Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Setelah Sang Ayatullah Mangkat

Kepergian ulama senior antipemerintah Ayatullah Hossein Ali Montazeri membuat suhu politik Iran memanas. Bagaimana nasib oposisi selanjutnya?

28 Desember 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOTA suci Qom, Senin pekan lalu. Puluhan ribu warga Iran dari berbagai kota menyesaki jalan-jalan utama kota tersebut. Hampir tak ada ruang yang tersisa. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak berbondong-bondong menyaksikan upacara pemakaman sekaligus memberikan penghormatan terakhir kepada Hossein Ali Montazeri.

Ulama senior Iran yang kerap mengecam kebijakan pemerintah itu meninggal dalam usia 87 tahun di kediamannya karena serangan jantung. Jasadnya dikubur di kawasan Masoumeh, Qom, sekitar 125 kilometer selatan Teheran. Pemimpin oposisi Mir Hossein Mousavi dan Mehdi Karroubi, yang turut hadir dalam upacara pemakaman, mengumumkan Senin itu sebagai hari berkabung nasional.

Ucapan belasungkawa juga datang dari pemerintah Amerika Serikat. Langkah tak biasa itu, menurut sejumlah pejabat Amerika, bertujuan menunjukkan dukungan Gedung Putih pada gerakan demokrasi di Iran. ”Doa dan simpati kami bagi keluarganya dan orang-orang yang secara konsisten memperjuangkan hak-hak universal dan kebebasan di Iran,” kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional Amerika, Michael Hammer.

Montazeri selama ini menjadi inspirasi bagi kelompok-kelompok proreformasi di Iran. Walaupun jarang menjadi sorotan media, pengetahuannya yang mumpuni soal agama membuat dia disegani di Iran. Namanya sempat disebut-sebut sebagai calon kuat pemimpin tertinggi Iran pengganti Ayatullah Khomeini. Keduanya bersahabat jauh sebelum Revolusi Iran pecah pada 1979.

Sayangnya, pada pengujung 1980-an keduanya berselisih paham. Waktu itu Montazeri secara terbuka mengkritik sistem politik, pembatasan kebudayaan, dan cara pemerintah Iran memperlakukan tahanan politik. Akhirnya, setelah Khomeini meninggal pada 1989, posisi itu diisi oleh Ayatullah Ali Khamenei.

Belakangan Montazeri dianggap sebagai pembangkang lantaran sering mengusulkan perubahan konstitusi untuk membatasi kewenangan pemimpin tertinggi. Berkali-kali ia mengecam Khamenei yang, menurut dia, menapaki jalan seorang diktator dengan atas nama Islam. Gara-gara kritiknya itu, dia pernah menjadi tahanan rumah pada 1997 hingga 2002. Kendati demikian, nyali Montazeri tak pernah surut. Dia menegaskan kebebasan yang seharusnya diwujudkan setelah Revolusi 1979 belum terwujud.

Ketika pemilihan umum Iran yang digelar 12 Juni lalu berakhir dengan demonstrasi besar menentang terpilih kembalinya Presiden Mahmud Ahmadinejad, dengan tegas dia mendukung oposisi. ”Tindakan keras pemerintah terhadap pelaku kerusuhan di jalan setelah pemilu bisa mengarah pada runtuhnya rezim yang berkuasa,” tulis Montazeri dalam situs pribadinya, Agustus lalu. Montazeri malah sempat mengeluarkan fatwa mengutuk sikap Ahmadinejad yang dianggap membiarkan aparat keamanan bertindak keras terhadap pengunjuk rasa di Teheran sehingga menelan banyak korban. Para oposisi pun menganggapnya pahlawan.

Lelaki kelahiran Kota Najafabad itu juga mengkritik kebijakan dalam ataupun luar negeri Ahmadinejad, termasuk sikap Teheran terhadap negara-negara Barat terkait dengan program nuklir negara tersebut. Dalam sebuah wawancara di situs berita BBC, November lalu, Montazeri mengatakan para ulama di Iran seharusnya mendorong tercapainya reformasi di negara itu. Reformasi, kata dia, harus segera dilakukan karena banyak keputusan penguasa saat ini bertentangan dengan kepentingan bangsa Iran. ”Mari berjuang dengan rakyat dan ajarkan apa yang menjadi hak-hak mereka. Jika tidak, ulama dan otoritas keagamaan Iran akan semakin lemah,” katanya melalui surat elektronik.

Kematian Montazeri menyulut gelombang aksi unjuk rasa. Ribuan pendukung Montazeri turun ke jalan membawa spanduk hijau berisi dukungan terhadap gerakan oposisi seraya meneriakkan slogan antipemerintah. ”Wahai, diktator, perjuangan Montazeri akan terus berlanjut,” teriak para pengunjuk rasa.

Untuk mencegah keributan, pemerintah menerjunkan ratusan anggota milisi Islam Basij sejak Senin malam. Sejumlah tempat yang menjadi ajang berkumpulnya kaum oposisi juga dijaga ketat. Meskipun demikian, bentrokan secara sporadis mulai terjadi Selasa malam. Puncaknya pada Rabu pekan lalu, ketika ulama reformis terkemuka Ayatullah Jalaleddin Taheri memimpin peringatan kematian Montazeri di Masjid Seyed di Isfahan.

Massa yang menghadiri upacara peringatan kematian salah satu arsitek Revolusi Islam 1979 itu dihalau petugas keamanan pada saat hendak memasuki masjid. Tak terima, mereka lantas melemparkan batu ke arah petugas, yang dibalas dengan semprotan gas air mata dan sabetan tongkat kayu. ”Banyak yang terluka dan ditahan,” tulis situs proreformasi, Jaras.

Sampai saat ini belum diketahui secara pasti kebenaran peristiwa tersebut. Maklum, tak satu pun media asing yang diperbolehkan masuk Kota Qom untuk meliput. Namun situs Internet milik faksi minoritas reformis di parlemen, Parlemennews, memberitakan lebih dari 50 orang ditahan dalam bentrokan itu. Situasi makin panas setelah tersiar kabar sehari sebelumnya Mir Hossein Mousavi dipecat dari jabatan Ketua Akademi Kesenian yang sudah sepuluh tahun disandangnya. ”Pemecatan ini hasil keputusan para anggota Dewan Tertinggi Revolusi Kebudayaan,” ucap Mohammad, salah seorang anggota Dewan. Sebagai penggantinya, Dewan, yang diketuai Presiden Mahmud Ahmadinejad, menunjuk Ali Moalem Damghani.

Dalam beberapa hari terakhir, kubu garis keras Iran mendesak aparat penegak hukum negara itu mengadili Mir Hossein Mousavi karena dianggap memicu kerusuhan. Pendukung oposisi lainnya juga mulai mendapat tekanan dari para ulama garis keras. Ini memunculkan anggapan bahwa kematian Montazeri memberikan pukulan keras bagi kubu reformis.

Abdulkhaleq Abdullah, guru besar ilmu politik dari Universitas Uni Emirat Arab, menilai kematian Montazeri tidak akan mempengaruhi perjuangan kelompok proreformasi. Mousavi dan pendukungnya, kata Abdullah, akan terus menuntut apa yang mereka tuduhkan, yakni kecurangan dalam pemilu dan korupsi dalam sistem pemerintahan Iran. ”Pergerakan oposisi saat ini jauh lebih luas ketimbang yang pernah dilakukan Montazeri,” ujarnya.

Nunuy Nurhayati (AFP, BBC, Reuters, Aljazeera)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus