Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bekas ratu kecantikan Myanmar bergabung dengan kelompok etnis bersenjata untuk melawan junta militer.
Kelompok-kelompok etnis bersenjata meningkatkan serangan terhadap tentara Myanmar dan merebut aset militer.
Serangan tak kunjung henti yang dilakukan Tatmadaw memicu munculnya milisi baru.
MENGENAKAN kostum serba hitam, Htar Htet Htet berpose seraya menyandang senapan serbu laras panjang. Mantan ratu kecantikan Myanmar tersebut mengunggah sejumlah foto semacam itu di akun Facebook dan Twitter miliknya sejak 11 Mei lalu. Dia bergabung dengan milisi etnis bersenjata untuk menentang junta militer. Htet menyatakan sudah saatnya masyarakat melawan. "Menggunakan senjata, pulpen, keyboard, atau berdonasi ke kelompok prodemokrasi, setiap orang harus berperan serta agar revolusi berhasil," tulis Htet.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan mengunggah foto-foto itu, Htet juga menunjukkan dukungannya bagi gerakan sipil melawan junta militer yang dipimpin Jenderal Senior Min Aun Hlaing. Htet adalah wakil Myanmar dalam kontes kecantikan Miss Grand International di Thailand pada 2013. Sejak kudeta yang dipimpin Jenderal Aun Hlaing terjadi pada 1 Februari lalu, Htet turut berkampanye dalam gerakan sipil menentang junta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Htet tak mengungkapkan keberadaannya sekarang. Foto-foto itu diperkirakan diambil di hutan di wilayah perbatasan Myanmar yang sudah dikuasai kelompok etnis bersenjata. Htet menyatakan akan bertempur sekuat tenaga dan menyerahkan segalanya untuk menghadapi junta militer. "Saya berani menyerahkan nyawa," kata instruktur senam 32 tahun tersebut.
Htet menjadi bagian dari sejumlah pesohor, termasuk kontestan Miss Myanmar tahun ini, Han Lay, yang lantang bersuara menentang junta militer. Mereka menjadi buruan setelah junta merilis surat perintah penangkapan berisi 100 nama figur publik. Beberapa di antaranya sudah dicokok polisi, seperti model Paing Takhon, sutradara Lu Min, dan komedian Maung Thura alias Zarganar, yang dikenal kerap mengkritik junta. Zarganar pernah ditangkap pada 2008 dan 2011.
Tekanan junta militer juga tak menyurutkan langkah model Thuzar Wint Lwin menyuarakan krisis Myanmar di panggung Miss Universe di Florida, Amerika Serikat. Dalam sesi peragaan busana nasional di Seminole Hard Rock Hotel & Casino, Hollywood, pada Kamis, 13 Mei lalu, Wint Lwin melenggang seraya membentangkan pesan "Berdoalah untuk Myanmar".
Wint Lwin tak lolos ke babak akhir kontes kecantikan dunia itu. Namun model yang mengenakan busana tradisional etnis Chin itu diganjar penghargaan kostum nasional terbaik. Wint adalah warga Chin, kelompok etnis yang sebagian besar menetap di Negara Bagian Chin di barat laut Myanmar.
Sebelum beraksi dalam Miss Universe, Wint Lwin sudah bergabung dengan gerakan sipil menentang kudeta militer. Menghadapi risiko tinggi diburu tentara, ia ikut berunjuk rasa di Yangon, mendatangi keluarga para korban tewas akibat serangan militer, dan melakukan kampanye daring untuk memprotes kekerasan aparat keamanan.
Wint Lwin berhasil keluar dari Yangon pada awal bulan lalu. Dalam rekaman videonya untuk pergelaran Miss Universe, Wint Lwin mendesak dunia agar membantu menyelesaikan krisis yang terjadi di Myanmar. "Warga kami menderita dan setiap hari ditembaki militer," tutur perempuan 22 tahun itu.
Kudeta memperpanjang cengkeraman militer yang sudah berkuasa lebih dari setengah abad sejak Myanmar merdeka pada 1948. Tentara Myanmar alias Tatmadaw menembaki demonstran di jalan, menangkap orang-orang dalam penggerebekan tengah malam, memenjarakan jurnalis, dan mematikan jaringan Internet untuk membatasi komunikasi. Menurut laporan lembaga sipil Myanmar, Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, lebih dari 780 warga sipil tewas akibat serangan tentara dan polisi dalam pembubaran protes massal.
Militer juga menangkap pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), Aung San Suu Kyi, dan sejumlah petinggi partai politik pemenang pemilihan umum pada November tahun lalu itu. Dimotori para politikus NLD yang tersisa, sejumlah tokoh sipil mendeklarasikan Pemerintah Persatuan Nasional. Mereka kemudian membentuk kabinet dan Pasukan Pertahanan Rakyat yang didukung milisi pemberontak di berbagai daerah.
Warga Myanmar juga mengharapkan pertolongan kelompok sipil bersenjata. Milisi-milisi yang mewakili kelompok etnis minoritas Myanmar itu sudah puluhan tahun berperang melawan Tatmadaw, yang kerap menindas warga mereka. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan lewat aksi protes damai berubah menjadi perlawanan bersenjata di berbagai penjuru negeri setelah junta militer tak jua mengindahkan seruan publik dan komunitas internasional untuk menghentikan kekerasan.
Seperti dilaporkan The Irrawaddy, milisi dari kelompok-kelompok etnis telah menyatukan barisan. Selain melindungi para pengungsi dan aktivis yang kabur dari kejaran junta militer, mereka meningkatkan serangan terhadap personel dan aset militer di dekat perbatasan. Milisi-milisi itu juga memberikan pelatihan perang kepada anak-anak muda yang sebelumnya cuma terlibat dalam gerakan protes di jalanan. Foto-foto latihan yang berlangsung di kawasan hutan dan lokasi lain yang dirahasiakan sudah beredar di publik.
Htar Htet Htet memberi simbol tiga jari saat mengikuti demonstrasi menentang kudeta militer di Yangon, Myanmar, Februari 2021. Twitter Htar Htet Htet
Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA) dan Pasukan Nasional Pembebasan Karen (KNLA) menjadi milisi sipil bersenjata yang paling lantang mendukung kelompok prodemokrasi menentang junta militer. Sejak Maret lalu, pertempuran antara mereka dan Tatmadaw pecah di sejumlah wilayah di Negara Bagian Kachin, bagian utara Negara Bagian Shan, Negara Bagian Karen, dan wilayah Bago.
Brigade 5, salah satu unit pasukan milisi Karen, bahkan berhasil merebut pos dan persenjataan militer di Sungai Salween di dekat perbatasan Myanmar dan Thailand. Setidaknya selusin tentara Myanmar tewas dalam pertempuran itu. Militer Myanmar membalasnya dengan membombardir kawasan itu dan membuat sekitar 30 ribu penduduk terpaksa mengungsi.
Juru bicara Brigade 5, Letnan Kolonel Saw Kler Doh, mengatakan serangan yang dilakukan KNLA merupakan bentuk dukungan untuk warga sipil dan Pemerintah Persatuan Nasional. Menurut dia, tindakan junta militer mengambil alih kekuasaan dengan kekerasan dan menembaki orang tak bersenjata tak bisa diterima. "Kami harus melakukan apa pun untuk mendukung rakyat," ujarnya.
Kelompok etnis bersenjata Rakhine, Pasukan Arakan, juga berkolaborasi dengan Tentara Nasional Aliansi Demokratik Myanmar dari Wilayah Kokang dan Tentara Nasional Pembebasan Ta'ang dari Negara Bagian Shan untuk menghadapi Tatmadaw. Mereka membentuk Aliansi Persaudaraan dan menyatakan siap menyatukan kekuatan dengan milisi lain. "Kita harus melakukan yang terbaik untuk melindungi nyawa dan harta benda orang yang tertindas," ucap juru bicara Pasukan Arakan, Khaing Thukha.
Penduduk, aktivis, dan relawan di Negara Bagian Chin bahkan ikut membentuk kelompok bersenjata pada awal April lalu sebagai respons atas serangan tak kunjung henti yang dilakukan Tatmadaw. Militer Myanmar membombardir sejumlah wilayah Chin dengan dalih meredam perlawanan kelompok etnis bersenjata. Akibat serangan itu, sedikitnya selusin warga Chin tewas dan ribuan lainnya terpaksa mengungsi ke pegunungan.
Berbekal senapan berburu tradisional dan senjata rakitan, milisi lokal yang menamakan diri Pasukan Pertahanan Wilayah Chin itu melawan tentara Myanmar yang diperkuat artileri, pasukan payung, dan helikopter. Mindat, kota berpopulasi sekitar 46 ribu jiwa di perbukitan Chin yang berjarak sekitar 100 kilometer dari perbatasan India, menjadi arena pertempuran.
Sempat melepaskan tahanan dan menghentikan serangan, tentara kembali menyerbu Mindat pada 12 Mei. Sehari kemudian, mereka memberlakukan darurat militer dan mengepung kota. Mereka menggerebek rumah-rumah penduduk dan menangkap setidaknya 15 anak muda yang dituduh telah digunakan sebagai tameng hidup.
Organisasi Hak Asasi Manusia Chin (CHRO) menyatakan Tatmadaw telah melakukan kejahatan perang dan melanggar Konvensi Jenewa ketika menyerbu Mindat. Dalam laporannya, organisasi itu menyebutkan, sejak kudeta terjadi, tentara telah menduduki sekolah dan rumah sakit, menghancurkan properti masyarakat lewat serangan udara dan darat, serta menggunakan anak-anak muda sebagai tameng hidup. "Anak-anak muda ini adalah warga biasa yang ingin keluar dari Mindat untuk menghindari pengeboman," kata Wakil Direktur CHRO Salai Za Uk Ling seperti dilaporkan Al Jazeera.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA (THE IRRAWADDY, MYANMAR NOW, ASSOCIATED PRESS, REUTERS, THE GUARDIAN, THE INDEPENDENT)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo