Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Hiu yang terdaftar dalam Apendiks II CITES masih diburu nelayan di Nusa Tenggara Barat.
Siripnya dijual ke Cina, Hong Kong, hingga Jepang.
Seperempat dari semua jenis hiu dunia hidup di perairan Indonesia.
HARI baru terang tanah ketika dua kapal pemburu hiu merapat di dermaga Pelabuhan Tanjung Luar, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, pada akhir Agustus 2019. Dari lambung kapal, para awak mengeluarkan satu demi satu tangkapannya untuk dilelang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pagi itu, hiu lanjaman (Carcharhinus falciformis) merupakan tangkapan terbanyak. Ada juga hiu martil (Sphyrna lewini), hiu karet (Prionace glauca), dan hiu sonteng (Carcharhinus albimarginatus) dalam berbagai ukuran. Yang terbesar panjangnya sekitar 2 meter, sementara yang terkecil kurang dari 50 sentimeter. Di antara puluhan hiu itu, terselip dua ekor pari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah dilelang, hiu-hiu tersebut beralih ke tangan para pengepul. Salah satunya Haji Suparman, yang sedari subuh menunggu kapal pemburu hiu pulang melaut. Di tempat pelelangan ikan itu juga para jagal langsung memotong-motong hiu. Dalam hitungan detik, mereka melucuti semua sirip di tubuh ikan pemangsa itu. Hiu yang telah tanpa sirip kemudian digulingkan untuk dicencang lagi.
Sirip-sirip dipisahkan, dicuci, lalu dimasukkan ke kotak. Para buruh membawanya ke rumah Suparman, yang terletak persis di belakang pasar Tanjung Luar, hanya beberapa meter dari tempat pelelangan ikan. Di rumah sekaligus gudang Suparman, sirip-sirip tersebut akan dikeringkan selama beberapa hari sebelum dijual ke eksportir sirip di Surabaya.
Suparman menyatakan tidak pernah menerima jenis ikan yang dilarang ditangkap dari nelayan, seperti hiu paus tutul (Rhincodon typus), pari manta (Manta birostris), dan pari gergaji (Pristis microdon). “Nelayan di Lombok Timur sudah paham mana hiu atau pari yang boleh ditangkap dan mana yang dilarang,” katanya pada akhir Agustus 2019.
Sirip hiu./SIRTU
Faktanya, beberapa jenis hiu yang ditangkap tercatat dalam Apendiks II CITES—daftar spesies yang tidak terancam punah tapi bisa punah jika dieksploitasi terus-menerus berdasarkan Konvensi Perdagangan Internasional Tumbuhan dan Satwa Liar yang Terancam Punah. Pemerintah melarang ekspor sirip beberapa hiu dalam daftar tersebut, tapi masih membolehkan perdagangannya di dalam negeri. “Padahal kami hanya menjual sirip ke eksportir,” ucap Suparman.
Menurut Suparman, sekitar 70 persen hiu yang ditangkap nelayan di Tanjung Luar adalah hiu lanjaman alias hiu kejen, yang terdaftar dalam Apendiks II CITES. Hiu ini memang boleh ditangkap di daerah tertentu, tapi harus sesuai dengan kuota. Demikian juga ekspornya, tak boleh melebihi kuota.
Dulu, Suparman mengungkapkan, ia bisa mengangkut 2-3 kuintal sirip sekali kirim. Kini angkutannya hanya sekitar 50 kilogram dengan harga per kilogram kurang-lebih Rp 1 juta. Pada awal 2000-an, dia melanjutkan, harga 1 kilogram sirip bisa di atas Rp 1,5 juta.
Meskipun bisnis sirip hiu lesu, masih banyak nelayan yang mengkhususkan diri berburu hiu. Salah satunya Muhammadun, 50 tahun, asal Pulau Maringkik, Lombok Timur. Ia bisa berburu hiu sampai perairan Sumba, Nusa Tenggara Timur. Selama dua pekan di atas kapal, Muhammadun dapat menangkap 20-30 hiu, yang kemudian ia jual di Tanjung Luar. “Hiu martil dan hiu kejen paling banyak kami tangkap,” tuturnya.
Amin Abdullah, Koordinator Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan Lombok Timur, kesulitan meminta nelayan berhenti menangkap hiu. Ikan tersebut merupakan tangkapan utama mereka sejak dulu. “Hanya siripnya yang dijual ke luar daerah untuk kemudian diekspor,” ujarnya.
Ia menyebutkan ada 84 kapal nelayan pemburu hiu di Tanjung Luar, sebagian besar berasal dari Pulau Maringkik. Setiap hari, empat-lima kapal penangkap hiu berlabuh di tempat pelelangan ikan Tanjung Luar di Lombok daratan dan menurunkan 10-20 hiu.
•••
DARI Tanjung Luar, sirip-sirip hiu dibawa ke Surabaya. Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar Wilayah Kerja Jawa Timur mencatat sedikitnya ada 20 eksportir sirip hiu di Surabaya. Kota ini menjadi pintu utama keluarnya sirip hiu menuju Hong Kong, Cina, Singapura, Jepang, dan Thailand.
Menurut Koordinator BPSPL Denpasar Wilayah Kerja Jawa Timur Kiki Riski Arisandy, perusahaan bisa mengekspor sirip hiu hingga di atas 1 ton sekali kirim. Pengiriman sirip masih ramai karena permintaan dari luar negeri cukup tinggi. Hingga Oktober 2019, sekitar 230 ton sirip hiu diekspor dari Surabaya. Kiki mengatakan sirip-sirip tersebut berasal dari hiu non-Apendiks. “Kalau sirip jenis Apendiks II tidak kami beri rekomendasi,” katanya.
Haji Suparman menyebutkan ia memasok sirip hiu ke CV Mandiri, yang terletak di Jalan Kali Rungkut, Surabaya. Tidak ada plang nama perusahaan di rumah toko tempat kantor itu. Tak tampak juga aktivitas penghuninya. Hanya ada bau amis ikan dari tumpukan karung berisi sirip hiu di lantai satu bangunan tersebut, yang menusuk-nusuk hidung.
CV Mandiri disebut bisa mengirimkan sirip hiu Apendiks II CITES ke luar negeri. Tempo menemui Andrew Paul Oktavianus, pemilik perusahaan, dengan memperkenalkan diri sebagai calon pemasok sirip. Andrew mengatakan perusahaannya menerima semua jenis sirip hiu, termasuk hiu martil dan hiu kejen. Andrew mengaku bisa mengatur agar sirip hiu tersebut bisa dijual ke luar negeri.
Ia hanya meminta pemasok dari daerah mengirimkan foto jenis sirip untuk menentukan harganya. Urusan ekspor dia yang akan menangani. Menurut Andrew, selama ini perusahaannya tidak pernah menjual sirip hiu Apendiks II ke pasar lokal. Ia mengaku membeli semua jenis sirip hiu untuk dijual ke negeri seberang.
CV Mandiri pemain lama bisnis ekspor sirip hiu. Ayah Andrew, Paul Djunaidi, adalah Ketua Persatuan Pengusaha Sirip Hiu Indonesia. Dalam catatan BPSPL Denpasar, CV Mandiri merupakan perusahaan yang paling sering mengajukan permohonan rekomendasi ekspor sirip hiu dan pari.
Pada Desember, reporter Tempo yang lain mendatangi Andrew dengan memperkenalkan diri sebagai wartawan untuk meminta konfirmasi atas pengakuan dia sebelumnya. Andrew menolak berkomentar. “Saya enggak mau jawab,” ujarnya.
Sebelum diekspor, sirip hiu diverifikasi petugas BPSPL untuk mendapat rekomendasi. Tapi, bila jumlahnya banyak, verifikator BPSPL kerepotan. Sulit bagi petugas yang jumlahnya hanya segelintir untuk mengecek satu per satu sirip dalam karung yang ditumpuk di gudang. Celah inilah yang kerap dimanfaatkan eksportir. Mereka menyisipkan sirip yang dilarang dalam tumpukan di bagian tengah atau paling bawah.
Kulit hiu di pusat pengolahan ikan hiu Desa Rumbuk, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Agustus 2019./SIRTU
Menurut Beryllinda, verifikator BPSPL Denpasar Wilayah Kerja Jawa Timur, jika jumlah sirip hiu yang diperiksa banyak, mereka bekerja hingga malam hari. Dua verifikator harus membongkar satu per satu karung berisi sirip. Kadang, Beryllinda mengungkapkan, eksportir menyisipkan jenis sirip terlarang dalam karung sirip yang telah mendapat rekomendasi ekspor. “Mendeteksi sirip ilegal cukup susah,” tuturnya.
Untuk bisa mengekspor, eksportir di Surabaya harus melewati sejumlah pintu. Eksportir mesti mendapat rekomendasi layak ekspor dari BPSPL dan sertifikat dari Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Surabaya hingga lulus pemeriksaan oleh petugas Bea dan Cukai.
Pengusaha juga membutuhkan izin ekspor dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Izin inilah yang menjadi dasar mereka melakukan ekspor. Menurut Beryllinda, penerbitan izin ekspor oleh instansi lain menyulitkan BPSPL, yang berada di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan, dalam mengontrol perdagangan sirip hiu yang dilindungi. “Ini menjadi kendala. KKP belum menjadi management authority,” ujarnya.
Celah lain: tak semua sirip hiu Apendiks II dilarang diekspor sama sekali. Hiu koboi (Carcharhinus longimanus) dan hiu martil memang tak boleh diperdagangkan ke luar negeri. Tapi hiu lanjaman masih diizinkan diekspor meski terbatas. Untuk 2019, kuota tangkap hiu lanjaman mencapai 80 ribu ekor dengan kuota ekspor 72 ribu. Jatah itu hanya untuk 19 provinsi. Nusa Tenggara Barat tak tercantum dalam daftar. Ini yang tak diketahui Haji Suparman dan para nelayan di Lombok Timur. Padahal sebagian besar hiu yang ditangkap nelayan di sana hiu lanjaman.
Menurut data Wildlife Conservation Society, sepanjang 2019 tidak kurang dari 10.364 ekor hiu didaratkan di tempat pelelangan ikan Tanjung Luar. Hampir 60 persen di antaranya—70 persen menurut Haji Suparman—adalah hiu lanjaman. Hiu martil merupakan jenis hiu paling banyak keempat yang ditangkap nelayan di sekitar Tanjung Luar.
Pasar dalam negeri tak banyak menyerap sirip hiu. Novendra Aditya Pragita, Direktur PT Mega Mandiri, eksportir sirip hiu yang juga berbasis di Surabaya, mengatakan pasar utama perusahaannya adalah Hong Kong dan Cina. Ia masih menerima kiriman sirip hiu Apendiks II untuk kebutuhan pasar lokal. “Tapi pasarnya di sini sedikit, jadi susah juga,” ucapnya. Ia mengaku tak menerima sirip hiu dari Lombok.
Artinya, dengan kuota ekspor sirip hiu lanjaman yang terbatas dan pasar dalam negeri yang kecil, sebagian besar sirip hiu Apendiks II, terutama dari Nusa Tenggara Barat, harus “dijual” ke luar negeri agar tangkapan terserap. Praktik ilegal itu makin lama makin membahayakan populasi hiu. Padahal, dari 400 spesies hiu yang ditemukan di dunia, lebih dari seperempatnya atau 117 spesies dari 25 famili hidup di perairan Indonesia.
SIRTU PILLAILI, NURHADI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo