Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Setelah sepekan Thailand legalkan ganja, para pasien dan penderita penyakit berat yang menggunakan tanaman itu untuk meringankan penyakit, mensyukuri pasokan produk yang lebih murah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti dilansir Reuters Senin 20 Juni 2022, hal ini dirasakan oleh Jiratti Kuttanam, pengidap kanker payudara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ganja medis sudah legal di sana sejak 2018. Namun sebelum undang-undang itu berubah, dia harus bergantung pada impor asing yang mahal. Beberapa pasien pergi ke pengedar ilegal. Tunas ganja yang diimpor biasanya berharga 700 baht atau hampir Rp300 ribu per gram. “Berkat legalisasi, harganya telah turun setengahnya,” kata Jiratti.
Perempuan berusia 42 tahun itu didiagnosis menderita kanker payudara stadium lanjut lima tahun lalu. Dua tahun kemudian dia mulai menggunakan minyak ganja dan produk lainnya untuk mengurangi rasa sakit, muntah, kelelahan dan kecemasan yang dia derita setelah kemoterapi.
"Saya telah mengonsumsi ganja secara teratur sehingga saya tidak perlu merasa sakit," katanya sambil merobek dan merebus daun ganja untuk membuat teh infus, memenuhi apartemen satu kamar tidurnya di Bangkok dengan baunya yang khas.
Thailand pekan lalu menjadi negara Asia pertama yang melegalkan pertumbuhan dan konsumsi ganja swasta, sebuah langkah yang dikatakan pihak berwenang akan meningkatkan pertanian dengan memberi petani tanaman komersial baru yang berharga. Baca selengkapnya
Tanaman lokal yang legal berarti pasokan produk tersebut lebih andal - hal yang baik selama pasien tahu cara menggunakannya, katanya. "Saya pikir Anda perlu pendidikan. Anda perlu mempelajari cara menggunakannya yang benar. Itu bisa berbahaya. Bisa berbahaya juga, lho."
Relaksasi pembatasan ganja di Thailand tidak berarti benar-benar gratis untuk semua. Pekan lalu, peraturan baru mulai berlaku melarang merokok publik ganja serta penjualannya kepada orang-orang di bawah 20 tahun, wanita hamil dan ibu menyusui.
SUMBER: REUTERS