Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Qais Memutuskan Turun ke Jalan

Ribuan anak muda berunjuk rasa memprotes korupsi dan sistem sektarian pemerintah Irak. Dibidik para penembak jitu.

12 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RANIA Alani tidak dapat tidur nyenyak. Sejak pemerintah Irak membatasi akses Internet dan media sosial untuk meredam demonstrasi yang sempat meluas sejak dua pekan lalu, perempuan 29 tahun itu sulit mengetahui kabar keluarganya di Bagdad. Ibunya, Iman al-Taee, hanya tinggal berdua dengan neneknya yang telah sepuh di ibu kota Irak itu. “Ibu saya terlalu takut untuk meninggalkan Bagdad,” kata Alani kepada Tempo, Selasa, 8 Oktober lalu.

Dari kediamannya di Auckland, Selandia Baru, yang terpaut jarak lebih dari 15 ribu kilometer, tidak mudah bagi Alani untuk mengetahui kondisi ibunya dan sepupunya, Yousef al-Taee, yang menjadi dokter di sebuah rumah sakit di Bagdad. “Saya selalu khawatir dan mencoba mengontak mereka setiap hari. Tapi, tanpa jaringan Internet, saya harus membayar jauh lebih mahal untuk bisa menghubungi mereka lewat telepon,” Alani berujar.

Serentetan unjuk rasa anti-pemerintah mengguncang Bagdad dan kota-kota lain berpenduduk mayoritas Syiah di Irak selatan sejak awal Oktober lalu. Ribuan demonstran, yang sebagian besar lelaki dan kaum muda, membanjiri jalanan dan menuntut mundur Perdana Menteri Adil Abdul Mahdi, yang baru berkuasa setahun. Mereka memprotes maraknya korupsi, tingginya tingkat pengangguran, dan buruknya pelayanan publik.

Di Kota Nasiriyah, Provinsi Dhi Qar, 346 kilometer di selatan Bagdad, Emad bersama ratusan pemuda lain berdemonstrasi dengan mengerumuni kantor gubernur, Selasa malam, 1 Oktober lalu. Mereka meneriakkan slogan-slogan anti-pemerintah. Aparat keamanan membubarkan unjuk rasa damai itu dan menahan 26 orang, termasuk Emad, yang mengikuti protes lantaran merasa frustrasi akibat lama menganggur. “Polisi memukuli kami,” ucap pria 26 tahun yang esoknya dibebaskan itu.

Pria lain yang juga penganggur, Qais, ikut dalam unjuk rasa tiga hari kemudian. Pria 29 tahun itu tengah berada di luar kantor gubernur saat temannya, Musa’ab, ditembak di bagian dada. “Aparat tiba-tiba menembaki kami,” katanya seperti dikutip Rudaw. Mendengar suara tembakan, Qais dan ratusan demonstran lain berhamburan menyelamatkan diri. “Saya melihat Musa’ab dan empat orang tergeletak di jalan dengan darah berlumuran dari tubuh mereka.”

Penembakan demonstran menjadi pemandangan lazim dalam gelombang unjuk rasa kali ini. Pasukan keamanan, yang diperkuat lusinan kelompok milisi bersenjata, menembakkan gas air mata, peluru karet, peluru tajam, bahkan meriam berisi air mendidih untuk membubarkan massa. “Sejumlah saksi menyatakan melihat pasukan keamanan menembaki kerumunan pengunjuk rasa tanpa peringatan,” tulis Human Rights Watch dalam laporannya.

Aparat keamanan dan para pendukungnya juga berusaha membungkam pemberitaan tentang demonstrasi. Mereka tidak hanya membatasi akses Internet serta memblokir Facebook, Twitter, Instagram, dan WhatsApp, tapi juga melarang jurnalis yang akan mewartakannya. Kantor redaksi Dijlah TV, NRT Arabic, Al-Hadath, dan Al-Arabiya di Bagdad didatangi sekelompok pria bertopeng dan bersenjata api. Mereka mengambil paksa peralatan siaran dan mengancam wartawan supaya tak meliput aksi protes.

Jurnalis lepas, Osama al-Maqdoni, terpaksa memberitakan unjuk rasa dari Erbil, kota sejauh 364 kilometer di utara Bagdad. “Kebanyakan jurnalis tidak bisa tinggal di dalam Bagdad karena mereka menjadi sasaran penembak jitu dan milisi,” tuturnya kepada Tempo, Selasa, 8 Oktober lalu. Di Erbil akses Internet tetap lancar karena kota itu salah satu daerah otonomi Kurdistan Irak. “Pemerintah otonomi menolak permintaan Bagdad memblokir internet di Erbil.”

Al-Maqdoni setiap hari mempekerjakan kurir pergi-pulang Erbil-Bagdad untuk menjemput rekaman foto dan video tentang unjuk rasa, termasuk gambar aksi brutal aparat dan demonstran yang tewas ditembus peluru penembak jitu saat siang bolong. Dengan mobil atau sepeda motor, kurir mengambil rekaman yang disimpan dalam kartu memori atau flash drive.

Bekerja sama dengan rekannya di lembaga kemanusiaan Iraqi Observatory for Human Rights, yang memasok rekaman dari lingkar dalam demonstran, Al-Maqdoni tidak pernah kehabisan bahan untuk dibagikan di media sosial atau kepada jurnalis lain untuk pemberitaan. “Saya punya banyak sumber daya di antara para demonstran dan aktivis hak asasi manusia,” ujarnya.

Tindakan represif aparat keamanan terhadap demonstran, menurut Nagham Awada, juru bicara Komite Palang Merah Internasional (ICRC) Irak, menyebabkan sedikitnya 121 pengunjuk rasa tewas. Jumlah korban meninggal sangat mungkin bertambah mengingat lebih dari 6 .000 demonstran terluka akibat tembakan peluru tajam, peluru karet, ataupun gas air mata. “Sebanyak 23 korban tewas berusia di bawah 20 tahun,” katanya kepada Tempo, Selasa, 8 Oktober lalu.

Membeludaknya korban membuat rumah sakit kewalahan. ICRC mengarahkan ratusan korban luka ke Rumah Sakit Sheikh Zayed, Al-Kindi, dan Bagdad Medical City di Bagdad. “Kami dan otoritas kesehatan Irak juga mengirim obat dan peralatan medis ke wilayah selatan,” ujar Awada. Pasien juga menjejali Rumah Sakit Al-Yarmouk dan Al-Waziria. “Pasokan darah minim. Ratusan mayat bergeletakan, lebih banyak dari perkiraan awal,” ucap Rania Alani, yang mendapat informasi tersebut dari sepupunya.

Demonstrasi agak mereda setelah Presiden Barham Salih menyerukan penghentian segala bentuk kekerasan. Dalam pidato yang disiarkan stasiun televisi nasional pada 7 Oktober lalu, dia mengutuk serangan brutal terhadap demonstran, menyebut pelaku penembakan sebagai “musuh rakyat”, dan mendesak semua pihak berdialog. Pernyataan Salih meluncur beberapa jam setelah militer Irak secara resmi mengakui penggunaan “kekuatan berlebihan” untuk meredam demonstrasi.

Pengunjukrasa yang terluka di Baghdad, Irak, 5 Oktober 2019. REUTERS/Wissm al-Okili

Unjuk rasa ini adalah yang terbesar yang pernah dihadapi pemerintah Abdul Mahdi. Saat awal berkuasa, kabinet teknokrat besutan politikus 77 tahun itu berjanji mengatasi korupsi serta kesenjangan antara elite dan rakyat. Mahdi mengawali kariernya di Partai Baath pimpinan Saddam Hussein, menjadi komunis, lalu berganti haluan sebagai politikus Islam Syiah. Setelah hampir setahun berkuasa, ia dinilai gagal dan tak serius melawan balik tekanan elite politik.

Randa Slim, peneliti dari Johns Hopkins University School di Washington, DC, menilai generasi muda Irak jemu terhadap janji palsu para penguasa yang silih berganti mengendalikan negara berpenduduk 40 juta itu, yang dua pertiganya Syiah, sejak rezim Saddam tumbang oleh invasi Amerika Serikat pada 2003. “Ini bentrokan antargenerasi,” kata Slim. “Sistem yang ada sekarang didesain sejak 2003 oleh elite politik untuk melayani kepentingan politik dan ekonomi mereka sendiri.”

Para pengunjuk rasa sebenarnya menginginkan diakhirinya sistem politik muhasasa ta’ifia—pembentukan pemerintah berdasarkan kuota sektarian atau etnis, bukan prestasi. Menurut rakyat Irak, sistem pembagian sektarian memungkinkan pemimpin dari Syiah, Sunni, Kurdi, dan kelompok lain menyelewengkan kekuasaan, memperkaya diri sendiri dan pengikut mereka, serta secara efektif menjarah duit negara.

Sejak Saddam terguling, konflik sektarian terus mencabik Irak. Saat elite politik sibuk berebut kekuasaan, kaum muda berusia di bawah 25 tahun, yang kini mengisi lebih dari 60 persen populasi negara kaya minyak itu, tetap sulit mendapat pekerjaan.

Soal korupsi di Irak tak kalah teruk. Indeks korupsi Transparency International menempatkan Irak di peringkat ke-18 dari 100 negara. Makin mendekati angka nol, makin tinggi tingkat korupsi. Suap, dari yang kecil sampai yang besar, menjadi pemandangan sehari-hari. Pada akhir 2017, Perdana Menteri Irak saat itu, Haidar al-Abadi, pernah mengatakan, “Pertempuran melawan korupsi akan lebih berbahaya ketimbang terorisme.”

Setelah 16 tahun Saddam terguling dan dua tahun selepas kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) tersingkir, ekonomi Irak masih terseok-seok. “Kondisi keamanan Irak telah membaik, tapi rekonstruksi fisik dan pemulihan ekonominya belum,” tutur Nagham Awada.

MAHARDIKA SATRIA HADI (THE BAGHDAD POST, RUDAW, THE NATIONAL, WASHINGTON POST)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus