Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabar di pagi hari itu memecahkan kabut suksesi kekaisaran Jepang. Pangeran Akhisino memberi tahu Kaisar Akihito bahwa istrinya telah melahirkan anak laki-laki; seorang bayi seberat 2,6 kilogram di Rumah Sakit Aiiku, Tokyo, tepat pukul 08.27. Segera setelah itu rakyat Jepang berpesta.
”Langit Jepang hari ini cerah,” kata Menteri Sekretaris Kabinet Shinzo Abe, Rabu lalu.
Ya, sudah lebih dari 40 tahun Takhta Seruni menantikan calon ahli waris kerajaan. Pangeran baru itu tak lahir dari perkawinan Putra Mahkota Naruhito dengan Putri Mahkota Masako yang tak kunjung memiliki anak lelaki, melainkan dari pasangan Putri Kiko dan Pangeran Akhisino, adik kandung putra mahkota, yang dandy, sering berganti-ganti potongan rambut.
Jika Naruhito tak memiliki anak lelaki, pangeran baru ini berada di urutan ketiga calon ahli waris kerajaan menggantikan kakeknya, Kaisar Akihito, setelah pamannya, Naruhito, dan ayahnya sendiri. Naruhito-Masako baru mempunyai seorang anak perempuan, Putri Aiko, 4 tahun.
Kaisar memberi hadiah pedang kecil yang diletakkan di dekat bantal sang bayi. Pedang ini menjadi bukti bahwa si bayi adalah keturunan langsung leluhur Kerajaan Jepang, Dewa Matahari Amaterasu. Pedang ini juga dipercaya akan mengusir kuasa gelap dari hidup sang bayi.
Pekan ini, tepat tujuh hari kelahiran, kerajaan akan menggelar upacara penamaan. Bayi akan dimandikan terlebih dulu dalam sebuah baskom kayu. Para abdi kekaisaran berseragam sutra putih akan mengelilingi tempat mandinya, mengentakkan busur kayu untuk mengusir setan dan membacakan babad kuno Nihon Shoki, sejarah resmi Kerajaan Jepang yang diselesaikan pada 720 Masehi.
Lalu Akhisino, 40 tahun, akan menuliskan nama pada sepotong washi, kertas buatan tangan. Kertas ini akan di-simpan dalam kotak kayu yang juga akan diletakkan di dekat bantal bayi. Secara simbolis pangeran juga akan menerima alat cap yang kelak ketika dewasa akan dipakai untuk menandai benda-benda miliknya.
Istana telah menyediakan 3,05 juta yen (sekitar Rp 241 juta) per tahun untuk si bayi. Sebanyak 20 perawat disiapkan. Pangeran cilik ini juga akan dibesarkan dengan cara yang tak sekaku ahli waris sebelumnya. Naruhito yang alumnus Universitas Oxford Inggris pun sebenarnya dikenal sebagai pangeran yang ingin memodernisasi Kekaisaran Seruni.
Masa depan kekaisaran kian jelas. Tokyo berhias, anak-anak menggelar karnaval, poster-poster dalam warna terang dipasang di mana-mana, pusat-pusat perbelanjaan jauh lebih ramai dari biasanya. Saham-saham dari para produsen produk bayi Jepang, yang meliputi kereta mainan hingga susu, pun mengalami kenaikan. Para wanita Jepang yang enggan melahirkan—dan ini telah menekan angka kelahiran nasional—ingin ikut merasakan kebahagiaan yang sama seperti yang dialami keluarga kerajaan.
Kelahiran bayi laki-laki itu praktis meredam debat revisi Undang-Undang Rumah Tangga Kerajaan 1947 yang selama ini tak memungkinkan perempuan mewarisi takhta kekaisaran. Tradisi bahwa hanya pria yang bisa mewarisi takhta telah direkatkan sejak era Restorasi Meiji 1889 dan diperkuat undang-undang.
Perdana Menteri Junichiro Koizumi yang dikenal reformis mendukung kemungkinan suksesi perempuan itu. Para pendukung revisi beralasan Jepang pernah memiliki delapan kaisar wanita. Ratu Jepang terakhir adalah Gosakuramachi yang naik takhta pada 1762. Pendapat yang sama diutarakan kalangan sosialis dan komunis.
Ide revisi itu ditentang kubu konservatif dalam Partai Demokratik Liberal. Bekas perdana menteri Yasuhiro Nakasone bilang, ”Tak perlu lagi revisi saat ini. Problem telah terpecahkan.”
Pekan lalu, Naruhito, 46 tahun, dan Masako, 42 tahun, belum mengeluarkan pernyataan terbuka tentang kelahiran sang kemenakan. Mereka baru pulang dari liburan panjang di Belanda. Sebagian masyarakat Jepang berharap Masako ikut berbahagia, tapi Toshiya Matsuzaki, pengamat kerajaan, justru sebaliknya menilai, ”Kelahiran itu menciptakan stres baru bagi Masako.”
Yos Rizal S. (AFP, AP, BBC, Asahi Shimbun)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo