Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Rumah, tanah, dan puisi

Harta yang ditinggalkan ayatullah ruhollah khomeini hanyalah tanah kecil, rumah berperabot sederhana dan puisi. penggantinya tak harus ayatullah uzma, mujtahid yang cakap, sudah cukup.

24 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA yang ditinggalkan Ayatullah Ruhollah Khomeini, tokoh yang menggerakkan revolusi dan menjadi perhatian seluruh dunia ini? Tak sebanding dengan pusara bertahtakan pualam putih dan berkubah emas yang terletak di Kota Behesh-e Zahra, tempat jasad tokoh ini dibaringkan, harta duniawi milik pribadinya hanyalah sebidang tanah kecil dan sebuah rumah berperabot sederhana di Kota Qom. Tanah dan rumah itu disewakan. "Menurut saudara saya, bagian say dari hasil uang sewa tanah tersebut sekitar 4 ribu rial (Rp 99 ribu) setahun. Tapi uang itu tak pernah saya gunakan, tulis Khomeini, anak bungsu dari enam bersaudara dari Ayatoullah Sayed Mustava Mussavi, dalam daftar kekayaan pribadi. Uang itu, menurut Zahra Mostavi, salah seorang putri Khomeini, disumbangkan kepada para tunawisma. Rumahnya di Teheran yang sangat sederhana ternyata rumah sewaan. Di salah satu dari dua kamar di rumah itu hanya ada sebuah pesawat televisi tua, radio, cermin, dan rak buku berisi kitab-kitab hasil sumbangan beberapa penerbit. Ada pula dua karpet yang biasa digunakan untuk sembahyang Zahra Mostavi. "Perabotan yang ada di Qom dan Teheran bukan milikku, tetapi kepunyaan Ghod-E-Iran, istriku," tulis Khomeini dalam daftar itu pula. Menurut undang-undang, semua pejabat senior Iran diwajibkan mengisi daftar kekayaan pribadi. Khomeini sebenarnya bisa kaya-raya. Ia menerima khums (sumbangan harta dari para pengikutnya) puluhan ribu dolar. Tapi itu semua ia sumbangkan untuk membangun gedung universitas, membiayai perang melawan Irak, dan sejumlah kepentingan umum lainnya. Sikap hidup yang oleh Ahmad Khomeini, anaknya, diusulkan kepada Mahkamah Agung untuk dijadikan pedoman bagi para pejabat Iran, sebelum dan sesudah menduduki jabatannya. Di samping itu semua, ada warisannya yang susah dinilai dengan uang. Yakni, sejumlah puisi. Pada tahun-tahun awal di Qom, ia acap menulis puisi klasik yang disebut ghazal. Beberapa bulan sebelum ia meninggal, sebuah ghazal 14 baris ia tulis. Dalam sajak itu Khomeini bersyukur. "Biarlah kukenang kembali segala berhala itu/ Karena merekalah yang menyadarkan diriku." Agaknya, ia berbicara tentang musuh-musuhnya yang ia umpamakan dengan "berhala". Di hari-hari itu Sang Imam seakan tahu bahwa hari terakhirnya di dunia segera tiba. Tulisnya: Bentangkan lebar pintu kedai meinuman itu selama-lamanya/ Sebab, jemu sudah aku akan masjid dan pesantren.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus