Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Menantang Monarki Thailand dengan Plakat Simbolis

Warga menggelar unjuk rasa terbesar dalam beberapa tahun terakhir.

21 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Demonstran menempelkan sebuah plakat di lapangan di sebelah Istana Raja di Bangkok.

  • Plakat yang ditempelkan menyatakan bahwa negara adalah milik rakyat, bukan milik Raja Thailand.

  • Plakat itu ditanam di Sanam Luang - Lapangan Kerajaan - tak lama setelah matahari terbit.

BANGKOK— Dalam sebuah tantangan terhadap monarki Raja Thailand Maha Vajiralongkorn, pengunjuk rasa kemarin menempelkan sebuah plakat di lapangan di sebelah Istana Raja di Bangkok. Plakat yang ditempelkan menyatakan bahwa negara adalah milik rakyat, bukan milik Raja Thailand.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Plakat itu ditanam di Sanam Luang Lapangan Kerajaan tak lama setelah matahari terbit. "Saat fajar (matahari terbit) pada 20 September, di tempat ini rakyat telah menyatakan keinginan mereka bahwa negara ini milik rakyat dan bukan milik raja, karena mereka telah menipu kita," demikian tulisan di atas plakat itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Plakat yang ditanam kemarin merujuk pada plakat kuningan asli yang sebelumnya sempat tertanam selama beberapa dekade di Istana Kerajaan Bangkok. Plakat asli itu memperingati akhir dari absolutisme kerajaan pada 1932, setelah revolusi mengubah kerajaan menjadi monarki konstitusional.

Namun plakat asli itu menghilang secara misterius pada April 2017 dan diganti dengan plakat yang memuji monarki. Para pengunjuk rasa mengatakan bahwa plakat tersebut menjadi simbol sejarah politik Thailand yang lebih luas.

"Bangsa ini bukan hanya milik satu orang, melainkan milik kita semua. Karena itu, saya ingin meminta kepada roh-roh suci untuk tinggal bersama kami dan memberkati kemenangan rakyat," kata pemimpin mahasiswa, Parit "Penguin" Chirawak, kepada para demonstran.

Demonstrasi terbesar dalam beberapa tahun terakhir ini juga menyerukan reformasi monarki serta mendesak Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha, mantan pemimpin junta, mundur dari jabatannya.

Aktivis lainnya, Panusaya Sithijirawattanakul, mengatakan tuntutan mereka tidak mengusulkan penghapusan monarki. "Kami menawarkan proposal dengan niat baik agar institusi monarki tetap anggun di atas rakyat di bawah pemerintahan demokrasi," ujar Panusaya.

Meski demikian, desakan itu mengejutkan Thailand. Protes yang tumbuh di negara Asia Tenggara itu sejak Juli telah mematahkan tabu lama dengan mengkritik monarki.

Tuntutan pengunjuk rasa berusaha membatasi kekuasaan raja, menetapkan kontrol yang lebih ketat dalam keuangan istana, dan memungkinkan diskusi terbuka tentang monarki.

Keberanian mereka belum pernah terjadi sebelumnya, karena monarki dianggap sakral di Thailand. Undang-undang bahkan mengamanatkan hukuman penjara tiga hingga 15 tahun atas dakwaan pencemaran nama terhadap kerajaan bagi siapa pun yang berani mengkritik monarki.

Para pengunjuk rasa kemudian berusaha berbaris menuju istana untuk menyerahkan petisi reformasi kerajaan kepada Kepala Dewan Penasihat, penasihat raja, tapi diblokade oleh barikade polisi.

Panusaya kemudian diizinkan menyampaikan petisi yang ditujukan kepada raja. Petisi itu diterima oleh seorang pejabat polisi, yang berjanji akan meneruskannya ke Dewan.

Unjuk rasa yang dipimpin mahasiswa ini dimulai Sabtu lalu, dengan puluhan ribu orang berkemah di lapangan Sanam Luang. Penyelenggara memperkirakan sebanyak 50 ribu orang ambil bagian dalam protes akhir pecan itu, tapi wartawan Associated Press memperkirakan sekitar 20 ribu orang hadir pada Sabtu malam.

"Dengan menggelar protes di Sanam Luang tempat rekreasi dan protes bagi rakyat yang diambil alih monarki dalam beberapa tahun terakhir para pemrotes telah meraih kemenangan signifikan," tutur Tyrell Haberkorn, seorang pakar Thailand di Universitas Wisconsin-Madison.

"Pesan gemilang mereka adalah bahwa Sanam Luang, dan Thailand, adalah milik rakyat."

Hingga saat ini, pejabat istana belum memberikan komentar atas pemasangan plakat tersebut. Demonstran kemudian mengakhiri unjuk rasa dengan mendesak publik untuk ambil bagian dalam pemogokan umum pada 14 Oktober--ulang tahun pemberontakan mahasiswa 1973.

Juru bicara pemerintah, Anucha Burapachaisri, mengatakan polisi tidak akan menggunakan kekerasan terhadap pengunjuk rasa dan terserah kepada mereka untuk menentukan dan menuntut setiap pidato ilegal. Polisi tidak segera bisa dihubungi untuk dimintai komentar.

Gerakan yang berkembang, sebagian terinspirasi oleh protes pro-demokrasi Hong Kong, sebagian besar tanpa pemimpin. Kendati demikian, demonstrasi yang berlangsung akhir pekan ini diorganisasikan oleh mahasiswa Universitas Thammasat Bangkok, sebuah kelompok yang paling vokal soal peran keluarga kerajaan Thailand.

L AL JAZEERA | ABC | CBC | SITA PLANASARI AQUADINI


Potret Raja Thailand Maha Vajiralongkorn dalam aksi penggulingan pemerintahan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha dan reformasi monarki, di Bangkok, Thailand, 19 September 2020. REUTERS

Menggugat Jantung Monarki

Dalam protes terbesar dan paling berani sejak kudeta Thailand 2014, mahasiswa dan aktivis muda langsung menantang pemain paling kuat di negara itu: Raja Maha Vajiralongkorn dan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha.

Mereka menyerukan reformasi demokrasi sistemik: pembubaran parlemen, diakhirinya pemberangusan terhadap lawan politik, amendemen konstitusi, hingga pembatasan kekuasaan raja, hal paling tabu di Thailand.

"Para pengunjuk rasa masih muda. Mereka menggunakan taktik baru dan kreatif. Dan yang terpenting, mereka memiliki tuntutan yang jelas. Ini bisa menjadi titik balik baru dalam politik Thailand,” kata Pavin Chachavalpongpun, akademikus Thailand dan kritikus monarki yang hidup di pengasingan di Jepang.

Prayuth, yang merebut kekuasaan setelah kudeta kedua Thailand dalam beberapa dekade, membatalkan konstitusi negara itu pada 2014. Ia meminta militer menulis konstitusi baru yang meningkatkan kekuasaan raja dan memperkuat kaum royalis pro-militer.

Pada saat yang sama, Raja Vajiralongkorn bergerak untuk memperkuat posisi pribadinya. Juli 2017, majelis legislatif yang ditunjuk militer mengubah undang-undang properti kerajaan untuk memberi raja kendali penuh atas Biro Properti Mahkota, yang mengelola kekayaan sekitar US$ 30 miliar.

Kemudian, pada Oktober tahun lalu, raja juga menempatkan dua unit tentara langsung di bawah kendalinya, indikasi niat Vajiralongkorn untuk mendorong negara "lebih dekat ke monarki absolut".

Keterlibatan terbuka raja baru dalam politik, dikombinasikan dengan preferensinya untuk menghabiskan sebagian besar waktunya di luar Thailand bahkan selama pandemi, memicu kemarahan rakyat.

L AL JAZEERA | SITA PLANASARI AQUDINI

 

 

 

 

 

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus