Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Secuil Suara yang Terombang-ambing

Pemilih muslim nyaris luput dari perhatian para kandidat Presiden Prancis. Terimpit menguatnya sentimen anti-Islam dan kekecewaan terhadap rezim Francois Hollande.

24 April 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alkisah, pada 2022, Mohammed Ben Abbes, seorang muslim Prancis, terpilih sebagai presiden. Tidak tanggung-tanggung, pentolan Partai Al-Ihwan al-Muslimun itu meng-KO rivalnya, Marine Le Pen. Bahkan Manuel Valls, pemimpin Partai Sosialis, rela berbaris di belakang Abbes demi menggulingkan Le Pen. Prancis, dalam kisah karangan novelis Michel Houellebecq tersebut, untuk pertama kalinya dipimpin oleh penganut Islam.

Penggalan cerita dalam novel berjudul Submission itu tentu khayalan belaka. Namun, lewat karya kontroversial yang diterbitkan pada 7 Januari 2015 tersebut, Houellebecq ingin menggambarkan fenomena bangkitnya kekuatan umat muslim dalam sistem politik Prancis. "Itu kemungkinan yang nyata, meski tidak akan terjadi dalam waktu dekat," katanya saat itu. Para pengkritiknya menyebut Houellebecq mengidap Islamofobia.

Houellebecq, lewat novel keenamnya yang laku keras itu, dengan lincah memadukan fiksi dan realitas politik di Prancis. Berlatar peristiwa lima tahun mendatang, pria 61 tahun itu melukiskan termin kedua kekuasaan Francois Hollande yang kacau. Rakyat Prancis terbelah lantaran kecewa terhadap rezim sosialis. Bentrok antara loyalis gerakan ekstrem kanan dan pemuda muslim kerap pecah di jalanan. Hal itu mencapai puncaknya saat Le Pen melawan Abbes dalam putaran kedua pemilihan, yang berujung pada tumbangnya Le Pen.

Kenyataan di Prancis, setidaknya untuk saat ini, tidak semirip karangan Houellebecq. Bisa dibilang hanya Le Pen karakter yang akrab dengan kondisi faktual di negeri itu. Le Pen, pentolan partai ekstrem kanan Front National, kini masuk daftar kandidat presiden terfavorit. Namun, di bagian lain cerita, terutama prediksi tentang munculnya kekuatan kelompok muslim Prancis, agaknya masih jauh dari gambaran dalam Submission.

Di Prancis, belum ada tokoh politik muslim sekuat Abbes, tokoh imajiner itu. Bahkan karakter Abbes dan Partai Al-Ihwan konon buah inspirasi dari Nagib Azergui, tokoh pendiri partai gurem Uni Demokratik Muslim Prancis (UDMF). Baru dibentuk pada 2012, UDMF hanya berisi 900 kader dengan 8.000 simpatisan. "Kami ingin memberi suara kepada secuil populasi yang tak dapat dijumpai di partai-partai tradisional," kata Azergui.

Di kancah nasional, pemilih muslim Prancis terserak. Mereka nyaris terlupakan. Dari 11 calon presiden, tak ada seorang pun kandidat yang menyuarakan kepentingan kaum muslim. "Tidak ada kampanye untuk kami. Tidak ada orang yang mengerti situasi kami," kata Laorla Loub, 56 tahun, warga muslim di Clichy, pinggiran Paris. Loub adalah generasi kelima warga negara Prancis dari keturunan imigran asal Afrika utara.

Penduduk muslim Prancis bukan warga minoritas biasa. Jumlah mereka mendekati 5 juta jiwa, mengisi 7,5 persen dari populasi. Di seantero Eropa, Prancis memiliki komunitas muslim terbesar--warisan sejarah kolonial negeri itu yang memicu aliran imigran dari negara-negara Arab Maghrib dan Sub-Sahara di Afrika. Prancis juga berlomba mengimpor tenaga kerja murah pada tahun-tahun pertama selepas era Perang Dunia II.

Toh, ceruk pemilih muslim itu tidak membuat para kandidat melirik. Para politikus tradisional Prancis, dari spektrum ideologi kanan dan kiri, dengan hati-hati menjaga jarak dari komunitas muslim. Itu karena asosiasi negatif warga muslim dengan teroris, yang beberapa kali menyerang Prancis sejak tragedi Charlie Hebdo pada awal Januari 2015.

Citra umat Islam Prancis semakin terpuruk saat cap teroris berkelindan dengan krisis akibat pengungsi dan imigran di Eropa. Lebih dari satu juta pendatang, umumnya dari negara-negara berpenduduk mayoritas muslim yang dikoyak perang, seperti Suriah, Irak, dan Afganistan, terus membanjiri Benua Biru sejak 2014. "Kelompok kanan selalu memusuhi muslim dan imigran," kata Hakim El Karoui, peneliti komunitas muslim Prancis.

El Karoui menunjuk hidung Francois Fillon dan Marine Le Pen, dua calon dari spektrum kanan peta politik Prancis. Fillon, kandidat dari Partai Republik, yang didukung kaum Katolik tradisional, bersuara tegas selama kampanye. "Saya ingin pengawasan administrasi yang ketat terhadap keyakinan muslim," ucapnya. Le Pen menyuguhkan versi yang lebih ekstrem. Islam, menurut Le Pen, "Ideologi yang ingin membuat Prancis bertekuk lutut."

Pada 2012, warga muslim Prancis pernah terbentur hal serupa. Saat itu mereka berpaling kepada Hollande, kandidat dari Partai Sosialis. Di putaran kedua pemilihan, Hollande meraup 86 persen suara dari kelompok pemilih muslim. Dukungan telak itu sukses membawa Hollande menjungkalkan rivalnya, calon inkumben dari Partai Republik, Presiden Nicolas Sarkozy. Secara rata-rata nasional, Hollande mendulang 52 persen suara.

Duo peneliti politik Sylvain Brouard dan Vincent Tiberj, dalam buku mereka yang berjudul Français comme les autres?, menganalisis perilaku memilih warga muslim itu. Menurut mereka, orang-orang Islam di Prancis memilih Partai Sosialis dengan alasan yang sama seperti umat Katolik di Amerika Serikat memilih Partai Demokrat. "Mereka memberikan suara untuk kandidat yang mendukung hak-hak minoritas," kata Brouard dan Tiberj.

Kini semua telah banyak berubah bagi warga muslim Prancis. Partai Sosialis tak lagi dapat menjadi "tempat pelarian" mereka. Hollande tidak hanya gagal memberantas kemiskinan, yang membuat kecewa para pendukungnya, terutama mereka dari kelas pekerja. Lewat gerakan kontraterorisme yang superketat, khususnya setelah tragedi teror Paris November 2015, rezim kiri Hollande juga membuat komunitas muslim Prancis kian tersudut.

Menoleh ke kanan tak bersambut, menengok ke kiri tak lagi bersahabat. Merasa terabaikan oleh sistem politik, sebagian pemilih muslim Prancis jadi apatis. "Orang-orang di masjid ini tidak tertarik pada politik," kata Ismail, pria paruh baya asal Aljazair, saat diwawancarai situs berita The Local di sebuah masjid di Paris. "Kami merasa dianiaya. Para politikus itu orang-orang munafik. Mengapa kami harus memilih mereka?"

Dalam komunitas muslim Prancis, sikap politik abstain umumnya dipegang erat oleh kelompok Jamaah Tabligh yang salafi. Namun kini sejumlah cendekiawan muslim Prancis, termasuk para pemimpin Islam yang lebih moderat, mulai aktif menyerukan gerakan "tidak memilih". "Tujuannya agar tidak terjebak di antara 'dua kekuatan jahat'," begitu menurut situs The Conversation, merujuk pada dua kekuatan politik tradisional Prancis.

Amadou, 57 tahun, pemilih muslim lainnya, mengaku belum menentukan pilihan. Namun ia tidak menutup kemungkinan untuk memilih Marine Le Pen, kandidat yang telah menyulap Islam sebagai "musuh bersama" rakyat Prancis. Menurut dia, Le Pen tidak lebih buruk daripada kandidat-kandidat lain. "Dia memang Islamofobik, tapi apa bedanya dengan mereka semua?" kata Amadou. "Marine satu-satunya yang bersikap terbuka soal itu."

Seandainya Prancis kini menjejak tahun 2022, Mohammed Ben Abbes, yang muslim itu, bisa jadi terpilih menggantikan Hollande. Abbes mungkin saja mengalahkan Le Pen. Namun, sayangnya, Prancis versi itu hanya ada dalam novel Submission. "Ini buku yang memuliakan ide-ide Front Nasional," kata Laurent Joffrin, pemimpin redaksi surat kabar berhaluan kiri, Libération, mengkritik buah karya Michel Houellebecq tersebut.

Mahardika Satria Hadi (The Local, France 24, The Conversation, Al Jazeera)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus