Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UU Rahasia Negara merenggut korban lagi. Korban terbaru "senjata rahasia" pemerintah Malaysia itu adalah Sabry Sharif, 27, wartawan harian berbahasa Inggris pro pemerintah The New Straits Times (NST). Pada pemeriksaan pertama di pengadilan negeri Kuala Lumpur, Sabtu dua pekan lalu, jaksa menuduh Sabry melanggar ketentuan UU tersebut. Ia dianggap menerima dan sekaligus melansir dokumen rahasia Kajian Struktur Kekuatan Tentara Udara Di-Raja Malaysia 1984, dalam artikel berjudul Air Force Proposes Purchase of Four AWACS, pada terbitan 7 Januari 1984. Namun, di pengadilan itu Sabry mengaku tidak bersalah. Karena itu, hakim yang dapat menjatuhkan hukuman maksimum 10 tahun penjara plus denda M$ 10.000 bagi Sabry, lantas memutuskan akan menyidangkan perkara tersebut pada pertengahan Februari tahun depan. Kepada TEMPO, Sabry, yang baru empat bulan menikah, mengatakan, sesungguhnya ia "hanya minta tutup bicara kepada hakim". Dengan cara itu, ia bermaksud menangguhkan persidangan untuk mempelajari lagi tuduhan jaksa. Sebenarnya, dengan "tutup bicara" tersebut, Sabry masih berpeluang mengaku bersalah. Hal mengaku bersalah ini pernah dipraktekkan oleh kepala biro majalah Far Eastern Economic Review di Kuala Lumpur, kala ia dituduh melanggar UU yang sama bulan lalu. Akhirnya ia dibebaskan dari tuntutan hukum. Akankah Sabry berbalik pikiran sebelum dihadapkan ke meja hijau? "Saya masih memikirkannya," jawabnya, singkat. Sikap ini, menurut Yazid Osman, Ketua Persatuan Wartawan Malaysia (NUJ), mencerminkan "keinginan NST agar Sabry mengaku salah." Dengan demikian, bisa diartikan, media terbesar dengan oplah 200.000 eksemplar itu terbebas dari urusan dengan pihak pengadilan. Ini tentu saja dibantah keras oleh NST, yang bersedia memikul tanggung jawab. Memang ada maksud lain di balik pernyataan ketua NUJ itu. Dengan menghadapkan Sabry ke depan pengadilan, ia berharap akan terungkap nantinya "pengklasifikasian berita yang dianggap melanggar UU Rahasia Negara". James R. Lapian Laporan Ekram H. Attamimi (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo