Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia dahulu mengalami masa kolonial yang sangat panjang di bawah pemerintahan Belanda. Setelah berjuang penuh tumpah darah, Soekarno dan Mohammad Hatta pun berhasil memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun, ada serangkaian peristiwa yang mengikuti kemerdekaan yang penuh dengan rintangan.
Belanda menganggap proklamasi Soekarno-Hatta tidak sah secara hukum. Mereka merasa masih memiliki kedaulatan atas Indonesia sehingga tidak mengakui independensi negara kepulauan tersebut. Hal ini kemudian berujung pada konflik bersenjata dan pertentangan diplomasi antara Indonesia dan Belanda atau biasa disebut Revolusi Nasional Indonesia 1945–1949.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belanda bersama sekutu berusaha menjajah kembali Indonesia. Mereka tiba di Tanah Air dalam peristiwa Agresi Militer Belanda I dan II setelah pemerintahan resmi sempat berfungsi untuk beberapa waktu. Wilayah Jawa dan Sumatra menjadi target dengan pertempuran hebat di sekitar Yogyakarta dan Surabaya. Belanda juga berusaha memperkuat keberadaannya di lokasi-lokasi strategis seperti Sabang, Medan, Palambang, dan Padang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama masa Perang Kemerdekaan Indonesia (nama lain untuk peristiwa 1945–1949), terjadi banyak genosida yang menyebabkan lebih dari 100.000 orang Indonesia meninggal dunia. Sementara dari pihak Belanda sendiri, sekitar 5.300 serdadu gugur atas upaya perlawanan bangsa Indonesia.
Perjanjian Renville dan Konferensi Meja Bundar
Awal 1948, Amerika Serikat (AS) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mulai mempromosikan pembicaraan damai yang berlangsung di USS Renville. Beberapa kesepakatan tercapai, tetapi Belanda terus melawan kemerdekaan Indonesia.
AS secara tegas mendukung kemerdekaan Indonesia dengan mengancam pembatalan dana pemulihan ekonomi “Marshall Plan” bagi Belanda jika mereka masih bersikeras. Hal itu turut didukung oleh perlawanan Indonesia yang berkelanjutan, memaksa Belanda untuk menyerah. Perjanjian Renville akhirnya ditandatangani pada 17 Januari 1948 dengan pengakuan sebagian wilayah Indonesia (hanya Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra).
Karena Perjanjian Renville dirasa lebih menguntungkan Belanda daripada Indonesia, kedua belah pihak kembali bertemu dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 23 Agustus–2 November 1949. Usai melalui masa negosiasi yang intens dan tekanan politik, barulah Belanda secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949.
Permintaan Maaf Belanda
Hasil penelitian besar Belanda berjudul “Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia, 1945–1950” terbit pada 16 Februari 2022. Melalui studi oleh tiga institut ilmu pengetahuan (KITLV, NIMH, dan NIOD) menyimpulkan bahwa pemerintah dan pemimpin militer Belanda telah sengaja melakukan pembiaran atas penggunaan kekerasan ekstrem yang dilancarkan secara sistematis dan meluas selama Perang Kemerdekaan Indonesia.
Perdana Menteri Belanda Mark Rutte merespons cepat publikasi tersebut dengan menyatakan permintaan maaf kepada Indonesia atas segala kekerasan ekstrem yang berlangsung selama perang kemerdekaan. “Saya, atas nama pemerintah Belanda dan kabinet-kabinet sebelumnya, meminta maaf yang dalam kepada bangsa Indonesia,” ujar Rutte pada Kamis, 17 Februari 2022 dari Brussel.
Sebelumnya, saat kunjungan ke Indonesia pada Maret 2020, Raja Belanda Willem Alexander juga sempat meminta maaf atas hal terkait.
Pengakuan Terbaru
Permintaan maaf Mark Rutte pada 2022 lalu disusul oleh pernyataannya bahwa Hari Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) adalah 17 Agustus 1945, bukan 27 Desember 1949. Hal itu ia ungkap di hadapan para parlemen di Den Haag.
“Belanda mengakui 17 Agustus 1945 (sebagai Hari Kemerdekaan RI), sepenuhnya dan tanpa syarat. Kami memandang proklamasi sebagai fakta sejarah,” kata Mark Rutte pada Rabu, 14 Juni 2023.
Ini adalah pertama kalinya bagi pihak Belanda mengakui 17 Agustus 1945 sebagai Hari Kemerdekaan RI. Walau demikian, belum jelas apa implikasi hukum dari pengakuan Rutte tersebut. Mark Rutte lantas mengaku akan mencari jalan keluar bersama Presiden Joko Widodo dan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi supaya pernyataannya dapat diterima kedua belah pihak.
NIA HEPPY | SYAHDI MUHARRAM
Pilihan Editor: Rumah Menteri India di Negara Bagian Manipur Dibakar Massa