Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tidak akan ada kudeta militer

Pertikaian antara cory aquino dengan juan ponce enrile berlanjut terus. ia mengulangi tuntutannya agar kabinet aquino dirombak, plebisit konstitusi ditiadakan dan pemberontak komunis ditindak tegas.(ln)

8 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTIKAIAN antara Cory Aquino dan Enrile ternyata mirip cerita bersambung: berlanjut terus. Pekan lalu, banyak orang merasa lega setelah Enrile bersumpah untuk tidak ngomong lagi -- setelah ia dikecam karena terus-terusan mengkritik Aquino. Namun, sumpah Enrile untuk berdiam diri hanya bertahan satu hari. Sumpah tersebut dilanggar menhan itu Kamis pekan silam, ketika ia memberikan "ceramah" politik di hadapan sejumlah juru rawat militer di Manila. Di situ ia menjagokan dirinya dan Jenderal Fidel Ramos, sebagai orang-orang yang menggulingkan Marcos. Menurut Enrile, massa Aquino tidak lebih dari batu loncatan belaka. "Yang menentukan kemenangan pemberontakan militer," katanya kalem. Ia mengulangi tuntutannya agar kabinet Aquino dirombak, plebisit konstitusi ditiadakan, dan pemberontak komunis ditindak tegas. Pekan silam ia menuduh kabinet yang dipimpin Cory Aquino dirongrong korupsi. Berbagai ulah Enrile tersebut membuat orang-orang Filipina bertanya-tanya, "Apa yang sebetulnya dicari Johnny (nama akrab Enrile)?" Beberapa kawan dekatnya mengatakan Enrile merasa terpencil dan tidak digubris oleh orang-orang Aquino. "Dalam pandangan Enrile para pembantu Cory itu tidak kompeten. Dan ia tidak sudi kalau mempertaruhkan nyawa hanya untuk sesuatu yang sia-sia," tutur seorang rekan yang tidak mau disebut namanya. Menurut Homobono Adaza, "Johnny Enrile hanya muak melihat semua pembantu yang tidak kompeten itu. Maka, ia pun bertindak." Adaza dulunya adalah pendukung setia Cory, tapi kini mulai menggerutu melihat gaya pemerintahannya. Pengamat lain menambahkan bahwa Enrile "tertekan", karena tidak beroleh peluang untuk berperan. Karena itu, ia menggugat secara aneh dengan mengatakan pemerintahan Cory tidak lain dari sebuah koalisi sipil-militer. Kalau unsur militer menarik diri, demikian Enrile, pemerintahan itu pun tamat riwayatnya. Yang menarik, di tengah kecamuk perselisihan Enrile vs Cory, Fidel Ramos, jenderal berbintang empat yang membawahkan 250.000 tentara Filipina, tampaknya tidak tergoda untuk memihak. "Saya tidak pernah menempatkan diri saya sebagai bagian dari konflik," ujarnya. "Saya menempatkan diri di tengah. Saya memainkan peran saya dengan amat jelas." Peran yang dimaksudnya adalah peran tentara profesional yang tidak punya ambisi politik apa pun. Toh Ramos sempat menyindir. Menyangkut kecaman Enrile tentang tidak adanya program terpadu melawan komunis, ia berkomentar, "Dia (Enrile) 'kan ikut merumuskan kebijaksanaan bersama itu." Tatkala menyumbangkan darahnya Sabtu pekan lalu itu, Ramos menentang keras penggunaan tentara untuk tujuan politik. Mengingat peran menentukan yang dimainkan Ramos dalam konflik Enrile vs Cory, masyarakat mulai menebak-nebak kekuatan di kalangan militer, begitu pula cengkeraman Enrile dan pengaruh Cory. Berbagai data ditampilkan tapi semua terbentur pada satu hal: pribadi Ramos terlalu sulit "dibaca". Dalam suatu wawancara televisi, ia menandaskan perlunya dipertahankannya persatuan triumvirat: Cory -- Enrile-Ramos. Dan, sebagai orang tengah, ia menyerukan berlakunya masa ketenangan untuk seluruh lapisan rakyat. Ini ditafsirkan sebagai isyarat Ramos yang menghendaki agar kisruh politik cepat-cepat diredakan. Tapi Imbauan itu agaknya tidak terlalu dihiraukan oleh kedua pihak yang sedang gencar-gencarnya bertarung. Presiden Corazon Aquino sampai kini memang tidak terpancing oleh kecaman Enrile, tapi 10.000 pendukungnya terjun ke jalan Kamis pekan silam. Di bawah terjangan hujan lebat, para demonstran, sebagian berpayung, menggelar poster besar bertuliskan, "Beri kesempatan bagi perdamaian" dan "Rambo (julukan Enrile) silakan ngacir ke Hawaii." Mereka mengecam keras Juan Ponce Enrile. Butz Aquino, satu-satunya tokoh yang berpidato dalam kesempatan itu, menuduh Johnny merusakkan kestabilan pemerintah, ia minta Enrile mundur saja. Pada hari yang sama pemerintah AS menyuarakan "dukungan bulat penuh" untuk Cory. Jubir Deplu Charles Redman menyatakan bahwa Cory adalah "harapan" terbaik bagi Filipina untuk mencapai perdamaian dan kemakmuran. Sementara itu, di Manila, diplomat Amerika "sesuai dengan pesan Washington" ikut menyatakan ketidaksenangan pemerintahan Reagan terhadap agitasi Enrile. Keterlibatan Paman Sam tidak cuma sampai di sini. Harian Washtngton Post memberitakan, departemen kehakiman AS kini sedang mengusut penyalahgunaan bantuan militcr AS oleh Enrile dan istrinya. Dengan "rezeki" itu, istri Enrile, Christina, konon membeli dua apartemen mewah di San Francisco yang kemudian dijual lagi dengan harga cukup mahal. Johnny Enrile tersengat. "Saya tidak pernah berurusan dengan bantuan AS yang mana pun. Laporan itu seperti pemerasan tersamar,.... Saya tidak akan berdiam diri." Ia lalu menyebut musuh-musuh yang bermaksud menodai nama baiknya. Diakuinya, Marcos pernah juga mengusut kekayaannya, tapi tidak terbukti adanya penyelewengan. Tentang pesan Ronald Reagan agar ia berhenti mengecam Cory, Enrile mengirim jawaban sopan dari Rotary Club di pinggiran Kota Manila. "Saya tidak mengira seorang presiden AS -- betapapun berkuasanya dia -- mau bersusah payah melibat diri dalam urusan dalam negeri Filipina." Sekalipun tetap lantang, Enrile tampaknya mulai berhati-hati menghadapi tekanan Reagan. Ia membantah telah mengkritik Cory, menolak bicara soal perbedaan antara mereka, dan tidak lagi menuntut agar menteri-menteri berhaluan kiri dipecat. Sekalipun begitu, konflik tampaknya belum akan segera berakhir mengingat watak Enrile yang gampang naik darah, misalnya tatkala mendengar isu "laknat" yang disiarkan pers Amerika. Ia juga menolak uluran perdamaian Kardinal Sin yang bersedia menjadi perantara untuk Enrile dan Cory. "Saya tidak bertengkar dengan siapa pun," katanya mengelak. Mungkin saat ini yang paling tepat adalah ucapan Jenderal Ramos yang memperingatkan bahwa "apa pun yang dipertengkarkan, seharusnya dilakukan di balik pintu tertutup." Ramos juga menjamin, "Tidak akan terjadi kudeta militer. Kami tidak punya tradisi semacam itu." Isma Sawitri Laporan Reuter

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus