Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah Cina memfasilitasi pertemuan antara Hamas dan Fatah, dua faksi yang berseteru di Palestina.
Mediasi Cina dianggap lebih berpotensi melahirkan rekonsiliasi karena posisi Cina yang tidak berpihak antarfaksi dan tak mendukung Israel.
Pengamat menyebutkan rekonsiliasi Hamas dan Fatah penting untuk meningkatkan posisi tawar Palestina dalam menyudahi genosida di Gaza.
HAMAS dan Fatah kembali duduk bersama faksi-faksi lain di Palestina dalam perundingan di Beijing, Cina, mulai Ahad, 21 Juli 2024. Kedua kubu dengan perbedaan ideologi dan rivalitas menahun itu berupaya mencapai rekonsiliasi di tengah pembantaian yang dilakukan Israel di Jalur Gaza—lebih dari 38.900 warga sipil meninggal sejak Oktober 2024. Para pengamat mengatakan Cina ingin memainkan peran sebagai penengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana muktamar antarfaksi Palestina di Beijing pertama kali dikabarkan The New York Times pada 15 Juli 2024. Delegasi Hamas akan dipimpin ketua biro politik mereka, Ismail Haniyeh, sedangkan Fatah diwakili tiga orang, termasuk Wakil Ketua Komite Sentral Mahmoud Aloul, menurut Azzam al-Ahmad selaku anggota komite Fatah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut laporan tersebut, pertemuan akan berlangsung pada Ahad-Selasa, 21-23 Juli 2024. Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi dijadwalkan menemui perwakilan kedua faksi itu pada hari pertama dan ketiga, demikian pernyataan Ahmad kepada The New York Times.
NBC News menyebutkan Cina akan menjamu para perwakilan Hamas, Fatah, dan faksi lain di Wisma Tamu Negara Diaoyutai, Beijing. Kompleks tersebut meliputi bangunan dan taman kerajaan yang kini menjadi kompleks wisma modern tempat para pejabat tinggi menginap serta berkonferensi. Partai Komunis Cina menerima para tamu asingnya di sana, dari Presiden Amerika Serikat Richard Nixon pada 1971 hingga Presiden Rusia Vladimir Putin pada 2022.
Mewakili Fatah, Ahmad mengatakan kepada kantor berita Turki, Anadolu Agency, bahwa mereka akan berpartisipasi dalam pertemuan ini “dengan pikiran terbuka dan serius untuk mengakhiri perpecahan”. Sementara itu, pejabat senior Hamas, Husam Badran, mengatakan, dalam pernyataan pers, Hamas menyambut undangan Cina “secara positif dan bertanggung jawab” demi mencapai persatuan nasional bagi rakyat Palestina.
Lin Jian, juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, mengatakan mereka yakin akan pentingnya rekonsiliasi dan solidaritas di lingkup internal Palestina. “Cina mendukung faksi-faksi Palestina dalam meningkatkan solidaritas serta telah dan akan terus bekerja secara aktif untuk mencapai tujuan ini,” kata Lin Jian dalam konferensi pers, Kamis, 18 Juli 2024.
Ini bukan pertama kalinya Cina menjadi tuan rumah pertemuan Hamas dan Fatah. Pada April lalu, keduanya bertandang ke Beijing untuk membahas rekonsiliasi politik dan rencana pemerintahan Palestina pasca-perang. Lin Jian mengatakan saat itu Hamas dan Fatah berdialog secara “mendalam” serta “jujur”. Namun tidak ada pernyataan apa pun setelah perundingan tersebut.
Anak-anak Palestina berkumpul untuk menerima makanan yang dimasak di dapur amal saat konflik Israel-Hamas di Jalur Gaza utara, 18 Juli 2024. REUTERS/Mahmoud Issa
Lawatan kedua faksi tersebut ke Beijing kala itu menyusul pertemuan di Moskow, Rusia, pada 29 Februari lalu. Topiknya sama, yaitu pembentukan pemerintahan Palestina yang bersatu di tengah serangan Israel. Hamas dan Fatah pun dijadwalkan kembali bertemu pada Juni 2024, tapi baru berlangsung sekarang.
Bolak-balik menjadi tuan rumah pertemuan Hamas dan Fatah, Cina menunjukkan ambisinya memainkan peran diplomatik untuk Palestina. Namun jalan yang Cina ambil berbeda dengan Amerika Serikat, yang merangkul Otoritas Palestina dan mengecam Hamas. Menurut pernyataan Hamas setelah bertemu dengan delegasi Cina pada Maret 2024, utusan Kementerian Luar Negeri Cina, Wang Kejian, menyatakan Hamas sebagai bagian dari struktur nasional Palestina dan Cina tertarik menjalin hubungan dengannya.
Fariz Mehdawi, Duta Besar Otoritas Palestina untuk Cina, mengatakan, dalam wawancara dengan NBC News, Cina melihat perundingan persatuan Palestina merupakan landasan untuk mencapai tujuan utama mereka. Cina ingin menjadi tuan rumah konferensi perdamaian internasional.
Presiden Cina Xi Jinping sebelumnya menyerukan perlunya konferensi perdamaian. Berbicara kepada para pemimpin negara-negara Arab dalam Forum Kerja Sama Cina-Arab di Beijing pada 30 Mei 2024, ia mengatakan perang Israel di Gaza “tidak boleh berlanjut tanpa batas waktu” dan “keadilan tidak boleh hilang selamanya”.
Cina sudah lama menjalin hubungan hangat dengan Palestina, yakni sejak Organisasi Pembebasan Palestina atau PLO berkunjung ke Cina dan bertemu dengan pendiri Republik Rakyat Cina, Mao Zedong, pada 1965. Pada 1988, Cina termasuk negara pertama yang mengakui kedaulatan Palestina. Raksasa Asia itu berulang kali menyerukan penerapan solusi dua negara sebagai penyelesaian konflik Israel-Palestina dan mendukung keanggotaan Palestina di Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB.
Presiden Xi Jinping menyebutkan Timur Tengah merupakan kawasan dengan prospek pembangunan yang luas. “Namun perang masih berkecamuk di sana,” kata Xi di hadapan para kepala negara-negara Arab pada Mei 2024, dikutip dari Al Jazeera.
Tahun lalu, Cina menjadi perantara kesepakatan rekonsiliasi penting di antara dua negara seteru, Iran dan Arab Saudi. Para pengamat mengatakan Cina kali ini mengincar peran dalam upaya perdamaian Palestina karena ingin memperluas pengaruhnya di Timur Tengah sekaligus mengamankan pasokan impor minyak dari kawasan tersebut.
Smith Alhadar, penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES), sepakat soal kedekatan Cina dan Palestina sejak dulu. Keterlibatan Cina di Timur Tengah makin gencar setelah Amerika Serikat kian terisolasi akibat dukungan kepada Israel.
“Ini membuka peluang bagi Cina untuk masuk dan meningkatkan pengaruhnya di kawasan itu,” kata Smith kepada Tempo, Ahad, 21 Juli 2024. Dia menyebutkan pembelian energi dari Timur Tengah dan proyek-proyek di kawasan tersebut sebagai alasan keterlibatan Cina di sana.
Upaya rekonsiliasi dari Cina pun dinilai sebagai terobosan baru, menurut Yon Machmudi, guru besar ilmu sejarah bidang pengkajian Timur Tengah dan Islam di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Cina, dia melanjutkan, digadang-gadang dapat meredakan konflik Israel-Palestina karena dianggap independen.
Menurut Yon, selama ini rekonsiliasi yang dilakukan banyak negara, seperti Mesir, Uni Emirat Arab atau UEA, dan Arab Saudi, belum membuahkan hasil. Sebab, ada rasa ketidakpercayaan dari Hamas terhadap mediator yang dinilai terlalu dekat dengan Israel atau lebih mendukung Fatah.
“Sementara itu, Cina tidak berpihak kepada faksi di Palestina, juga bukan pendukung setia Israel,” kata Yon kepada Tempo. “Cina dianggap sebagai negara yang independen dan memiliki kekuatan besar yang diharapkan bisa membantu mendamaikan konflik Israel-Palestina.”
Seorang anak Palestina di dalam tenda di sebuah kamp yang baru-baru ini diserang Israel, di tengah konflik Israel-Hamas, di Khan Younis, di Jalur Gaza selatan, 18 Juli 2024. REUTERS/Hatem Khaled
Kehadiran Cina dianggap penting untuk merekatkan kembali politik internal Palestina yang lama terpecah belah. Hamas dan Fatah, dua partai paling dominan, seperti bertolak belakang. Hamas yang menganut ideologi islamis memilih perlawanan bersenjata terhadap Israel, sedangkan Fatah yang relatif sekuler yakin jalur negosiasi lebih bermanfaat.
Fatah merupakan faksi terbesar dalam koalisi PLO. Mereka mengakui eksistensi Israel dan ingin membangun negara Palestina sesuai dengan batas wilayah yang diatur dalam resolusi Dewan Keamanan PBB pada 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Sedangkan Hamas bukan bagian dari PLO dan tidak mengakui Israel, tapi juga menerima batasan wilayah versi 1967.
Pada 1993, PLO di bawah pimpinan Yasser Arafat menandatangani Perjanjian Oslo bersama Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin. Kesepakatan itu menjanjikan berdirinya negara Palestina, tapi tak kunjung terwujud hingga kini. Sebagian populasi Palestina menentang Perjanjian Oslo. Begitu juga dengan para kelompok sayap kanan Israel. Rabin, perdana menteri dari Partai Buruh, dibunuh oleh ekstremis Israel pada 1995.
Terjadi pertikaian antarfaksi di Palestina setelah Hamas menang telak dalam pemilihan parlemen pada 2006 dan mengalahkan Fatah. Kemenangan tersebut tidak diakui Otoritas Palestina, Israel, ataupun Amerika dan Uni Eropa yang melabeli Hamas sebagai organisasi teroris.
Hamas kemudian mengusir Fatah dari Gaza dan menjadi pemerintah de facto di wilayah kantong itu sejak 2007. Fatah memerintah sebagian kecil wilayah Tepi Barat. Israel pun telah menerapkan blokade ketat di Gaza sejak kemenangan Hamas.
“Rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah itu penting sekali. Karena kalau mereka pecah, posisi tawar Palestina terhadap Israel akan sangat lemah,” kata Smith Alhadar soal perundingan yang sedang berlangsung di Beijing itu. Menurut dia, jalan keluar terbaik adalah Hamas mengakui eksistensi Israel. Namun, untuk itu, Israel harus memberi jaminan yang didukung Amerika dan negara-negara Arab bahwa akan hadir negara Palestina merdeka setelah serangan di Gaza. “Sebagai gantinya, Hamas mengakui Israel dan melepaskan perjuangan bersenjata."
Meski resmi mewakili Palestina di PBB dan memiliki legitimasi di dunia internasional, Smith melanjutkan, Fatah tidak populer di dalam negeri. Legitimasi Fatah di kalangan masyarakat kian hilang sejak 7 Oktober 2023 ketika Hamas menyerbu Israel dan dibalas dengan genosida di Gaza. "Hamas yang dicap sebagai teroris oleh dunia Barat justru kini didukung oleh rakyat Palestina secara luas," kata dia.
Menurut Smith, genosida yang dilakukan Israel membuat Timur Tengah bersimpati kepada Hamas. "Operasi militer, perampasan tanah, dan penghancuran rumah-rumah penduduk tidak hanya terjadi di Gaza, tapi juga di Tepi Barat. Ini memperluas simpati terhadap Hamas,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo