Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMENANGAN Koalisi Kemajuan (Saairun), yang terdiri atas Partai Integritas (Itiqamah) dan Partai Komunis Irak (Al-Hizb ash-Shiyui al-Irqi), mengejutkan publik dan analis. Perolehan koalisi ini mengungguli partai yang digadang-gadang bakal menang, yaitu Aliansi Kemenangan (Itilaf Al-Nasr) pimpinan Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasil pemilihan umum pada 14 Mei lalu itu menjadikan pemimpin koalisi Saairun, ulama Syiah, Muqtada al-Sadr, sebagai penentu masa depan pemerintahan Irak. "Suara Anda adalah suatu kehormatan bagi kami," kata Muqtada dalam pernyataan yang dirilis di Twitter beberapa saat setelah pengumuman Komisi Pemilihan Umum Irak, akhir Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persekutuan partai Muqtada yang religius dengan Partai Komunis yang sekuler memang ganjil. Tapi berkat koalisi inilah mereka berhasil mengumpulkan 54 dari total 329 kursi parlemen. Mereka bukan penguasa mayoritas kursi parlemen, tapi perolehannya mengungguli partai koalisi Haider, yang mendapat 42 kursi, dan jauh melampaui partai Koalisi Negara Hukum (State of Law Coalition) pimpinan mantan perdana menteri Nouri al-Maliki yang meraih 25 kursi. Muqtada tak akan menjadi perdana menteri karena dia tak maju sebagai calon anggota parlemen. Namun ia memberi isyarat akan menggandeng partai Syiah lain, seperti Aliansi Fatah dan Aliansi Kemenangan, serta partai Kurdi dan Sunni.
Muqtada bukan orang yang diinginkan Amerika Serikat dan Iran untuk memimpin negeri itu. Seusai pengumuman hasil pemilihan, Amerika mencoba menghubungi Muqtada, orang yang menjadi musuh bebuyutannya. "Mereka bertanya, 'Apakah Sadr akan membangun kembali Tentara Mahdi? Apakah mereka akan menyerang pasukan Amerika di Irak?'" ujar Dhiaa al-Asadi, penasihat Muqtada. Tentara Mahdi adalah milisi bentukan Muqtada yang sebelumnya terlibat bentrokan mematikan dengan tentara Amerika.
Iran mengirimkan komandan militer regionalnya, Jenderal Qassem Soleimani, untuk menyatukan koalisi partai lain sebagai pengimbang Muqtada. "Iran tidak menerima pembentukan blok Syiah, yang merupakan ancaman bagi kepentingannya," kata sang komandan, seperti dilansir CNBC. Meski menjaga hubungan baik dengan Teheran, Muqtada mengecam aliran amunisi Iran ke milisi Syiah di Irak. Tentara Mahdi juga terlibat bentrokan keras dengan milisi Badar, yang didukung Iran.
Koalisi komunis dan Syiah bukan hal baru dalam sejarah negeri itu. Partai Komunis Irak berdiri pada 1934 dan berkembang di bawah pimpinan Yusuf Salman Yusuf, yang dijuluki Kamerad Fahad. Pada 1950-an, dua kelompok itu membangun basis di kota-kota suci tradisional Syiah, yakni Najaf, Karbala, dan Kadhimiyya. Mereka pula yang menentang monarki Irak, yang akhirnya digulingkan pada 1958.
Kongsi itu pecah ketika Partai Dakwah Islam Syiah (Hizb al-Dakwa al-Islamiyya) berdiri dan Ayatullah Muhammad Sadiq al-Sadr, tokoh Syiah ternama dan bapak Muqtada, menjadi tokoh utamanya. Partai ini menentang komunis dan sekularisme. Bahkan ulama Syiah, Muhsin al-Hakim, mengeluarkan fatwa yang menyebut anggota Partai Komunis sebagai penghujat Islam. Tapi baik komunis maupun Dakwah sama-sama ditekan ketika Partai Baath, yang Sunni, berkuasa sejak 1968.
Muqtada lahir 12 Agustus 1973 di Najaf, 160 kilometer selatan Bagdad. Ia putra keempat Sadiq al-Sadr. Di bawah pemerintahan Presiden Saddam Hussein dari Partai Baath, keluarga Muqtada berada dalam pengawasan ketat. Sadiq bersama dua anaknya, Mu'mil dan Mustafa, tewas ditembak pada 1999, tapi pemerintah membantah berada di balik pembunuhan itu.
Muqtada tumbuh di masa kaum Sunni berkuasa dan kelompok lain, termasuk Syiah dan komunis, ditindas. Titik balik kehidupan Muqtada terjadi saat Amerika Serikat menginvasi Irak pada Maret 2003, yang berujung pada jatuhnya Saddam.
Muqtada lantas membentuk Tentara Mahdi, yang terkenal keras dan berharap bisa mengusir pasukan pendudukan itu. "Muqtada menegaskan dengan retorika dan gayanya bahwa ia adalah yang pertama dan terutama adalah nasionalis Irak, tidak terikat dengan kekuatan asing, baik Iran, Amerika Serikat, maupun negara lain," kata Thanasis Cambanis dari lembaga pemikir Century Foundation, seperti dilansir Al Jazeera. "Akibatnya, dan terutama pada tahun-tahun awal setelah invasi, Muqtada adalah satu dari beberapa komandan milisi yang menuai rasa hormat di seluruh garis sektarian."
Menurut Nimrod Raphaeli, Muqtada adalah pemimpin karismatik dan orator berbakat. Dia menyampaikan khotbah Jumat yang berapi-api. "Muqtada mungkin tidak mewarisi legitimasi keagamaan ayahnya, belum mencapai pangkat ayatullah, tapi itu tidak mengurangi kemampuannya untuk memobilisasi kaum muda dan warga yang tidak puas atas keadaan," ucapnya.
Basis Muqtada adalah Kota Sadr, kawasan kumuh yang dihuni 2 juta orang di pinggiran Bagdad. Para pendukungnya mengembangkan berbagai layanan pendidikan, medis, dan sosial. Tentara Mahdi juga memerangi tentara Amerika hingga hakim Irak mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Muqtada atas pembunuhan tentara Amerika.
Tentara Mahdi mulai kehilangan dukungan rakyat pada 2007, terutama setelah 50 peziarah Syiah tewas dalam bentrokan antara milisi itu dan milisi Syiah lain di Karbala. Muqtada memerintahkan milisinya meletakkan senjata. Beberapa orang dipertahankan untuk membentuk pasukan elite dan sisanya berhimpun dalam Mumahidun, organisasi yang berfokus pada layanan sosial, seperti mengajar Al-Quran dan mengumpulkan sampah. Muqtada sempat kabur ke Iran selama tiga tahun dan kemudian pulang setelah pasukan Amerika ditarik dari Negeri Seribu Satu Malam pada 2011.
Strategi perlawanan Muqtada berubah. Kali ini dia lebih berfokus pada gerakan rakyat. Salah satunya memimpin demonstrasi besar di Lapangan Tahrir, Bagdad. Dia mendesak Perdana Menteri Haider al-Abadi membersihkan negeri itu dari korupsi.
Pada titik inilah kepentingan Muqtada dan komunis bertemu. Ibrahim al-Marashi, guru besar madya di bidang sejarah Timur Tengah di California State University San Marcos, Amerika Serikat, menulis di Middle East Eye bahwa kedua kubu sama-sama menentang korupsi, ketidakadilan sosial, dan penjajahan. Dia menyitir analisis Faris Kamal Nadhmi, intelektual kiri di The University of Baghdad, yang meramalkan terbentuknya koalisi ini pada 2010 dengan melihat berbagai persamaan kedua partai. "Kedua pihak saling membutuhkan. Bukan pada level penyatuan buatan dan tak realistis, melainkan keinginan untuk saling berkonsultasi, berkoordinasi, dan bekerja sama dalam bertukar keahlian di wilayah perencanaan politik dalam gerakan protes dan reformasi," kata Faris Nadhmi.
Muqtada dan komunis bersepakat untuk berkoalisi dalam pemilihan umum 2018 pada Juni tahun lalu. Ini bukan langkah koalisi dadakan seperti dilakukan partai lain menjelang detik-detik terakhir pendaftaran peserta pemilihan pada Januari lalu. Saat itu Partai Komunis dipimpin oleh Raid Jahid Fahmi, ekonom serta Menteri Sains dan Teknologi dalam pemerintahan Nouri al-Maliki. Muqtada mendeklarasikan koalisi itu sebagai Saairun, yang mengadopsi slogan demonstrasi jalanan antikorupsi.
Kemenangan Saairun membuat Muqtada dan komunis menjadi penentu masa depan Irak. Muqtada mengatakan dia berharap dapat membangun kabinet "teknokrat" yang jauh dari bias sektarian. Ia juga menegaskan kembali penolakannya terhadap campur tangan Iran dan Amerika. "Iran adalah negara tetangga yang khawatir akan kepentingannya dan kami berharap tidak akan campur tangan dalam urusan Irak. Amerika adalah negara penyerbu. Kami tidak mengizinkannya sama sekali untuk mengganggu," ujarnya Selasa dua pekan lalu.
Abdul Manan (Al Jazeera, Deutsche Welle, Independent, Telegraph, Reuters, CNBC, Middle East Eye)
HASIL PEMILIHAN UMUM IRAK 2018
PEMIMPIN | KOALISI/PARTAI | PEROLEHAN KURSI | Saairun | Muqtada al-Sadr | 54 | Fatah Alliance | Hadi al-Amiri | 47 | Victory Alliance | Haider al-Abadi | 42 | State of Law Coalition | Nouri al-Maliki | 25 | Kurdistan Democratic Party | Nechervan Barzani | 25 | Al-Wataniya | Ayad Allawi | 21 | National Wisdom Movement | Ammar al-Hakim | 19 | Patriotic Union of Kurdistan | Kosrat Rasul Ali | 18 | Decision Alliance | Usama al-Nujayfi | 14 |
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo