Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Festival rakyat mendadak muncul di Lapangan Windrush, Brixton, bagian selatan London, Inggris. Senin sore pekan lalu, tak kurang dari 300 orang bernyanyi, berdansa conga, dan menenggak bir atau sampanye. Mereka merayakan wafatnya perdana menteri perempuan pertama Inggris, Margaret Thatcher, 87 tahun, akibat serangkaian stroke. "Maggie, Maggie, Maggie. Mati, mati, mati, Thatcher sudah pergi," massa bernyanyi riang. "Saya menunggu ini selama 30 tahun," kata Julian Styles, 58 tahun. Styles mengaku sakit hati karena menjadi penganggur setelah dipecat dari pabrik tempat ia bekerja pada 1984 lantaran imbas kebijakan Thatcher. "Malam ini saya berpesta merayakannya."
Beberapa spanduk bertulisan "Bersukacitalah, Thatcher sudah mati" diacung-acungkan. Rahul Patel, 54 tahun, pekerja teknologi informasi, membawa kertas bertulisan "Ding dong, penyihir telah tewas". "Dia merobek-robek negara ini dan kami harus merasakan akibatnya," ujar Phil Lewis, 47 tahun. Pria pekerja bangunan itu membenci kebijakan-kebijakan Thatcher. Ia menuding Thatcher menjerumuskan rakyat miskin di Inggris.
Kawasan Brixton memang bukan penggemar The Iron Lady alias Sang Wanita Besi—julukan Thatcher. Daerah buruh itu termasuk yang merana akibat kebijakan Thatcher. Wilayah tersebut pernah mengalami dua kerusuhan pada April 1981 dan September 1985. Insiden terjadi setelah Thatcher memberangus serikat pekerja, melakukan deregulasi sektor keuangan, dan melakukan privatisasi perusahaan negara.
Meski Thatcher sudah 23 tahun lengser, kebencian terhadap perempuan ini tak surut. Kematiannya menjadi kesempatan bagi kaum kiri menumpahkan kebencian kepada Perdana Menteri Inggris selama 11 tahun (1979-1990) itu. Pesta kematian Thatcher berlangsung di Brixton, Bristol, Leeds, Liverpool, Newcastle, Manchester, Lapangan Trafalgar di London, Lapangan George di Glasgow, Skotlandia, serta Derry dan Belfast di Irlandia.
Terlahir sebagai Margaret Hilda Roberts, ia menjadi sosok yang dihormati sekaligus dibenci masyarakat Inggris. Derek Hatton, musuh politik bebuyutan Thatcher yang kini menjadi wakil pemimpin Dewan Kota Liverpool, mengirim satu pesan. "Masalahnya bukan dia sekarang sudah meninggal. Saya menyesal untuk kepentingan jutaan orang bahwa ia pernah lahir," kata Hatton dalam akun Twitter-nya.
Cercaan lain datang dari mantan Wali Kota London dan anggota dewan Partai Buruh, Ken Livingstone. Ia mengklaim hampir segala sesuatu yang salah di Inggris saat ini adalah warisan Thatcher. "Dia menciptakan krisis perumahan saat ini, dia menghasilkan krisis perbankan, dia menciptakan krisis keuntungan," ujarnya seperti dilaporkan Daily Mail.
Industri pertambangan menjadi komunitas yang paling berbahagia. Sekretaris Jenderal National Union for Mineworkers Chris Kitchen berkomentar sadis, "Kami sudah menunggu lama untuk mendengar berita kematian Baroness Thatcher dan saya tidak menyesal. Tidak ada air mata untuknya."
Toh, masih ada rasa simpati untuk Sang Wanita Besi. Martin McGuiness, Wakil Perdana Menteri Irlandia Utara, termasuk yang menentang pesta merayakan kematian Thatcher. McGuiness adalah mantan pemimpin senior Tentara Republik Irlandia Utara (IRA), kelompok yang pernah mencoba membunuh Thatcher dengan bom pada 1984. "Dia bukan pembawa perdamaian, tapi janganlah kematiannya meracuni pikiran kita."
Perdana Menteri Inggris David Cameron menyadari kontroversi Thatcher. Namun, satu hal yang pasti, "Kecintaannya kepada Inggris. Dia berjuang bagi Inggris di setiap langkah yang ia tempuh." Untuk itu, perempuan ini tetap layak memperoleh pemakaman khusus Rabu ini, yaitu satu level di bawah upacara kenegaraan dan dilengkapi penghormatan militer penuh. Downing Street 10, kantor perdana menteri, memberi sandi Operation True Blue bagi upacara pemakaman Thatcher. Ratu Elizabeth II dan suaminya, Duke of Edinburgh, setuju hadir di pemakaman. Inilah pertama kalinya Ratu hadir di pemakaman warga biasa setelah mantan perdana menteri Winston Churchill pada 1965.
Raju Febrian (Daily Mail, BBC, CNN, Telegraph)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo