Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Upaya Lam Mengakhiri Aksi Demo Hong Kong

Carrie Lam memastikan RUU Ekstradisi sudah "mati" dan tak berencana menghidupkannya kembali.

21 Agustus 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HONG KONG - Pemimpin Hong Kong, Carrie Lam, berharap aksi damai anti-pemerintah pada akhir pekan lalu adalah awal untuk memulihkan situasi di Hong Kong. Otoritas setempat mengajak para pengunjuk rasa berdialog dan mendengarkan keluhan mereka untuk mencari solusi terkait dengan penanganan selama aksi demo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Saya sangat berharap ini awal dari masyarakat untuk kembali ke kedamaian dan menjauhi kekerasan," ujar Lam dalam keterangan persnya, kemarin. "Tujuan kami adalah bekerja keras menyelesaikan perbedaan dan konflik, untuk saling memahami melalui dialog dan mencari solusi atas kebuntuan sosial ini bersama-sama."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aksi demo di Hong Kong memasuki pekan ke-11. Ratusan ribu pemrotes berunjuk rasa secara damai dalam hujan lebat pada Ahad lalu. Aksi ini bermula dari penolakan legalisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi. Aturan tersebut memungkinkan tersangka kriminal di bekas koloni Inggris ini diekstradisi ke Cina untuk diadili. Isu RUU Ekstradisi dalam aksi tersebut meluas soal kebebasan dan demokratisasi di bawah formula "satu negara, dua sistem" yang diberlakukan setelah kembalinya Hong Kong ke Cina pada 1997, termasuk pengadilan independen.

Selama aksi tersebut, puluhan orang ditangkap dan tiga orang dilaporkan terluka. Para pengunjuk rasa mengkritik cara polisi yang semakin agresif membubarkan demonstrasi. Lam mengatakan pengawas kepolisian telah membentuk satuan tugas untuk menyelidiki pengaduan tersebut.

Channel News Asia melaporkan, dua polisi ditangkap setelah video yang viral menunjukkan bahwa mereka menyerang seorang tersangka yang ditahan di Rumah Sakit Distrik Utara. "Jelas tindakan yang dilakukan polisi melanggar hukum. Kami tidak akan menoleransi serangan ilegal terhadap siapa pun oleh polisi," ujar juru bicara kepolisian Hong Kong, John Tse Chun-chung. Dia memastikan membawa kasus ini dan semua yang terlibat ke pengadilan.

Para pendemo sejatinya menuntut lima hal. Selain pencabutan RUU Ekstradisi, mereka meminta penghentian deskripsi aksi protes sebagai kerusuhan, mengabaikan tuduhan terhadap aktivis yang ditangkap, penyelidikan independen, dan dimulainya kembali reformasi politik.

Ihwal RUU Ekstradisi, Lam menegaskan bahwa RUU tersebut sudah mati dan tidak ada rencana untuk menghidupkan kembali aturan tersebut. "Saya dapat memberi komitmen yang jelas di tingkat politik bahwa RUU itu sudah mati," ucap Lam.

Menanggapi ajakan Lam, anggota Front Hak Asasi Manusia Sipil menolak. Mereka menyebut rencana itu sebagai jebakan yang bertujuan membuang-buang waktu. Wakil ketua kelompok itu, Wong Yik-mo, mengatakan Lam tidak menanggapi sama sekali tuntutan gerakan protes. "Kami tak mempercayai Lam. Kami tidak percaya kebohongannya," katanya.

Menurut dia, struktur desentralisasi gerakan akan menyulitkan untuk melakukan dialog. "Dia sepenuhnya sadar bahwa gerakan ini tanpa pemimpin. Lalu, apa yang dia sarankan?" ujar dia.

Jimmy Sham, anggota lainnya, menyarankan, jika Lam ingin berdialog, sebaiknya dia harus datang dalam aksi protes.

Front Hak Asasi Manusia Sipil menggelar aksi demonstrasi menentang pemerintah yang telah menarik banyak orang pada beberapa bulan terakhir dan merencanakannya pada akhir bulan. Namun banyak kelompok lain telah mengorganisasi aksi mereka sendiri. REUTERS | ASSOCIATED PRESS | CHANNEL NEWS ASIA | SUKMA LOPPIES


Twitter Hapus Akun Disinformasi

TWITTER dan Facebook menghapus ribuan akun yang diduga digunakan otoritas Cina untuk menyebarkan disinformasi gerakan protes di Hong Kong. Akun tersebut ditengarai berusaha memanipulasi perspektif gerakan prodemokrasi dan melemahkan aksi unjuk rasa pro-demokrasi di Hong Kong.

Twitter menyatakan telah memblokir hampir 1.000 akun yang diyakini berada di belakang kampanye pengaruh pemerintah Cina, yang menargetkan gerakan protes di Hong Kong. Perusahaan media sosial ini juga memblokir sekitar 200 ribu lebih akun secara otomatis yang memperkuat dugaan bahwa mereka terlibat dengan akun inti di jaringan. Akun tersebut diduga mencoba menabur perselisihan politik di Hong Kong dengan merusak posisi politik gerakan aksi unjuk rasa.

Facebook juga mengambil tindakan serupa, tapi dalam skala yang lebih kecil. Jejaring sosial itu menghapus tujuh halaman, tiga kelompok, dan lima akun, termasuk beberapa akun yang menggambarkan aksi pemrotes sebagai kecoak dan teroris, setelah diberi informasi oleh Twitter dan melakukan penyelidikan sendiri.

Adapun juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Geng Shuang, menolak berkomentar terkait dengan tindakan Twitter dan Facebook. Namun dia membela hak orang-orang Cina agar suara mereka didengar. ASSOCIATED PRESS | REUTERS | CHANNEL NEWS ASIA | SUKMA LOPPIES

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus