Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Abdul Salam Badr tak memiliki pilihan selain mencukur jenggotnya sampai gundul. Tiga pekan lalu, penganut aliran Salafi ini bergegas ke warung membeli silet. Bila masih berjenggot, lelaki 29 tahun ini khawatir menjadi target penangkapan militer dengan tuduhan anggota atau simpatisan Al-Ikhwan al-Muslimun—organisasi pendukung Presiden Mesir Muhammad Mursi, yang dikudeta militer pada 3 Juli lalu. "Saya tidak mau hanya gara-gara jenggot masuk penjara," katanya kepada Foxnews.
Badr mengalami trauma karena sempat ditangkap dan diinterogasi militer pada pertengahan Agustus lalu. Saat itu, ia sedang berada di dalam taksi menuju kamar mayat untuk mengambil jasad rekannya yang tewas dalam unjuk rasa. Tapi, di tengah jalan, beberapa tentara menghentikannya di salah satu pos keamanan di Distrik Nasr City, Kairo. "Saya diinterogasi gara-gara berjenggot. Untungnya, mayat itu menyelamatkan saya dari tuduhan."
Menurut Koordinator Aliansi Antikudeta Mesir Sara Omar, beberapa kelompok masyarakat juga menolak kehadiran warga berjenggot karena khawatir disangkutkan dengan Al-Ikhwan al-Muslimun. Di Dokki, Kairo, misalnya, sejumlah pemuda melarang orang berjenggot memasuki Masjid Asad bin Al-Forat. "Mereka membawa tongkat dan mengusir warga berjenggot," ujar Omar.
Berbeda dengan Badr, Mohamed Soltan terpaksa berpindah-pindah tempat tinggal untuk menghindari kejaran polisi dan militer. Warga yang memiliki dua kewarganegaraan, Mesir dan Amerika Serikat, ini harus sering mengganti kartu seluler dan akun e-mail agar tak disadap. Militer mencarinya gara-gara ia ikut aksi duduk pendukung Mursi di Masjid Rabaah al-Adawiyah, Distrik Nasr City, Kairo, pada Agustus lalu.
Soltan berada di Mesir untuk mengembangkan bisnis setelah lulus dari Ohio State University, lima bulan lalu. Ia sempat menjadi juru bicara pengunjuk rasa karena fasih berbahasa Inggris. Ia tertembak ketika militer membubarkan demonstrasi. Upaya Soltan menghindari petugas keamanan rupanya tak membuahkan hasil. Ia dikabarkan telah tertangkap dua pekan lalu. "Rumah kami telah diobrak-abrik militer. Soltan menyampaikan telah ditangkap militer melalui pesan pendek terakhirnya," kata Hanaa Soltan, adiknya.
Hanaa mengatakan kakaknya bukan anggota Al-Ikhwan al-Muslimun dan partai politik di Mesir. Menurut dia, Soltan biasa memakai kacamata tebal, kaus polo, dan terkadang mengenakan topi bisbol. Ia tak pernah tampil seperti layaknya anggota organisasi itu. "Dia pernah ikut aksi penggulingan Husni Mubarak, tapi sebagai seorang muslim yang menginginkan perubahan," ujar Hanaa.
Kekejaman militer pada era Mubarak kembali muncul di Mesir. Kementerian Dalam Negeri mengoperasikan kembali Nabahits Amn ad-Dwala atau State Security Investigations Service (SSI) pada awal Agustus lalu. Unit yang menjadi simbol represi militer ini sudah dibubarkan setelah Mubarak terguling pada 2011. Dasar hukumnya Undang-Undang Darurat Mesir.
Tugas dinas itu mengawasi gerakan kelompok islamis dan aktivis oposisi. Aida Seif el-Dawla, Direktur Eksekutif Nadeem Center, lembaga yang menyoroti kebrutalan polisi dan korban kekerasan, mengatakan unit yang dibentuk pada 1931 ini sangat ditakuti karena kewenangannya tanpa batas. "Unit ini menculik dan membunuh atas nama hukum. Mereka membantai banyak aktivis Islam pada 1990-an," katanya.
Pada awal pendiriannya, anggota SSI mendapat pelatihan dari badan intelijen Uni Soviet, KGB. Mereka juga dilatih oleh Biro Penyelidik Federal (FBI) di Quantico, Virginia, Amerika Serikat. Mahasiswa Universitas Al-Azhar asal Indonesia, Agustiar Nur Akbar, menuturkan unit ini biasa mencokok orang tanpa surat penangkapan dan bukti-bukti kuat. "Asalkan ada dugaan bisa mengancam keamanan negara, mereka langsung menggelar operasi," ucap Agustiar, yang tinggal di Kairo sejak Mubarak masih berkuasa.
Sejak pembubaran aksi duduk di Masjid Rabaah al-Adawiyah, pada 14 Agustus lalu, militer gencar mencari dan menangkap orang yang dianggap pendukung Al-Ikhwan al-Muslimun. Menurut Agustiar, militer mendatangi hampir semua rumah orang yang dicurigai sebagai pendukung organisasi itu. Menurut sejumlah media Mesir, lebih dari 2.000 orang telah ditangkap. "Mereka langsung tangkap saja," tutur Agustiar, yang tinggal tak jauh dari Masjid Rabaah.
Sebelum mendatangi targetnya, kata dia, militer biasanya sudah mengantongi informasi dasar dari intel, meski tak semuanya akurat. Intel berkeliaran dengan menyamar sebagai pedagang hingga sopir taksi. Menurut Agustiar, sopir taksi sering menginterogasi penumpangnya dalam pembicaraan santai sehingga si penumpang tak curiga. "Pada akhir pembicaraan, biasanya mereka mewanti-wanti agar berhati-hati," ujarnya.
Ketika menangkap seseorang, militer menggunakan dalih organisasi itu adalah kelompok teroris. Menggunakan media pemerintah, militer menggelar propaganda tentang aksi brutal anggota Al-Ikhwan al-Muslimun. Dalam sebuah tayangan televisi, misalnya, seorang pria berjenggot dan bersenjata menembaki pasukan keamanan selama demonstrasi. Salah satu video juga menunjukkan seorang pria berjenggot menyerang pria muda di sebuah blok apartemen di Alexandria.
Pada saat yang sama, stasiun televisi yang bersimpati kepada Al-Ikhwan al-Muslimun diberangus. Empat stasiun televisi telah dicabut izin operasinya, di antaranya Misr 25 milik Al-Ikhwan al-Muslimun, Al-Hafez milik kelompok Salafi, dan Al-Jazeera Mesir, yang dituding sering membuat berita bohong.
Pemerintah Mesir berencana membuÂbarkan Al-Ikhwan al-Muslimun Âmelalui MahÂkamah Agung. Namun MA belum mengambil putusan karena muncul pro dan kontra di masyarakat. Al-Ikhwan pernah dinyatakan sebagai organisasi terlarang pada 1954. Mereka dituduh membunuh Presiden Gamal Abdul Nasser.
Militer juga mengejar simpatisan organisasi itu hingga ke kampus-kampus. Mereka mengincar staf kampus, dosen, juga mahasiswa. Tapi mereka menggunakan tangan-tangan aparat keamanan kampus yang telah menerima hibah dan pelatihan dari militer.
Juru bicara organisasi mahasiswa Al-Ikhwan al-Muslimun, Suhaib Abdel-Maksoud, mengatakan kewenangan itu diberikan semenjak bentrokan pada pertengahan Agustus lalu. Kementerian Kesehatan menyatakan bentrokan itu menewaskan lebih dari 900 orang. Menurut Abdel-Maksoud, seharusnya mahasiswa bebas mengkritik pemerintah dan memberi solusi. "Ini mengekang kebebasan, tapi kami tak khawatir ini akan menjadi pemicu gerakan lebih besar," katanya.
Mahasiswa Universitas Al-Azhar asal Indonesia lainnya, Abdul Madjid, mengatakan belum mendengar ada upaya penangkapan di kampus. Namun dia mengakui telah beredar selebaran dan pamflet yang berisi larangan mahasiswa bergabung dengan Al-Ikhwan al-Muslimun. Kampus-kampus di Mesir akan memulai perkuliahan pada 21 September setelah libur semester sejak tiga bulan lalu. "Militer melarang mahasiswa masuk Al-Ikhwan al-Muslimun dengan berbagai cara. Namun mereka tidak berani mengusik secara langsung ke kampus," ujarnya.
Serangan melalui kebijakan-kebijakan militer yang keras ini telah memukul kekuatan pengunjuk rasa. Menurut Abdul, jumlah peserta demonstrasi semakin menciut dan intensitasnya berkurang, hanya setiap Jumat. Ia mengatakan aksi Jumat dua pekan lalu hanya diikuti ratusan mahasiswa. "Padahal sebelumnya setiap aksi bisa diikuti hingga puluhan ribu orang. Sekarang sering aksi batal karena pengamanan yang ketat," katanya.
Pemerintah akan melarang 50 ribu ulama berkhotbah di masjid. Para ulama ini dianggap menggaungkan perlawanan kepada pemerintah dan mendukung Mursi di sejumlah masjid kecil di pelosok Mesir. Menteri Agama Mohamed Mokhtar Gomma khawatir gerakan radikal akan meluas. "Mereka bisa mengancam keamanan di Mesir."
Eko Ari Wibowo (Foreign Policy, Time, Fox New, Reuters)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo