Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APA yang sebenarnya terjadi di Filipina? Sampai Senin malam pekan ini, belum sepenuhnya tentara pemerintah menguasai keadaan. Bahkan, ada tanda-tanda aksi kudeta terbesar dalam pemerintahan Presiden Cory Aquino ini segera berubah menjadi aksi teror. Di pusat perkantoran dan perdagangan Makati di jantung Manila, satu-satunya kawasan yang masih dikuasai pembelot pada Senin malam pekan ini, 13 gedung mereka kuasai. Dan di tiap gedung, menurut siaran Televisi NHK Jepang, 40-50 tentara pemberontak menjaga sejumlah sandera. Di Manila Garden Hotel misalnya, disandera 600 tamu. Seorang wartawan televisi Jepang berhasil mewawancarai pemimpin pemberontak yang menguasai Makati, wilayah yang oleh orang Manila dibilang New York Kecil. Kata dia, Cory bohong, bahwa sudah banyak tentara pemberontak menyerahkan diri. "Di Makati saja ada sekitar 400 tentara, kebanyakan dari satuan elite Scot Rangers angkatan darat," kata si pemimpin yang tak disebutkan namanya itu. "Pokoknya, Cory harus mundur." Sekali-sekali suara tembakan terdengar dari puncak-puncak gedung yang dikuasai pembelot ke arah tentara pemerintah yang mencoba mendekat. Rabu malam, 29 November. Sekitar pukul 10.45 malam waktu setempat, 13 anggota Scout Rangers (SR) dipimpin oleh Kapten Jaime Junio menggasak sebuah kendaraan militer dan sejumlah penjaga di stasiun pemancar radio di Kota Tagaytay. Tampaknya, ini merupakan awal sebuah gerakan yang telah dipersiapkan masak, dengan dukungan besar. Kamis, 30 November. Di Markas Besar Angkatan Bersenjata Kamp Aguinaldo, Pangab Jenderal Renato De Villa mengadakan jumpa pers, sekitar pukul 10 malam. Ia mengatakan bahwa pihaknya telah membongkar sebuah rencana kudeta, dan menangkap 13 anggota satuan elite Scout Rangers. Pukul 11.30 malam, 200 personel Marinir bergerak keluar dari Fort Bonifacio (lihat peta), di tenggara Istana Malacanang, dengan 3 kendaraan militer. Dengan cepat, mereka mengadakan serangan dadakan, dan segera Pangkalan Militer Villamor, yang berada tak jauh di barat Bonifacio, mereka kuasai. Pukul 11.45 malam, hari itu juga. Dalam waktu yang hampir bersamaan dengan gerakan di Villamor, di kawasan Quezon City di Metro Manila, sejumlah tentara pembelot menguasai dua pemancar televisi, Saluran 4 milik pemerintah, dan Saluran 2 milik swasta. Jumat, 1 Desember. Dinihari, sekitar pukul 00.15 mulai pecah pertempuran di sekitar Saluran 4. Rupa-rupanya tentara pemerintah sudah dikomando untuk merebut kembali pemancar televisi pemerintah itu. Sementara itu, pemancar televisi Saluran 9 -- satu-satunya pemancar di Manila yang masih mengudara dan belum dikuasai pemberontak -- sekitar pukul 4.30 pagi itu, menayangkan imbauan Cory Aquino. Kata Presiden, agar rakyat Filipina mendukung pemerintahan demokratik. Dan bahwa tentara pemerintah sudah di atas angin. Ketika itulah, dua peleton marinir muncul lagi dari kamp militer Fort Bonifacio. Mereka membawa basoka dan sejumlah senapan mesin. Mereka mengambil posisi antara Villamor dan Bonifacio. Pukul 5 pagi, perintah resmi dari Malacanang: patahkan para pemberontak. Segera terlihat gerakan tentara menuju ke Villamor, pemancar televisi Saluran 4, dan ke Istana Malacanang. Warta berita radio Manila mengutip pernyataan Presiden George Bush, bila pemerintahan Presiden Aquino sampai ditumbangkan oleh kekerasan, bantuan terhadap Filipina akan disetop. Dan kemudian, terjadilah pengeboman itu. Sekitar pukul 6.20, warga Manila dikejutkan oleh raungan tiga pesawat T-28 Tora-tora yang terbang rendah di atas Malacanang. Mula-mula tak ada reaksi apa pun dari para penjaga istana. Baru setelah Tora-tora mengirimkan roket ke arah istana, meriam penangkis serangan udara segera menyalak. Terlambat, pesawat kabur, di beberapa tempat tertentu Istana Malacanang menyala. Kemudian, diketahui bahwa tiga pesawat pemberontak itu terbang dari pangkalan militer Sangley. Orang-orang pada memanjat genteng rumah, kepingin tahu yang terjadi. Rupanya, Tiora-tora terbang ke lokasi Saluran 4, menembaki pasukan pemerintah. Dikabarkan, lima serdadu dan tiga penduduk sipil tewas. 20 menit kemudian, raungan si Tora-tora ini muncul lagi di Malacanang, mengirimkan roket dan bom. Kali ini, perang udara berlangsung. Dua pesawat tempur F-5 terbang dari pangkalan militer di Batangas. Belum jelas hasil pertempuran, sementara bom jatuh di halaman Istana, jendela ruang pers hancur, seorang wartawan luka-luka, dan mobil Menteri Kehakiman ringsek. Sekitar pukul 8 pagi, tiga pesawat pembelot itu menyerang Markas Besar Angkatan Bersenjata Kamp Aguinaldo. Tentu saja, Kamp Crame, Markas Besar Constabulary (semacam Brimob), yang terletak di seberang Aguinaldo, kena serangan roket juga. Pukul setengah sepuluh, di Villamor terjadi tembak-menembak. Pasukan pemerintah dari kesatuan di Provinsi Tagalog Selatan mencoba merebut pangkalan udara militer ini. Sekitar pukul 10 kurang seperempat, terdengar ledakan. Sebuah helikopter jenis Sikorsky sukses membungkam Saluran 9, pemancar yang digunakan Cory menyiarkan imbauannya kepada seluruh rakyat Filipina. Sebelas kurang seperempat, sebuah Sikorsky sukses mengebom kediaman Jenderal de Villa di dalam Kamp Aguinaldo. Tapi, dikabarkan, tak ada korban. Konon keluarga De Villa sudah sempat mengungsi. Pada pukul 12.15, secara resmi Istana Malacanang minta bantuan pesawat tempur Amerika. Resminya permintaan itu disampaikan oleh Jenderal Ramos ke Washington. Segera, diskusi singkat terjadi di tingkat atas para pembantu George Bush. Permintaan itu, tentu, tak bisa ditolak. Soalnya, Presiden Bush sendiri, yang sedang ber-KTT di Malta, sudah menyatakan, bila pemerintahan Cory terancam ia harus membantunya. Masalahnya, konon, demikian sebuah pikiran dalam diskusi itu, sulit membedakan antara pasukan pembelot dan pemerintah. Padahal, permintaan dari Manila, selain melindungi Malacanang dari serangan udara, juga diharapkan pesawat AS menghancurkan kendaraan perang dan menumpas 1.000 tentara pembelot. Masalah yang tidak teknis, pihak AS harus menghindarkan keterlibatan langsung dalam urusan dalam negeri Filipina. Soalnya, begitu ada pernyataan Bush di Jumat pagi itu, segera dari Departemen Luar Negeri Soviet muncul juga pernyataan. Yakni, agar AS tak campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain karena, menurut pengalaman Soviet, itu tak baik jadinya. Sebuah cara yang rumit mesti diambil. Akhirnya, Jenderal Collin Powel, Kepala Staf Angkatan Bersenjata AS, memerintahkan pesawat Phantom F-4 terbang di atas pangkalan udara yang dikuasai pembelot, agar pemberontak tak berani menerbangkan pesawat yang mereka kuasai. Kurang dari satu setengah jam setelah permintaan bantuan disampaikan, dua F-4 dari pangkalan AS di Clark -- sekitar 80 km di utara Manila -- menderu di langit Manila. Tepat sekali perhitungan Jenderal Powel. Meski pesawat itu cuma lalu-lalang dan meraung-raung tanpa melepaskan sebiji roket atau bom, Malacanang selamat dari serangan udara. Muncul berita yang sulit dikonfirmasikan, Kolonel Gregorio Honasan -- yang disebut-sebut menjadi salah seorang pemimpin pembelot -- mengakui bahwa terbangnya dua F-4 merupakan titik balik dalam pertempuran di Manila. Tak dijelaskan dalam berita yang dilansir Reuters itu, apa persisnya yang dimaksudkan oleh si Gringo, yang bersamaan dengan plebisit di Mindanao beberapa minggu lalu, mengeluarkan pernyataan bahwa "Cory harus mundur". Sementara itu, Senator Enrile, bekas Menhan, mengadakan konperensi pers. Ia mengecam Cory karena minta bantuan AS. Mungkinkah, setelah F-4 meraung-raung, nyali tentara pembelot jadi ciut? Yang pasti, Malacanang selamat, tak lagi jadi sasaran. Yang pasti, sekitar pukul 2 siang, serangan balasan pesawat tempur Filipina dari Pangkalan Militer Basa ke Sangley sukses. Setidaknya sebuah pesawat T-28 dan depot logistik terbakar. Sementara itu, terjadi pertempuran kelompok per kelompok di sekitar Malacanang. Kabarnya, tak lama kemudian, tentara pembelot menyerah. Di Kamp Aguinaldo, serangan darat dari pembelot kembali meledak. Dikabarkan, pada pukul 5 sore, 400 serdadu pemberontak di Pusat Logistik Angkatan Darat menyerah. Tak lama kemudian, pernyataan dari Cory Aquino disiarkan televisi dan radio: tentara pemberontak telah dipatahkan. Tinggal pertempuran-pertempuran kecil tak berarti. Menurut petugas Palang Merah, 22 korban tewas pada hari itu, kebanyakan penduduk sipil terkena peluru nyasar. Lebih dari 50 orang luka-luka. Hari itu, semua penerbangan dari dan ke Manila, baik lokal maupun internasional, ditunda. Sabtu, 2 Desember, Cory menuduh pihak oposisi mendalangi kudeta. Ia menyatakan tak akan mengadakan gencatan senjata. "Mereka yang memulai, kami yang mengakhiri," kata Presiden. "Hanya ada dua pilihan, menyerahkan diri atau mati." Helikopter pemerintah menyerang pembelot yang mengepung Kamp Aguinaldo. Sekitar 200 anggota marinir dan angkatan darat, didukung oleh dua tank dan tiga kendaraan lapis baja, mencoba menembus gerbang kamp. Jenderal Ramos mengimbau agar delapan juta warga Manila tinggal di rumah. Di saat yang sama, pagi itu, wilayah perkantoran dan perdagangan di Makati diserbu pembelot. Tentara pemerintah rupa-rupanya berusaha menghindarkan tembak-menembak di kawasan itu, takut mengenai penduduk sipil. Bertentangan dengan pernyatan Jumat sore, ternyata Sabtu ini pembelot masih memiliki kekuatan besar. Di Makati, tentara pembelot menyelundup masuk hotel, dan pasar swalayan, serta gedung perkantoran. Tak ada perlawanan berarti dari tentara pemerintah yang mulai mendekat ke Makati. Ketika diwawancarai wartawan Newsweek di persembunyiannya, September 1987, Honasan mengatakan bahwa kegagalan kudeta Agustus adalah karena ia takut menggunakan senjata berat. Ia khawatir, itu akan membuat rakyat yang jadi korban. Kali ini, tampaknya, ia belajar dari kesalahan lampau. Bila benar ia ikut memimpin kudeta kali ini -- dan demikianlah dugaan kuat banyak pihak -- rupanya, ia tak lagi mencemaskan korban di pihak penduduk sipil. Diduga, pemberontak dibiayai dengan baik. Saksi mata menyatakan, di Makati, pemberontak membagi-bagi uang saku 300 peso (US$ 15) untuk tiap orang. Ketika gelap mulai melingkupi Manila di Sabtu itu, Makati sepenuhnya berada di tangan pembelot. Tampaknya, ada kesengajaan dari tentara pemerintah untuk mengurung pembelot di Makati. "Tak ada harapan bagi pembelot," kata Menhan Ramos. Korban bertambah menjadi 52 tewas dan sekitar 100 luka-luka. Berita yang semula beredar, bahwa dari pangkalan udara Mactan di Cebu, Filipina Tengah, akan ada bantuan bagi pemberontak, ternyata tak kunjung muncul. Konon, pesawat yang siap menerbangkan mereka tak ada pilotnya. Minggu, 3 Desember. Pagi-pagi, barisan pengungsian terlihat keluar dari Kamp Aguinaldo. Mereka adalah keluarga tentara di kamp itu. Mereka berjalan membawa harta milik dan tak sedikit yang menggendong bayi. Di sebuah gereja, Cory dan keluarganya menghadiri misa pagi bersama Kardinal Sin. Kepada wartawan, Sin bilang, sebaiknya pemberontak menyerahkan diri. Mereka telah menyebabkan sejumlah orang tak berdosa menjadi korban. Sementara itu, Cory tampak tersenyum-senyum dan bergurau dengan cucunya. Menjelang malam, di Kamp Aguinaldo, terdengar ledakan hebat. Serangan tentara pemerintah dipergencar, rupa-rupanya untuk mengusir pembelot. Senin pagi, 4 Desember. Sekitar Makati sunyi. Sementara itu, Kamp Aguinaldo dan Villamor sudah bebas dari tangan pembelot. Beberapa pemimpin pembelot, antara lain Letkol. Remolino Gojo yang memimpin serangan di Villamor, ditahan. Hari ini, bandar udara internasional di Manila kembali dibuka. Ada kabar bahwa Wapres Laurel akan segera mendarat dari Hong Kong. Ia terpaksa mendarat, Jumat pekan lalu, di koloni Inggris itu dari London, karena bandara internasional di Manila ditutup. Laurel, dalam wawancara di Hong Kong, tak mencela maupun berpihak kepada pembelot. Ia tak setuju cara mereka. Tapi, ia pun mencela campur tangan pesawat AS. Ada kabar yang belum dikonfirmasikan bahwa Cory mengusulkan gencatan senjata sementara, untuk mengungsikan para turis yang menginap di hotel-hotel di Makati. Sementara itu, para pengamat politik di Filipina bertanya-tanya akibat terbangnya pesawat AS. Itu menyulitkan kedudukan Cory, kata mereka. Bagaimanapun, itu menandakan bahwa Cory tak cukup kuat untuk mempertahankan pemerintahannya dengan pasukannya sendiri. Ironis memang, justru dalam pemerintahan yang lebih demokratis daripada sebelumnya, hubungan militer dengan pemerintahan sipil sulit serasi. Sampai kapan Cory bertahan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo