Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Benarkah BUMN Indonesia Jual Senjata ke Junta Militer Myanmar

BUMN pertahanan diduga mengirim senjata ke junta Myanmar. Komnas HAM bisa menyelidikinya.

22 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA 18 November 2019, delegasi pertahanan Myanmar yang dipimpin Panglima Pertahanan Jenderal Senior Min Aung Hlaing menyambangi pameran Defense and Security 2019 di IMPACT Exhibition Center, Bangkok, Thailand. Dia menghampiri stan PT Pindad, yang menampilkan maket produk buatannya, seperti tank Harimau, kendaraan tempur Anoa, kendaraan taktis Komodo, dan senapan serbu SS2-V4. Menurut siaran pers Pindad, Min Aung tertarik pada Anoa dan ragam senjata.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siaran Kementerian Pertahanan RI memperjelas bahwa kedatangan Jenderal Min Aung ke stan PT Pindad untuk menjajaki peluang kerja sama penjualan senjata. Sang Jenderal, menurut siaran pers itu, menyampaikan rencana kerja sama dengan industri pertahanan Indonesia, yang akan dikoordinasikan oleh Wakil Kepala Industri Pertahanan Myanmar Mayor Jenderal Ko Ko Lwin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak ada kabar lanjutan omong-omong kerja sama itu setelah siaran pers Kementerian Pertahanan tersebut. Yang jelas, pada Januari 2020, Direktur Utama PT Pindad Abraham Mose menyatakan PT Pindad telah mengekspor amunisi ke sejumlah negara, termasuk Myanmar.

Setahun kemudian, tepatnya pada 1 Februari, Jenderal Min Aung Hlaing melancarkan kudeta terhadap pemerintahan sipil pimpinan Aung San Suu Kyi. Sejak itu kekerasan tak pernah reda. Junta militer Myanmar menggunakan berbagai peralatan militer untuk menyerang masyarakat sipil dan kelompok perlawanan di sejumlah daerah. Perhimpunan Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), organisasi hak asasi manusia Myanmar, mencatat 4.152 orang, termasuk aktivis prodemokrasi dan masyarakat sipil, tewas dibunuh Tatmadaw, militer Myanmar, hingga 20 Oktober lalu.

Jaringan masyarakat sipil Indonesia dan negara lain mencoba mencari cara menghentikan kekerasan tersebut. “Secara hukum dia tak tersentuh. Karena Myanmar tidak pernah menandatangani Statuta Roma, ia tidak bisa dijadikan pihak di pengadilan internasional, baik Mahkamah Pidana Internasional (ICC) maupun Mahkamah Internasional (ICJ). Tapi masak enggak ada celah dan upaya, sementara orang sudah dibantai semua?” kata Feri Amsari, pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, pada Ahad, 8 Oktober lalu.

Marzuki Darusman, mantan Ketua Misi Pencari Fakta Independen Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Myanmar, dan Aliansi Jurnalis Independen mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia ke Mahkamah Konstitusi pada September 2022. Mereka meminta frasa “oleh warga negara Indonesia” dalam undang-undang itu dinyatakan inkonstitusional karena tidak sesuai dengan asas universalitas dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dengan kata lain, mereka meminta negara mengadopsi yurisdiksi universal sehingga Indonesia bisa mengadili pelanggar hak asasi manusia dari negara mana pun.

Mahkamah Konstitusi menolak permohonan itu pada April dengan dalih pembahasan yurisdiksi selalu berkaitan dengan kedaulatan dan otoritas negara. “Hal itu akan berpengaruh terhadap hubungan diplomatik antarnegara, yang di dalamnya terdapat kerja sama ekonomi, sosial-politik, dan juga keamanan,” tulis Mahkamah Konstitusi.

Menurut Feri, mereka menduga penolakan Mahkamah Konstitusi ini terjadi karena ada kepentingan bisnis militer antara Indonesia dan Myanmar. “Ketika ditelusuri, ternyata ada bisnis senjata,” ujar pengacara Themis Indonesia itu. Penelusuran setelah putusan Mahkamah Konstitusi itu terungkap nota kesepahaman (MOU) tiga badan usaha milik negara, PT Pindad, PT PAL Indonesia, dan PT Dirgantara Indonesia, dengan junta militer Myanmar.

Feri Amsari; Marzuki Darusman; Christopher Robert Paul Gunness, yang mewakili Myanmar Accountability Project atau MAP; dan Za Uk, Wakil Direktur Eksekutif Organisasi Hak Asasi Manusia Chin (CHRO), kemudian melaporkan temuan mereka mengenai dugaan keterlibatan tiga BUMN itu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 2 Oktober lalu. “Temuan kami itu adalah bukti permulaan yang cukup bagi Komnas HAM melakukan penyelidikan tentang benar-tidaknya terjadi pelanggaran HAM berat yang melibatkan industri persenjataan kita,” ucap Feri. Komnas HAM menyatakan telah menerima aduan tersebut dan sedang menelaahnya.

Christopher Gunnes mengatakan ia bekerja sama dengan orang-orang Myanmar dalam membuat laporan itu. “Saya tidak ingin menyebutkan nama orang-orangnya karena Myanmar adalah rezim yang sangat kejam dan penuh dendam sehingga, jika saya mulai menyebutkan nama kelompok dan orang-orang yang bekerja sama dengan kami, mereka akan dibunuh. Jadi ini soal keamanan mereka,” katanya.

Pemimpin Junta Militer Myanmar Min Aung Hlaing (kedua dari kiri) saat mengunjung stand Indonesia dalam pameran Defence and Security 2019, di Bangkok, Thailand, November 2019. Dok Kementerian Pertahanan

Za Uk mengakui tidak mudah mengidentifikasi peralatan militer yang digunakan junta dalam perang, termasuk kemungkinan peralatan dari Indonesia. “Namun militer Myanmar telah menggunakan semua jenis senjata yang dimiliki mereka terhadap warga sipil tak berdosa di Myanmar. Mereka melakukan serangan udara besar-besaran dan serangan darat di seluruh negeri dan warga sipil menanggung beban terbesar,” tuturnya pada Jumat, 20 Oktober lalu.

Laporan tersebut menyatakan ekspor senjata Pindad ke Myanmar ada kemungkinan dilakukan melalui True North Company Limited, broker senjata yang berbasis di Myanmar. Pindad memiliki kerja sama dengan perusahaan ini. Dari dokumen profil perusahaan yang diperoleh Tempo, True North berdiri pada 7 September 2011 dan dipimpin U Htoo Htoo Shein Oo, putra Win Shein, Wakil Perdana Menteri Myanmar. Win Shein saat ini dijatuhi sanksi ekonomi oleh Amerika Serikat, Kanada, Prancis, dan Uni Eropa karena dianggap merusak demokrasi dan supremasi hukum di Myanmar.

Dokumen True North menampilkan beberapa foto, seperti penandatanganan MOU dengan Pindad, diskusi strategis dengan manajemen PT PAL (Persero), dan kunjungan ke kantor PT Dirgantara Indonesia di Bandung, Jawa Barat. “Jika Anda melihat situs perusahaan, ketika direkturnya berjabat tangan dengan orang penting, itu karena kesepakatan telah tercapai. Tiga BUMN itu ada di foto tersebut. Mereka tampak telah mencapai kesepakatan,” ujar Gunness.

Justice For Myanmar (JFM), kelompok aktivis bawah tanah Myanmar, menilai bisnis antara perusahaan senjata Indonesia, militer Myanmar, dan broker swasta True North menimbulkan pertanyaan serius karena diduga melibatkan penyuapan dan korupsi. “Indonesia harus transparan kepada masyarakat Myanmar mengenai urusannya dengan militer dan mengambil sikap tegas untuk mendukung hak asasi manusia dan demokrasi,” kata Yadanar Maung, juru bicara JFM, pada Jumat, 20 Oktober lalu.

Defend ID, induk usaha tiga BUMN pertahanan itu, menyatakan pada 4 Oktober lalu bahwa mereka, termasuk Pindad, tidak pernah mengekspor produk industri pertahanan ke Myanmar setelah kudeta 1 Februari 2021. “Kami pastikan bahwa PT Pindad tidak melakukan kegiatan ekspor produk alat peralatan pertahanan dan keamanan (alpalhankam) ke Myanmar,” ucap mereka dalam siaran pers. “Adapun kegiatan ekspor ke Myanmar dilakukan pada 2016 berupa produk amunisi spesifikasi sport untuk keperluan keikutsertaan Myanmar pada kompetisi olahraga tembak ASEAN Armies Rifle Meet 2016.”

Defend ID juga menegaskan bahwa PT Dirgantara Indonesia dan PT PAL tidak menjual produk mereka ke Myanmar. “Dapat kami sampaikan bahwa tidak ada kerja sama maupun penjualan produk alpalhankam dari kedua perusahaan tersebut ke Myanmar.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jalan Lain Menekan Junta"

Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus