Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tong Ying-kit menjadi korban pertama Undang Undang Keamanan Nasional di Hong Kong.
Cina kini memiliki kontrol lebih besar terhadap Hong Kong.
Sejumlah aktivis memilih hengkang dan berkampanye di dunia internasional.
WARGA Hong Kong rutin menggelar pawai setiap 1 Juli untuk merayakan status khususnya setelah Inggris menyerahkan kota itu kepada Cina pada 1997. Sejak penyerahan itu, Wilayah Administratif Khusus Hong Kong memiliki sejumlah otonomi dengan sedikit campur tangan dari pemerintah Cina yang dikenal dengan istilah "satu negara, dua sistem".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kali ini, polisi melarang pawai dan menjaga ketat setiap sudut kota karena hari itu adalah hari pertama pemberlakuan Undang-Undang Keamanan Nasional. Regulasi ini melarang semua gerakan yang dianggap sebagai upaya memisahkan kota ini dari Cina. Undang-undang itu disahkan sehari sebelumnya oleh Kongres Rakyat Cina dan diteken Presiden Xi Jinping.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun ratusan orang tetap saja turun ke jalan. Polisi antihuru-hara menghadang mereka dengan semprotan merica, meriam air, gas air mata, dan peluru karet. Setidaknya 370 orang ditangkap, termasuk sepuluh orang yang diduga melanggar undang-undang baru tersebut. Salah satunya Tong Ying-kit. Pemuda 23 tahun ini naik sepeda motor sambil mengusung spanduk bertulisan "Bebaskan Hong Kong, Revolusi Zaman Kita" dan menabrak kerumunan polisi.
Pemuda itu diadili di Pengadilan West Kowloon, Senin, 6 Juli lalu, dan menjadi korban pertama Undang-Undang Keamanan Nasional. Ia didakwa dengan pasal penghasutan karena "mengatur, merencanakan, melakukan, atau berpartisipasi dalam aksi" yang bertujuan memisahkan Hong Kong dari Cina dan pasal terorisme karena melakukan kegiatan yang bisa membahayakan keamanan umum.
Sejumlah aktivis dan demonstran terlihat berada di dalam bis Polisi Hongkong, usai demonstrasi menentang Rancangan Undang-Undangn Kemanan Nasional di Hong Kong, 28 Juni 2020./Reuters/Tyrone Siu
Aktivis prodemokrasi mengecam regulasi baru ini. "Undang-undang ini pada dasarnya mengakhiri 'satu negara, dua sistem'. Nilai inti dari sistem itu adalah otonomi, ketika pemerintahan diatur dengan kehendak orang Hong Kong," kata Nathan Law, aktivis prodemokrasi Hong Kong, kepada Tempo melalui WhatsApp, Jumat, 10 Juli lalu. "Dengan menerapkan hukum ini, agen dan polisi rahasia, yang pada dasarnya menjalankan perintah pemerintah Hong Kong, menjadi penguasa langsung Hong Kong. Jadi 'satu negara, dua sistem' itu sudah berakhir."
Undang-Undang Dasar Hong Kong, konstitusi de facto yang berlaku sejak Inggris meninggalkan negeri itu, membatasi Beijing menerapkan hukum nasionalnya di sana. Aturan ini menjadi dasar bagi perlindungan hak-hak asasi manusia dan terbentuknya "satu negara, dua sistem". Pasal 23 konstitusi itu menyebutkan bahwa Hong Kong akan memberlakukan undang-undang sendiri yang melarang tindakan pengkhianatan, pemisahan diri, dan subversi terhadap pemerintah Cina.
Cina sudah lama ingin menerapkan Undang-Undang Keamanan Nasional berdasarkan pasal tersebut. Rancangannya pernah diajukan pada 2003, tapi diprotes dan berujung pada demonstrasi besar-besaran pada 1 Juli. Unjuk rasa itu diikuti sekitar 500 ribu orang, protes terbesar kedua sejak 1997. Akhirnya, rancangan ditarik. Sejak itu, 1 Juli dirayakan sebagai hari demokrasi dan kebebasan.
Protes kembali terjadi ketika pemerintah Hong Kong mengusulkan revisi Undang-Undang Ekstradisi pada Februari 2019. Revisi ini memungkinkan para pelanggar hukum di Hong Kong diadili di Cina daratan. Unjuk rasa pecah selama lebih dari setahun. Dua orang tewas dan 9.000 orang ditangkap. Rencana revisi itu akhirnya dibatalkan.
Protes panjang itu, menurut New York Times, membuat Cina gusar. Partai Komunis Cina menuntut ada langkah-langkah untuk menjaga keamanan nasional di Hong Kong. Beijing akhirnya melangkahi kewenangan parlemen Hong Kong dengan membuat Undang-Undang Keamanan Nasional untuk kota itu.
Langkah tersebut dikritik komunitas internasional. Pada 18 Juni lalu, para menteri luar negeri yang mewakili kelompok G7 berseru kepada Cina agar membatalkan rencana tersebut karena akan merusak otonomi wilayah tersebut. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo mengingatkan bahwa langkah itu akan membahayakan sistem yang memungkinkan Hong Kong berkembang. Amerika juga memperingatkan akan mencabut status ekonomi khusus bagi Hong Kong bila aturan itu diberlakukan.
Sejumlah negara lain menyampaikan kepedulian yang sama. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson membuka peluang bagi hampir 3 juta warga Hong Kong untuk bekerja dan menjadi warga negara Inggris. Taiwan juga menyampaikan niatnya memberikan perlindungan kepada orang yang ingin meninggalkan kota itu.
Cina mengabaikan semua peringatan tersebut. Kongres Rakyat Nasional—lembaga legislatif Cina—membahas rancangan undang-undang itu secara rahasia. Isi 66 pasal rancangan undang-undang itu baru diketahui masyarakat pada 30 Juni pukul 11 malam, satu jam sebelum resmi berlaku keesokan harinya.
Regulasi baru ini secara dramatis memperluas kekuasaan Cina untuk menyelidiki, menuntut, dan menghukum tersangka pelaku kejahatan di Hong Kong. Ia melarang setiap kegiatan yang dianggap membahayakan keamanan nasional, seperti campur tangan asing, separatisme, subversi, dan terorisme. Orang yang dijerat dengan undang-undang ini dapat dihukum penjara seumur hidup.
Cina juga akan menempatkan penegak hukumnya di kota itu dengan label "Kantor untuk Perlindungan Keamanan Nasional". Mereka juga membentuk Komite Rahasia Keamanan Nasional untuk Hong Kong yang terdiri atas pejabat pemerintah kota itu dan penasihat yang ditunjuk Beijing. Menurut pemerintah Hong Kong, kegiatan kelompok ini tidak akan diungkapkan ke publik dan keputusannya tidak bisa diganggu gugat.
Undang-undang ini diyakini akan dipakai untuk membungkam kritik terhadap Cina. "Pengesahan Undang-Undang Keamanan Nasional adalah momen yang menyakitkan bagi rakyat Hong Kong dan merupakan ancaman terbesar terhadap hak asasi manusia dalam sejarah kota ini," tutur Joshua Rosenzweig, Kepala Tim Cina di Amnesty International. Para aktivis Hong Kong percaya mereka mungkin akan ditangkap dalam waktu dekat. Tahun lalu, polisi telah menciduk lebih dari 9.000 demonstran, aktivis, dan anggota parlemen prodemokrasi.
Tidak lama setelah undang-undang disahkan, tokoh kunci partai Demosisto, yaitu Joshua Wong, Nathan Law, dan Agnes Chow Ting, menyatakan keluar dari partai. "Saya mengumumkan bahwa saya mengundurkan diri sebagai Sekretaris Jenderal Demosisto dan mundur dari partai pada saat yang sama. Saya akan mempraktikkan keyakinan saya dalam kapasitas pribadi," tulis Joshua di Facebook. Joshua adalah tokoh Revolusi Payung yang banyak memimpin demonstrasi prodemokrasi.
Menurut South China Morning Post, Demosisto menjadi salah satu target utama undang-undang tersebut. Wong berperan penting dalam upaya melobi Amerika agar menerbitkan Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong, yang memberikan sanksi terhadap pejabat Cina dan Hong Kong yang dianggap bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi di kota itu. Ia juga memberikan kesaksian di hadapan Kongres Amerika dan bertemu dengan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Nancy Pelosi.
Selain menangkap para demonstran pada hari pertama pemberlakuan undang-undang tersebut, pemerintah menyasar buku-buku karya aktivis prodemokrasi, seperti Joshua Wong dan anggota parlemen prodemokrasi yang terkenal, Tanya Chan. Menurut The Guardian, buku-buku mereka mulai menghilang dari perpustakaan kota.
Pencarian di situs perpustakaan umum juga menunjukkan setidaknya tiga judul buku Wong, Chan, dan cendekiawan Chin Wan tidak lagi tersedia. Departemen Jasa Budaya Kota, pengelola perpustakaan, menyatakan buku itu ditarik sementara untuk dikaji apakah isinya melanggar hukum yang baru. "Dalam proses peninjauan, buku-buku tidak akan tersedia untuk dipinjam,” begitu pernyataannya.
Sekolah juga menjadi sasaran. "Sesuai dengan empat jenis pelanggaran yang diatur jelas dalam undang-undang, manajemen sekolah dan guru harus meninjau materi pengajaran dan pembelajaran, termasuk buku," demikian pengumuman yang disampaikan biro pendidikan kota itu.
Sejumlah aktivis prodemokrasi memutuskan hengkang dan melanjutkan kampanyenya dari luar. Salah satunya Nathan Law, tokoh Demosisto yang pernah dipenjara karena demonstrasi pada 2014. Ia keluar setelah memberikan kesaksian secara online kepada Kongres Amerika yang membahas masalah Hong Kong pada 1 Juli lalu.
"Saat pesawat lepas landas, saya menatap langit yang sangat saya cintai untuk terakhir kalinya. Jika memiliki keberuntungan untuk kembali, saya berharap tetap seperti saya: pemuda yang sama dengan kepercayaan yang sama. Jayalah Hong Kong," tulis Law dalam pesan yang disebar di grup WhatsApp wartawan pada 2 Juli lalu. Dengan alasan keamanan, ia tidak bersedia mengungkapkan lokasi keberadaannya.
Dalam wawancara dengan Tempo, Law sempat menyampaikan optimismenya. Meski "satu negara, dua sistem" sudah berakhir, ia percaya ada peluang bagi perubahan karena Cina menghadapi tekanan eksternal dan internal. "Jadi, dalam jangka panjang, kami masih memiliki peluang," ucap pria 26 tahun itu.
ABDUL MANAN (NEW YORK TIMES, THE GUARDIAN, SOUTH CHINA MORNING POST)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo