Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sultan Terengganu di Pucuk Malaysia

Raja baru Malaysia dilantik. Selain melestarikan tradisi Melayu, sosok raja juga punya kekuatan politik seperti mengesahkan undang-undang.

18 Desember 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALUNAN nafiriterompet panjang dan Payung Ubur-ubur Kuning mengiringi Sultan Mizan Zainal Abidin memasuki Gedung Parlemen, Kuala Lumpur. Itulah bagian dari prosesi akbar pelantikannya menjadi Raja Malaysia yang baru, Rabu pekan lalu.

Ibu kota negeri pun bersolek menyambut hari bahagia itu. Spanduk selamat datang bertuliskan ”Daulat Tuanku” terpampang di seantero kota. Lampu hias dan umbul-umbul aneka warna dipasang di sepanjang jalan. Malam di Malaysia pun berhias sejuta cahaya.

Pada hari itu juga, Sultan Kedah Sultan Abdul Halim Mu’adzam Shah disumpah sebagai wakil raja. Keduanya dipilih oleh musyawarah Majelis Raja-Raja di Istana Negara, November lalu. Berdasarkan sistem penggiliran, Sultan Mizan, 44, terpilih menggantikan Tuanku Syed Sirajuddin Syed Putra Jamalullail sebagai Yang di-Pertuan Agong ke-13. Ia akan duduk di kursi barunya selama lima tahun.

Sebelumnya ia bertakhta sebagai Sultan Terengganu. Kini, posisi itu digantikan oleh Tengku Mohammad Ismailputra-nya berumur 8 tahunyang kemudian bergelar Yang di-Pertuan Muda.

Para petinggi negara hadir dalam acara pemahkotaan Sultan Mizan di Kuala Lumpur. Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi menyambut raja baru itu di Gedung Parlemen. Juga hadir Wakil Perdana Menteri Najib Tun Razak serta segenap menteri dan anggota Dewan. Ini menandakan eratnya pertalian antara para pemimpin ”tradisional” dan ”modern” di negeri itu.

Malaysia memang mempertahankan tradisi kesultanan sebagai kelanjutan dari eksistensi Kerajaan Melayu masa lalu. Etnis Melayu menguasai 60 persen dari 25 juta penduduk Malaysia. Pengamat politik dan budaya Melayu, Shamsul Amri Baharruddin, menyatakan sistem monarki akan tetap dipertahankan di Malaysia lantaran itu adalah identitas bangsa Melayu. Dekan Institut Alam dan Tamadun Melayu, Universitas Kebangsaan Malaysia, ini menganggap negara yang menghapus sistem kerajaan adalah ”negara yang kalah oleh pengaruh Barat”. Ia menunjuk contoh Hong Kong dan Indonesia.

Sistem monarki sebenarnya pernah mati di Malaysia saat negeri ini dijajah Inggris. Lalu, pada 1946, Inggris menyerahkan semua kekuasaan kepada para sultan. Padahal, pada saat itu, tak semua sultan negeri-negeri di Semenanjung Malaya itu berada di bawah Inggris. Maka, pada 1948, para raja Melayu memperjuangkan negeri-negeri itu bersatu dalam wadah Persekutuan Tanah Melayu. Dan, ”Itu adalah sejarah bersatunya raja-raja di Tanah Melayu,” kata Shamsul.

Nama ”Malaysia” sendiri dideklarasikan pada 1963 saat Persekutuan Tanah Melayu, Singapura, Sabah, dan Serawak membentuk federasi 14 negara. Singapura kemudian keluar dari Malaysia pada 1965 dan memproklamasikan negara sendiri. Negeri tetangga itu menganut sistem pemerintahan monarki konstitusional federal. Pernah dijajah Inggris, pemerintah Malaysia kini meniru model Sistem Parlemen Westminster. Kekuasaan eksekutif ada di perdana menteri sebagai kepala pemerintahan, sedangkan raja adalah kepala negara.

Raja dipilih oleh para ahli waris takhta dari sembilan negara bagian tiap lima tahun sekali, sedangkan perdana menteri berasal dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah melalui pemilihan legislatif, pimpinan partai yang unggul akan menjadi perdana menteri. Sejak merdeka pada 1957, Malaysia dipimpin oleh koalisi multirasialMelayu, Cina, dan Indiayang dikenal sebagai Barisan Nasional. Sebagai bekas jajahan Inggris, Malaysia adalah satu dari 53 anggota Negara-negara Persemakmuran. Seperti di Britania Raya, kekuasaan ”tradisional” dan ”modern” berjalan bersisian dengan tugasnya masing-masing.

Raja Malaysia tak cuma bertugas dalam acara-acara seremonial, tapi terlibat juga dalam kehidupan politik praktis negeri itu. Sultan bertugas mengesahkan undang-undang. ”Tanpa tanda tangan Sultan, semuanya tidak bisa jalan,” kata Shamsul. Selain itu, ia juga menjadi simbol pemimpin Islam di Malaysia.

Selain itu, monarki di Malaysia dilihat sebagai simbol kekuatan, kekuasaan, dan pemerintahan. Apa pun tindakan pemerintah dilakukan atas nama Yang di-Pertuan Agong yang bertindak sebagai penasihat pemerintah. Sultan Mizan Zainal Abidin juga bukan simbol raja yang ”kolot”. Bersekolah di Australia dan Inggris, ia kemudian mengikuti pendidikan militer di Royal Military Academy, Sandhurst, Inggris, hingga meraih gelar letnan muda.

Sejak muda, putra pasangan Sultan Mahmud Al-Muktafi Billah Shah dan Tengku Ampuan Bariah ini dikenal suka olahraga. Sepak bola, golf, taekwondo, dan scuba diving pernah dijalaninya. Namun, belakangan ia lebih berkonsentrasi pada olahraga berkuda. Bukan cuma iseng, tapi juga berprestasi. Ia seharusnya tampil di Asian Games di Doha, Qatar. Namun, ia absen karena jadwal pertandingan bertabrakan dengan pelantikannya. Padahal, ia dan timnyanomor empat terbaik di Asiadiharapkan menyumbang medali bagi negerinya.

Sang Raja juga dikenal sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat. Sultan Mizan selalu berkeliling ke masjid-masjid di Terengganu untuk menunaikan salat Jumat. Ia juga meneruskan tradisi ayahnya, Sultan Mahmud Almuktafi Billah Shah, membagikan sedekah kepada fakir miskin usai Jumatan. Tak aneh jika warga Terengganu tampak kehilangan ”melepas” putra terbaiknya ke ibu kota. Bahkan, dalam acara perpisahan, Mizan berurai air mata dan berkata: ”Saya hanya hilang dari pandangan, bukan dari hati warga Terengganu.”

Meski begitu, tak semua warga Malaysia mendukung pelaksanaan monarki ini. Banyak juga kelompok yang menilai keberadaan seorang raja sebenarnya tidak lagi signifikan dalam kehidupan bernegara. Seorang pria asal Kajang, Selangor, menyatakan: ”Pemerintahan dijalankan oleh perdana menteri, sehingga kalau tidak ada raja pun tak apa.” Ia bergabung dengan barisan pemrotes di Kuala Lumpur yang menganggap keberadaan seorang raja di Malaysia hanya menghamburkan uang negara.

Andari Karina Anom, T.H. Salengke (Kuala Lumpur)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus