Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Parahnya dampak perang sipil di Yaman membuat pengungsi Hodeidah menjadikan kuburan sebagai tempat tinggal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
11 keluarga pengungsi tidak punya uang dan tidak sanggup memenuhi kebutuhan pokok. Sehari-hari mereka mengandalkan pada bantuan makanan. Para pengungsi akhirnya terpaksa tinggal di pemakaman yang jaraknya ratusan kilometer ke selatan Hodeidah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami tidak menemukan tempat berlindung selain kuburan ini. Jadi kami telah bertebaran di tempat-tempat kosong di antara kuburan karena kami tidak tahan berlindung di tempat yang panas," kata Hassah Ali, salah satu orang yang melarikan diri dari pertempuran di distrik Al-Jarrahi, Hodeidah, dikutip dari Aljazeera, 15 Agustus 2019.
Hodeidah, sebuah kota besar di pantai Laut Merah Yaman, telah menjadi medan pertempuran antara pemberontak Houthi dan aliansi militer Koalisi Saudi-UEA yang telah mengerahkan kampanye militer sejak 2015, untuk mengembalikan pemerintahan Presiden Abdurabbu Mansour Hadi yang diakui secara internasional.
Bentrokan selama setahun terakhir telah mencegah bantuan mencapai pelabuhan, di mana 80 persen dari semua makanan untuk warga sipil di seluruh negeri datang.
Ahmed Yahsoubi, yang juga melarikan diri dari Hodeidah bersama kerabatnya, menjual botol plastik kosong, yang ia kumpulkan dari jalan-jalan Aden untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
"Hampir setiap hari, kita makan dari sisa makanan di tempat sampah," kata Yahsoubi.
"Saya bekerja sepanjang hari untuk mengumpulkan botol-botol plastik. Paling-paling, saya mendapatkan satu hingga dua dolar. Jadi kami meminta selimut, dan bantuan makanan biasa," katanya.
Warga duduk dekat makanan yang diterimanya dari Mona Relief, sebuah badan amal setempat, menjelang bulan suci Ramadhan di pinggiran Sanaa, Yaman 5 Mei 2019. REUTERS/Khaled Abdullah
Konflik di Yaman, negara termiskin di dunia Arab, dimulai ketika pemerintah memangkas subsidi bahan bakar pada musim panas 2014, memicu protes kemarahan dan memaksa ribuan orang turun ke jalan-jalan ibu kota, Sanaa.
Orang-orang Houthi mengambil kesempatan itu dan berbaris ke selatan dari benteng mereka di provinsi Saada ke Sanaa, tempat mereka menggulingkan pemerintahan Hadi.
Khawatir dengan kebangkitan Houthi, koalisi militer Saudi-UEA yang didukung AS melakukan intervensi pada 2015 dengan kampanye udara besar-besaran yang bertujuan untuk mengembalikan kekuasaan kembali ke pemerintah Hadi.
Sejak itu, lebih dari 18.000 serangan udara telah dilakukan di Yaman, dengan hampir sepertiga dari semua misi pengeboman menyerang situs-situs non-militer.
Sejauh ini, konflik telah menewaskan puluhan ribu orang dan mendorong negara miskin itu ke ambang kelaparan.
Menurut PBB, lebih dari 2 juta keluarga Yaman meninggalkan rumah mereka sejak awal konflik, yang telah menyebar ke berbagai bagian negara itu.