Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mengapa Hamas Menyerang Israel

Hamas melancarkan serangan mematikan ke Israel tanpa terdeteksi. Israel bersiap melakukan serangan darat ke Gaza.

15 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAKIL Ketua Kamar Dagang Israel-Indonesia Emanuel Shahaf tinggal di dekat Netanya, sekitar 25 kilometer sebelah utara Tel Aviv, ibu kota Israel. Ia sedang tertidur lelap ketika pada Sabtu, 7 Oktober lalu, sekitar pukul 06.30, terdengar bunyi sirene peringatan kepada masyarakat bahwa ada serangan sehingga penduduk perlu mencari perlindungan. Ia merasa situasi cukup aman karena rumahnya berada sekitar 80 kilometer dari Jalur Gaza. Ia menyalakan radio. "Beberapa jam kemudian diketahui jelas soal adanya serbuan dari darat (Hamas) secara besar-besaran," katanya dalam wawancara melalui sambungan telepon kepada Tempo, Kamis, 12 Oktober lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada waktu hampir bersamaan, pembuat film dokumenter asal Gaza, Palestina, Mohanad Yaqubi, sedang berada di Indonesia untuk mengikuti pelatihan di Puncak, Bogor, Jawa Barat. Sekitar pukul 11 pagi, saat dalam perjalanan dari kawasan Puncak menuju Jakarta, dia mendapat kiriman video melalui aplikasi Telegram dari kawannya ihwal serangan Hamas itu. "Saya rutin mengecek berita enam kali sehari," ujar Yaqubi saat ditemui Tempo di Jakarta, Kamis, 12 Oktober lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sabtu pagi itu, milisi Hamas yang memerintah di Jalur Gaza sejak 2007 menerobos pagar kawat tinggi yang memblokade Gaza dan masuk ke wilayah yang dihuni warga Israel. Dengan menggunakan drone, mereka menghancurkan menara pengawasan dan komunikasi di sepanjang perbatasan sehingga menimbulkan area blank spot yang cukup luas bagi militer Israel. Dari sejumlah video yang beredar, Hamas juga menggunakan bahan peledak dan traktor untuk membuat celah dan menghancurkan pagar pembatas sehingga memungkinkan sekitar 200 penyerang menerobos pada serangan gelombang pertama dan menyusul 1.800 lainnya.

Foto rilis yang diperoleh dari kantor media Brigade Qassam Hamas menunjukkan milisi Hamas menyusup ke sisi Israel di perbatasan Israel-Gaza, 7 Oktober 2023. Reuters/Kantor media Jembatan Qassam

Dengan menggunakan sepeda motor dan truk pikap, para penyerang menyerbu ke Israel, menguasai setidaknya delapan pangkalan militer dan melancarkan serangan terhadap warga sipil di lebih dari 15 desa dan kota. Mereka juga menyerang warga Israel yang sedang menikmati konser musik terbuka Nova Festival di lahan pertanian perdesaan di dekat perbatasan. Dari serangan itu, menurut New York Times, setidaknya lebih dari 150 orang warga sipil dan militer disandera, dan lebih dari 1.300 orang tewas, sehingga menjadi hari paling mematikan bagi Israel dalam 75 tahun sejarahnya.

Ini bukan konfrontasi pertama Hamas, juga Fatah yang menguasai Tepi Barat, dengan Israel. Pada Mei 2021, saat polisi Israel menggeruduk Masjid Al-Aqsa di Yerusalem, situs tersuci ketiga dalam Islam, aksi itu memicu perang 11 hari antara Israel dan Hamas yang menewaskan lebih dari 200 warga Palestina dan lebih dari 10 warga Israel. Tiga tahun sebelumnya, setidaknya 170 warga Palestina tewas ketika Israel menanggapi protes di sepanjang pagar pembatas perbatasan Gaza-Israel.

Kali ini berbeda. Emanuel Shahaf, yang pernah bekerja di komunitas intelijen di kantor Perdana Menteri Israel, mengatakan protes massal di sepanjang perbatasan dan serangan oleh dua-tiga orang Palestina terjadi. Namun tidak pernah terjadi serangan massal dan mematikan seperti ini. "Ini jauh lebih buruk daripada Perang Yom Kippur. Karena ada begitu banyak warga sipil jadi korban," ucapnya.

Perang Yom Kippur, atau Perang Ramadan di mata orang Arab, terjadi pada 6-25 Oktober 1973, saat militer Mesir bersama Suriah melancarkan serangan kejutan terhadap Israel. Perang selama hampir 20 hari itu setidaknya menyebabkan lebih dari 10 ribu tentara Mesir dan Suriah tewas, sedangkan Israel kehilangan sekitar 2.800 tentaranya, tapi tidak ada catatan warga sipil yang tewas.

Serangan Mesir dan Suriah dalam Perang Yom Kippur terjadi saat Israel menikmati hari libur sehingga militer dalam keadaan tidak siap. Ini pula yang terjadi dalam serangan kali ini. "Ada dua kegagalan dalam kasus ini. Kegagalan intelijen karena mereka tidak mendeteksinya. Dan ada juga kegagalan operasional karena tidak mampu menghentikan Hamas," ujar Shahaf. "Ini seperti menggambarkan ketakutan orang Yahudi, karena inilah yang terjadi pada kami saat Holocaust."

Ada sejumlah spekulasi soal apa yang menyebabkan Israel seperti buta soal rencana Hamas, yang kabarnya sudah dipersiapkan lebih dari setahun lalu. Shahaf mengatakan salah satu penyebab Hamas berhasil menyusup adalah sebagian besar tentara Israel dikirim ke Tepi Barat untuk menenangkan daerah itu yang bergolak karena bentrokan antara warga Palestina dan pemukim ilegal Israel. "Kini Tepi Barat menjadi aktif dan banyak orang merasa sangat takut. Masyarakat pun takut orang-orang Arab Israel juga akan ikut berperang. Itu seperti gabungan dari semua ketakutan."

Segera setelah serangan itu, Hamas merilis pernyataan sebagai pelaku serangan tersebut. "Pendudukan kolonial Zionis menduduki tanah air Palestina kami dan membuat rakyat kami mengungsi; menghancurkan kota-kota dan desa-desa kami; melakukan ratusan pembantaian terhadap rakyat kami; membunuh anak-anak, perempuan, dan orang lanjut usia; serta menghancurkan rumah-rumah, yang merupakan pelanggaran terhadap semua norma dan hukum internasional serta konvensi hak asasi manusia," tutur Mohammed Deif, panglima militer Brigade Al-Qasam Hamas seperti dilansir media Australia, ABC.

Serangan Hamas itu ditanggapi beragam di dunia internasional. Uni Eropa mengecamnya sebagai bentuk terorisme. "Ini adalah terorisme dalam bentuknya yang paling keji. Israel mempunyai hak untuk membela diri terhadap serangan keji seperti itu," ujar Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen. Kecaman sama datang dari Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan menyatakan akan berdiri bersama Israel. 

Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia Volker Türk mengaku prihatin atas jatuhnya korban sipil dan adanya penyanderaan oleh Hamas. Ia menyerukan penghentian segera kekerasan dan mendesak ada penurunan eskalasi untuk menghindari pertumpahan darah lebih lanjut. Seruan yang sama disampaikan Arab Saudi, sembari menambahkan, "Kerajaan sudah mengingatkan berulang kali mengenai bahaya situasi ledakan akibat pendudukan yang terus berlanjut dan perampasan hak-hak sah rakyat Palestina."

Bagi Omar Barghouti, aktivis hak asasi manusia Palestina dan salah satu pendiri gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi terhadap Israel (BDS), hal ini tak bisa dilepaskan dari banyaknya kematian dan kekerasan Israel terhadap orang Palestina di Gaza dan Tepi Barat yang berlangsung selama 75 tahun. Menjawab pertanyaan Tempo, ia mengutip filsuf Brasil, Paulo Freire, dengan mengatakan, "Reaksi kaum tertindas, terlepas dari apakah hal itu dapat dibenarkan secara hukum atau etis, selalu merupakan reaksi terhadap kekerasan awal yang dilakukan oleh penindas." 

Rifqi Muna, pengajar dari Universitas Islam Internasional Indonesia, Depok, Jawa Barat, menyatakan peristiwa pada Sabtu pagi itu terjadi sebagai sebuah reaksi atas proses panjang dari apa yang terjadi terhadap orang-orang Palestina yang sudah berjalan sekian lama. "Mereka mengalami kekerasan yang dilakukan oleh Israel." Namun ia menegaskan bahwa peletakan konteks peristiwa serangan tersebut tak bertujuan menjustifikasi serangan yang juga menewaskan warga sipil itu.

Israel bereaksi keras atas peristiwa paling berdarah dalam sejarah Israel itu. Sekitar empat jam setelah serangan tersebut, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu membuat pernyataan publik pertamanya dengan mengatakan bahwa Israel sedang berperang. "Ini bukan apa yang disebut operasi militer, bukan pertempuran lagi, tapi perang," kata Netanyahu. Sebelum deklarasi perang itu, sejam sebelumnya, jet tempur Israel dilaporkan sudah melancarkan serangan balasan ke Gaza yang menyasar bangunan tempat tinggal bertingkat tinggi dan Masjid Al-Sousi.

Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant, pada Senin, 9 Oktober lalu, juga memerintahkan "pengepungan total" terhadap Gaza. Dia mengatakan Israel akan memutus aliran listrik di wilayah tersebut dan memutus suplai bahan bakar dan makanan. Ini akan memperketat blokade yang selama ini sudah diterapkan terhadap kota yang dihuni 2,3 juta warga Palestina itu. 

Kedutaan Besar Palestina di Jakarta, dalam siaran pers pada Senin, 9 Oktober lalu, menyebut sikap Israel itu sebagai kelanjutan catatan kriminalitas dan impunitas mereka. "Hal ini ditegaskan oleh pejabat Israel yang mengeluarkan seruan genosida dan penuh kebencian untuk melakukan pembersihan etnis secara terbuka dan tanpa rasa malu."

Dampak serangan Israel ke Jalur Gaza, yang dijuluki sebagai penjara terbuka terbesar di dunia, lebih mematikan dan menghancurkan. Di hari kelima serangan, menurut catatan Dokter Lintas Batas (MSF), sedikitnya 1.200 korban tewas. "Jet-jet tempur menghancurkan semua jalan, blok demi blok. Tidak ada tempat untuk bersembunyi, tidak ada waktu untuk beristirahat. Beberapa tempat dibom pada malam hari berturut-turut. Setiap kali rekan medis kami berangkat kerja, kami tidak tahu apakah mereka akan bertemu lagi dengan rumah atau keluarganya," kata Kepala Misi MSF di Gaza, Matthias Kennes, dalam pernyataan yang diterima Tempo.

Serangan militer Israel ke Gaza kali ini juga bisa menghancurkan institusi kesehatan di Gaza yang sudah porak-poranda akibat perang-perang sebelumnya. Paul McPhun, Direktur Regional Asia Tenggara & Asia Pasifik MSF, mengatakan jumlah korban yang datang ke rumah sakit sangat tinggi dan semua fasilitas kesehatan penuh. "Kami masih memiliki pasien di rumah sakit yang dirawat karena luka tembak setelah menyuarakan protes di pagar perbatasan pada minggu-minggu sebelumnya." 

Langkah Israel memblokade listrik untuk Gaza juga akan menimbulkan dampak yang tak kalah mematikan. "Ada risiko kekurangan bahan bakar karena rumah sakit saat ini menggunakan generator lantaran listrik tidak lagi tersedia. Beberapa rumah sakit hanya mempunyai cukup bahan bakar untuk empat hari," ucap Paul McPhun. Organisasi Palang Merah Internasional, dalam cuitan di X (sebelumnya Twitter) pada Kamis, 12 Oktober lalu, mengatakan, tanpa aliran setrum, pemadaman listrik total akan segera terjadi dan itu akan membuat "rumah sakit berubah menjadi kuburan".

Di hari Hamas mulai menyerang Israel, Mohanad Yaqubi langsung menghubungi keluarganya yang tinggal di kawasan Rimal, jantung Kota Gaza. Ia berbicara dengan ayah-ibunya yang masih di sana. Perang ini terjadi sejak 2006 dan seperti berulang tiap dua tahun. Yaqubi menyarankan keluarganya berpencar atau tak tinggal di satu tempat agar tidak kehilangan mereka semua jika terjadi satu serangan Israel.

Rumah keluarganya di Rimal selalu terkena dampak saat terjadi perang. Pada 2021, rumah tetangganya hancur oleh bom. Rumah keluarga Yaqubi selamat, tapi hampir semua kacanya pecah. Namun itu tak menggoyahkan mereka. "Mereka mengatakan kami ingin tetap bersama. Jadi kami tidak ada yang merasa sedih. Kami semua, kalau mati, ya bersama," kata Yaqubi, yang belakangan tinggal sementara di Brussels, Belgia. "Menyedihkan, sulit, tapi itulah yang terjadi."

Di hari ketiga setelah serangan Hamas, situasi Gaza makin sulit. Yaqubi tak lagi bisa berbicara langsung dengan ayah-ibunya karena tak ada akses Internet di rumah. Saudara laki-lakinya harus berjalan kaki sekitar setengah jam ke suatu tempat yang agak tinggi agar mendapatkan sinyal. Saudaranya akhirnya hanya mengirim pesan teks pendek. Sinyalnya sangat lemah sehingga tidak dapat mengirim video. Dalam pesannya ia mengatakan, "Kami masih hidup. Kami baik-baik saja."

Pada hari keempat, Rimal dilaporkan menjadi salah satu sasaran serangan Israel. Menurut laporan Al Jazeera, kawasan itu hampir musnah setelah empat hari digempur terus-menerus oleh bom Israel. "Israel telah menghancurkan pusat kota ini," tutur pengusaha Palestina, Ali al-Hiyak, dari rumahnya di dekat Rimal, seperti dilansir Al Jazeera.

Situasi terburuk masih belum terjadi karena serangan balas dendam Israel ke Gaza masih berlangsung. Pada Jumat, 13 Oktober lalu, Kementerian Pertahanan Israel berseru agar semua penduduk Kota Gaza hengkang dari rumah mereka dan bergerak ke bagian selatan kota demi keselamatan. Pengumuman yang diunggah di X itu mengindikasikan bahwa Israel bersiap melakukan serangan darat, terlibat dalam pertempuran dari blok ke blok dengan Hamas, di bagian utara Kota Gaza. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Iwan Kurniawan berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sirene Serangan Pagi di Netanya"

Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus