menurut Talukder, setelah UNHCR memberi sinyal, pemerintahnya yang akan memutuskan. “Jika keputusan diambil pemerintah, kami siap melaksanakan.”
Kementerian Luar Negeri Bangladesh dan Sekretaris Kementerian belum menanggapi pemberitaan ini. H.T. Imam, penasihat politik Perdana Menteri Bangladesh, sempat menyebutkan proses pemukiman kembali tidak realistis karena keengganan negara-negara Eropa dan Amerika untuk menerima pengungsi muslim. Namun dia menolak berkomentar saat dihubungi oleh Reuters.
Adapun UNHCR mengatakan terus melakukan “dialog berkelanjutan” dengan pemerintah Bangladesh mengenai Rohingya. “Serta melalui jalur negara ketiga bagi mereka yang paling rentan jika opsi ini tersedia,” ujar juru bicara UNHCR, Louise Donovan. UNHCR menilai, pada akhirnya, solusi untuk penderitaan Rohingya terletak di Myanmar.
Sebelum program ini ditangguhkan, UNHCR telah mengidentifikasi sekitar 1.000 orang untuk direlokasi berdasarkan alasan medis atau alasan reunifikasi keluarga. Penangguhan itu membuat sejumlah orang yang sudah bersiap bertambah bingung. “Kami memimpikan kehidupan yang lebih baik ketika kami terpilih untuk dimukimkan di Inggris,” ujar Mohammed Ismail, 32 tahun, yang melarikan diri ke Bangladesh ketika baru berusia 8 tahun. “Tapi malang, kami tidak pernah bisa terbang.”
Ismail dan beberapa orang lainnya yang masuk daftar program itu belum mendengar lagi soal info apa pun terkait dengan program tersebut dalam beberapa tahun terakhir. Menurut dia, sekalipun Bangladesh setuju, tidak akan mudah bagi warga Rohingya untuk memulai hidup baru di Barat.
REUTERS | WWW.CUREUS.COM | UNHCR.ORG | SUKMA LOPPIES
28
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo