Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sebilah Pedangbuat Pangeran Baru

Penantian akan seorang calon ahli waris kerajaan dalam empat dekade Takhta Seruni berakhir. Dia putra ”pangeran dandy”.

11 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kabar di pagi hari itu memecahkan kabut suksesi kekaisaran Jepang. Pangeran Akhisino memberi tahu Kaisar Akihito bahwa istrinya telah melahirkan anak laki-laki; seorang bayi seberat 2,6 kilogram di Rumah Sakit Aiiku, Tokyo, tepat pukul 08.27. Segera setelah itu rakyat Jepang berpesta.

”Langit Jepang hari ini cerah,” kata Menteri Sekretaris Kabinet Shinzo Abe, Rabu lalu.

Ya, sudah lebih dari 40 tahun Tak­hta Seruni menantikan calon ahli waris ke­rajaan. Pangeran baru itu tak lahir dari perkawinan Putra Mahkota Naru­hito dengan Putri Mahkota Masako yang tak kunjung memiliki anak lelaki, melain­kan dari pasangan Putri Kiko dan Pa­ngeran Akhisino, adik kandung putra mahkota, yang dandy, sering berganti-ganti potongan rambut.

Jika Naruhito tak memiliki anak lelaki, pangeran baru ini berada di urutan ketiga calon ahli waris kerajaan menggantikan kakeknya, Kaisar Akihito, se­telah pamannya, Naruhito, dan ayahnya sendiri. Naruhito-Masako baru mempunyai seorang anak perempuan, Putri Aiko, 4 tahun.

Kaisar memberi hadiah pe­dang kecil yang diletakkan di dekat bantal sang bayi. Pe­dang ini menjadi bukti bahwa si bayi adalah keturunan langsung leluhur Kerajaan Jepang, Dewa Matahari Amaterasu. Pedang ini ju­ga dipercaya akan mengusir kuasa ge­lap dari hidup sang bayi.

Pekan ini, tepat tujuh hari kelahir­an, ke­rajaan akan menggelar upacara pe­na­maan. Bayi akan dimandikan terle­bih du­lu dalam sebuah baskom kayu. Pa­ra ab­di kekaisaran berseragam sutra pu­tih akan mengelilingi tempat mandi­nya, meng­en­takkan busur kayu untuk meng­usir setan dan membacakan babad ku­no Nihon Shoki, sejarah resmi Keraja­an Jepang yang diselesaikan pada 720 Ma­sehi.

Lalu Akhisino, 40 tahun, akan menuliskan nama pada sepotong washi, kertas buatan tangan. Kertas ini akan di­-­sim­pan dalam kotak kayu yang juga akan diletakkan di dekat bantal bayi. Secara simbolis pangeran juga akan menerima alat cap yang kelak ketika dewasa akan dipakai untuk menandai benda-benda miliknya.

Istana telah menyediakan 3,05 juta yen (sekitar Rp 241 juta) per tahun u­ntuk si bayi. Sebanyak 20 perawat disiapkan. Pangeran cilik ini juga akan dibesarkan dengan cara yang tak sekaku ahli wa­ris sebelumnya. Naruhito yang alumnus Universitas Oxford Inggris pun sebenar­nya dikenal sebagai pangeran yang i­ngin memodernisasi Kekaisaran Seruni.

Masa depan kekaisaran kian jelas. To­kyo berhias, anak-anak menggelar kar­­na­val, poster-poster dalam warna te­rang dipasang di mana-mana, pusat-pusat perbelanjaan jauh lebih ramai da­ri biasanya. Saham-saham dari para pro­­­dusen produk bayi Jepang, yang me­li­puti kereta mainan hingga susu, pun meng­alami kenaikan. Para wanita Jepang yang enggan melahirkan—dan ini telah menekan angka kelahiran nasio­nal—ingin ikut merasakan kebahagiaan yang sama seperti yang dialami keluarga kerajaan.

Kelahiran bayi laki-laki itu praktis me­redam debat revisi Undang-Undang Rumah Tangga Kerajaan 1947 yang selama ini tak memungkinkan perempuan mewarisi takhta kekaisaran. Tra­disi bahwa hanya pria yang bisa mewari­si takhta telah direkatkan sejak era Restorasi Meiji 1889 dan diperkuat undang-undang.

Perdana Menteri Junichiro Koizumi yang dikenal reformis mendukung kemungkinan suksesi perempuan itu. Para pendukung revisi beralasan Jepang pernah memiliki delapan kaisar wanita. Ratu Jepang ter­akhir adalah Gosakuramachi yang naik takhta pada 1762. Pendapat yang sama diutarakan kalangan sosialis dan komunis.

Ide revisi itu ditentang kubu konservatif dalam Partai Demokratik Li­beral. Bekas perdana menteri Yasuhiro Nakasone bilang, ”Tak perlu lagi revisi saat ini. Problem telah terpecahkan.”

Pekan lalu, Naruhito, 46 tahun, dan Ma­sako, 42 tahun, belum mengeluarkan pernyataan terbuka tentang kelahir­an sang kemenakan. Mereka baru pulang dari liburan panjang di Belanda. Sebagian masyarakat Jepang berharap Masako ikut berbahagia, tapi Toshiya Matsuzaki, pengamat kerajaan, justru sebaliknya menilai, ”Kelahiran itu menciptakan stres baru bagi Masako.”

Yos Rizal S. (AFP, AP, BBC, Asahi Shimbun)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus