Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meja di halaman tengah Hotel Rocella Bar di Dili, Timor Leste, penuh orang. Obrolan riuh terdengar hingga tengah malam, Sabtu pekan ketiga September lalu. "Kami membicarakan hukuman ke saudara kami di Fatubesi," kata pemilik hotel, Cesaltine dos Santos, esok paginya.
Gara-garanya, sebulan sebelumnya, kerabat Cesaltine yang tinggal di Fatubesi, Ermera, menggelar pesta perkawinan. Saking bersemangatnya, mereka sedikit melanggar tara bandu, yang hanya berlaku di Ermera, tidak di distrik lain. Hukuman pun mereka terima. "Tidak mendapat komuni di gereja," kata Cesaltine.
Sejak dua tahun lalu, di Ermera memang mulai berlaku tara bandu—aturan tradisional mengenai hubungan manusia dengan lingkungan—yang mengatur soal pesta. Tak boleh lagi ada pesta besar-besaran, apalagi berlama-lama. Aturan itu kemudian disetujui gereja dan pemerintah distrik.
Aturan itu menjadi ganjalan bagi kebiasaan masyarakat Timor Leste, yang suka berpesta nonstop selama sepekan untuk beberapa acara adat, misalnya membuka rumah adat, pernikahan, dan kore metan atau lepas kain hitam—saat kain hitam yang sudah setahun ditaruh di kantong atau di lengan, atau juga baju hitam, dilepas untuk menandai akhir perkabungan.
Pesta serupa itu tentu saja tak murah. Pengalaman Armando da Silva, petani kopi Desa Fatubolu, Hatolia, Ermera, memberi gambaran mengenai besarnya biaya yang mesti dikeluarkan. Terakhir kali menggelar kore metan tiga tahun lalu, keluarganya menghabiskan puluhan ribu dolar atau ratusan juta rupiah. Sebanyak 20 sapi dan 20 babi disembelih. "Pesta 24 jam selama seminggu," kata pria 60 tahun ini.
Menurut Alberto Martins Guterres, 54 tahun, pengurus Serikat Petani Ermera yang merupakan salah satu pengusung tara bandu, untuk kore metan, sering warga menyembelih hingga 50 ekor babi dan sapi. "Padahal harga sapi US$ 1.000 (sekitar Rp 12,2 juta)," kata warga Fatuqero, Railaku, Ermera, ini.
Buat pernikahan, ongkos bayar belis (mahar) bisa lebih besar. Bahkan, untuk membangun rumah adat, ada yang sampai menghabiskan US$ 212 ribu dengan menyembelih 87 ekor sapi serta 300-an babi dan kambing.
Kini, dengan adanya tara bandu, pesta pora tak lagi dibolehkan. Menurut Administrador Distrito (Kepala Distrik) Ermera, Vitor da Costa, untuk semua jenis pesta, hanya diperbolehkan menyembelih dua sapi dan dua babi. "Kalau tidak cukup, boleh tambah satu lagi," katanya. Adapun untuk belis dibatasi hanya sekitar US$ 2.500.
Waktu pesta pun dibabat. Tak lagi 24 jam enam hari, tapi hanya dari pukul 7 pagi hingga 6 sore. "Setelah itu lampu dan tenda dibongkar. Musik dihentikan," kata Alberto.
Untuk pesta pernikahan masih ada sedikit toleransi. "Boleh dilanjutkan, tapi tidak boleh ada dansa-dansi," ujar Vitor.
Pembabatan lainnya: tak boleh lagi ada pesta setahun atau sepuluh tahun setelah kematian. Hanya boleh ada acara pas hari kematian.
Kalau melanggar, sanksi pun menanti. "Ada dua hukuman, yakni dari gereja dan bupati," kata Vitor. Di antaranya, harus membuat seremoni tara bandu di sukunya. Kemudian ada denda di atas US$ 1.000. Hukuman dari gereja berupa pastor tidak datang di acara. Kalau pernikahan, "Bisa jadi surat nikah tidak dikeluarkan."
Menurut Vitor dan Alberto, ide tara bandu berasal dari masyarakat yang dibawa ke tetua dan pemimpin masyarakat setempat. Ide lalu didiskusikan dengan berbagai lembaga swadaya masyarakat, dan dibawa ke gereja dan bupati.
"Ini supaya masyarakat sejahtera," Vitor menjelaskan alasannya. Menurut dia, rakyat Ermera yang kebanyakan petani kopi hanya memiliki uang selama tiga bulan dalam setahun, yakni saat panen kopi. "Selama tiga bulan itu, mereka semua makan semaunya seperti orang kaya. Tapi, untuk sembilan bulan sisanya, mereka hidup dari bantuan orang lain."
Namun tak sedikit pula yang keberatan. Mereka menganggap tara bandu menghilangkan nilai budaya. Tapi Vitor membantah. "Ini bukan menghilangkan nilai budaya," katanya, "hanya untuk mengurangi keborosan."
Vitor menambahkan, tara bandu berlaku hingga 2020. "Pada 2020, kita akan mengadakan pesta besar-besaran. Kemudian kita dengar tokoh masyarakat, mau diteruskan atau tidak," katanya.
Purwani Diyah Prabandari (Ermera, Timor Leste)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo