Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
COX’S BAZAR - Tim delegasi Myanmar menggelar pertemuan empat jam dengan perwakilan masyarakat Rohingya di kamp pengungsi di Cox’s Bazar, Bangladesh. Pertemuan yang digelar sejak Jumat hingga Ahad lalu itu membahas repatriasi para pengungsi etnis muslim Rohingya di Bangladesh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tujuan kunjungan adalah berbicara dengan para pengungsi Rohingya dan meyakinkan mereka untuk kembali ke negara asal mereka," ujar Direktur Jenderal Kementerian Luar Negeri Bangladesh, Md Delwar Hossain, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para pejabat Bangladesh di Cox’s Bazar mengatakan delegasi tiba di Dhaka, ibu kota Bangladesh, pada Jumat. Mereka terbang ke Cox’s Bazar keesokan harinya dan meninggalkan kamp pengungsi terbesar Rohingya di Bangladesh itu, kemarin. Delegasi beranggotakan 15 orang dari Naypyidaw itu dipimpin oleh sekretaris tetap Kementerian Luar Negeri Myanmar, Myint Thu. Para pejabat mengatakan tim menggelar pertemuan selama empat jam, berbicara dengan pejabat pemerintah dan sekelompok orang Rohingya, yang terdiri atas tujuh perempuan dan 28 laki-laki.
Konflik komunal Rohingya mengakibatkan lebih dari 700 ribu warga etnis muslim minoritas itu kabur ke Bangladesh, tetangga Myanmar. Mereka kabur dari kampung halamannya di Rakhine utara, Myanmar barat, setelah mendapat tindakan keras militer yang brutal pada 2017. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan serangan itu termasuk pembunuhan massal dan upaya dengan "niat genosida".
Mereka berlindung di tiga kamp di Cox’s Bazar, Bangladesh, membuat jumlah pengungsi Rohingya di Bangladesh meningkat di atas 1,2 juta. Banyak yang masih mengkhawatirkan keselamatan mereka jika kembali ke Myanmar, tempat minoritas muslim itu menghadapi penindasan selama beberapa dekade.
Bangladesh dan Myanmar sejatinya menandatangani perjanjian repatriasi pada November 2017. Namun repatriasi urung terlaksana lantaran masalah kewarganegaraan. Khaled Hossain, seorang pengungsi Rohingya, mengatakan kepada Al Jazeera, "Jika mereka mengenali kami sebagai Rohingya dan memberi kami kartu kewarganegaraan, kami kembali ke sana dalam satu detik."
Myanmar menghadapi tekanan internasional untuk mengizinkan Rohingya kembali ke Rakhine dan memberi mereka hak kewarganegaraan. PBB mengeluhkan kemajuan dalam mengatasi krisis pengungsi Rohingya berjalan lambat.
Salah seorang pemimpin Rohingya bercerita, dalam pertemuan itu, pemimpin tim delegasi Myint memberi mereka ide tentang fasilitas yang akan didapatkan setelah mereka kembali ke Myanmar. Warga Rohingya menuntut kepastian hak-hak warga negara dan kebebasan bergerak setelah repatriasi. "Tapi tak ada jaminan soal itu," ujar pemimpin Rohingya.
Seorang pejabat yang tidak disebutkan namanya, yang berurusan dengan proses repatriasi Rohingya, juga mengatakan para pejabat Myanmar menjelaskan proses verifikasi nasional mereka sehubungan dengan repatriasi populasi Rohingya.
Setelah mendengarkan presentasi, para pemimpin Rohingya mengajukan dua pertanyaan. Pertama, kapan dan bagaimana kewarganegaraan mereka akan diberikan. Kedua, apakah Myanmar akan mengakui etnis Rohingya di antara etnis lain di Myanmar. "Tapi para pejabat Myanmar tidak menjawab pertanyaan mereka."
Belum ada komentar atau tanggapan dari Myanmar ihwal kepastian status warga negara bagi warga Rohingya. Menteri Luar Negeri Bangladesh, AK Abdul Momen, berharap repatriasi warga Rohingya dimulai pada September mendatang.
Abul Kalam, Komisioner Pengungsi dan Rehabilitasi Pengungsi yang berbasis di Cox’s Bazar, mengatakan masalah antara pemerintah Myanmar dan Rohingya harus diselesaikan di antara mereka sendiri. Ihwal hasilnya, kata Kalam, "Tidak buruk, tapi itu bisa lebih baik."
AL JAZEERA | DHAKA TRIBUNE | IRRAWADDY | THE DAILY STAR | SUKMA LOPPIES
Menuntut Eksistensi dan Status
DELEGASI Myanmar memulai dialog dengan para pemimpin Rohingya di kamp pengungsi Bangladesh untuk membahas repatriasi. Dalam dialog itu, delegasi Myanmar memproyeksikan bahwa Rakhine aman. Ihwal permintaan kewarganegaraan Rohingya akan ditangani, yang dimulai dengan pengisian Kartu Verifikasi Kependudukan.
Beberapa warga etnis minoritas muslim ini mempertanyakan status warga negara setelah kembali ke Myanmar. "Kami sebelumnya memiliki kewarganegaraan Myanmar tapi dicabut. Mengapa kami harus selangkah demi selangkah lagi untuk memiliki kembali kewarganegaraan?" ujar Arifur Rahman, tokoh masyarakat Rohingya yang tinggal di kamp pengungsi di Cox’s Bazar, Bangladesh, kemarin. Rahman pun tak percaya pada kata-kata pemerintah Myanmar. "Itu tidak mungkin diselesaikan tanpa keterlibatan aktif komunitas internasional dalam jangka panjang."
Deen Mohammad, pemimpin warga Rohingya lainnya, mengatakan ada lebih dari 140 desa di Rakhine yang dulu ditinggali warga Rohingya. Namun tim delegasi mengatakan pemerintah hanya dapat merehabilitasi mereka di 42 desa. "Ini tidak bisa diterima. Pemerintah Myanmar masih menyangkal kewarganegaraan kami," ujar dia.
Konflik komunal Rohingya telah berlangsung selama beberapa tahun. Konflik terbesar terjadi sejak 2017 ketika militer Myanmar melakukan serangan untuk menanggapi aksi teror yang dilakukan milisi Rakhine. Warga Rohingya yang bermukim di Rakhine pun terpaksa mengungsi ke Bangladesh. Otoritas bahkan pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi, tidak pernah menyebut warga Rakhine sebagai etnis Rohingya, melainkan "bengali"-migran ilegal dari Bangladesh.
Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad, meski tidak ingin mengganggu urusan dalam negeri Myanmar, mengatakan Rohingya harus diperlakukan sebagai warga negara atau diberi kesempatan untuk membentuk negara sendiri. "Myanmar pada suatu waktu terdiri atas banyak negara yang berbeda. Namun Inggris memutuskan memerintah Myanmar sebagai satu negara, dan karena itu, banyak suku yang termasuk negara Burma," ujar Mahathir dalam wawancara dengan Anadolu, kemarin.
DHAKA TRIBUNE | THE STAR | AL JAZEERA | SUKMA LOPPIES (DIOLAH)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo