Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dokumen itu setebal 63 halaman. Tertanggal 21 Mei 2005, isi dokumen itu merupakan intisari hasil pemeriksaan Satuan Pengawas Internal (SPI) Perusahaan Listrik Negara terhadap sebuah proyek jumbo di PLN Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang. Di samping membeberkan hasil audit, berkas itu juga dilengkapi sejumlah lampiran. Ada tabel perbandingan harga, tabel gaji, hingga surat perjanjian kontrak. Dokumen itu ditandatangani oleh Fadjar Istijono, Kepala Satuan Pengawas Internal PLN.
Proyek yang dibedah dalam pemeriksaan itu adalah Customer Information System (CIS) Rencana Induk Sistem Informasi (RISI) Pelanggan. Tujuan proyek ini mempermudah sistem informasi pelanggan dan sistem informasi keuangan pelanggan di daerah Jakarta dan Tangerang. Pembayaran rekening melalui anjungan tunai mandiri (ATM) di beberapa bank, misalnya, adalah hasil karya proyek ini. Selain ringkas dan hemat, cara ini dianggap ampuh memotong kebocoran tagihan listrik.
Yang menjadi tuan proyek, PLN Distribusi Jakarta dan Tangerang (selanjutnya kita sebut Disjaya), tapi diborongkan (outsourced) kepada PT Netway Utama, perusahaan konsultan yang bergerak di bidang teknologi informasi. Dimulai sejak April 2004 dan berakhir pada April 2006, ongkos proyek adalah Rp 137 miliar lebih. Netway Utama mendapat rezeki ini atas penunjukan langsung—tanpa tender.
Nah, dokumen hasil pemeriksaan Satuan Pengawas Internal (selanjutnya disebut Pengawas Internal) menelanjangi sejumlah kejanggalan dalam proyek ini. Bekerja selama sebulan penuh, Pengawas Internal menemukan dua titik lemah proyek ini: kelemahan prosedur dan kelemahan perhitungan biaya. Akibatnya, PLN menderita kerugian pada tahun pembiayaan yang telah lewat dan dihadang potensi kerugian pada tahun pembiayaan yang akan datang. Kekeliruan itu terlihat jelas dalam perhitungan biaya langsung personel, penetapan gaji dasar konsultan, dan aneka musabab lainnya (lihat Main Balon di Sektor Ongkos).
Gaji karyawan pada tahun kedua, misalnya, naik 15 persen dari tahun pertama. Total selisih gaji mencapai Rp 6,9 miliar. Menurut hasil pemeriksaan Pengawas Internal, ”Perbedaan itu tak ada dasarnya dan tak lazim dalam kontrak konsultan.” Temuan lain adalah adanya perbedaan tanda tangan pada slip take home pay (THP) yang telah diaudit dengan tanda tangan di lembar absen harian untuk 15 karyawan Netway. Data tersebut telah dikonfirmasi ke manajer proyek serta pejabat terkait, namun belum dapat dipastikan mana yang asli, mana yang bodong.
Tim ini juga menemukan adanya perangkapan jabatan dalam proyek ini. Wakil ketua tim penunjukan langsung pengadaan jasa outsourcing juga bertindak sebagai Manajer Proyek CIS-RISI. Rangkap posisi itu diduga dapat melemahkan sistem manajemen pengendalian.
Kepada Tempo Fadjar Istijono membenarkan isi dokumen itu. Namun ia menambahkan, ada sejumlah kesimpulan yang harus dikoreksi karena ada bukti yang ditemukan setelah laporan itu disusun. Koreksi terutama menyangkut kelemahan prosedur. ”SPI melakukan analisis berdasarkan data yang ada pada saat itu. Belakangan, ada sebagian data yang baru ditemukan,” katanya.
Menurut Eddie Widiono, Direktur Utama PLN, ”Sebagian hasil pemeriksaan SPI bisa ditindaklanjuti.” Sedang separuhnya lagi, kata Eddie, muncul karena kurang lengkapnya informasi atau karena SPI tidak mengikuti proses ini secara keseluruhan. Soal adanya perbedaan tanda tangan karyawan Netway, Gani Abdul Gani, Direktur Utama Netway, mengakuinya, ”Memang ada tanda tangan yang berbeda. Mereka sudah diperiksa.” Dan menurut Gani, setelah dites ulang tanda tangan para karyawan itu sering tak sama. Jadi, katanya, ”Soal tanda tangan sudah tak ada masalah lagi.”
Tapi sumber Tempo di PLN amat meyakini adanya sejumlah kejanggalan dalam proyek ini. Ihwal itu terlihat dalam aneka bentuk, dari prosedur penunjukan langsung hingga harga yang melangit. Dia memastikan, tumpukan data atas kasus ini telah disetor ke Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). ”Kita tinggal menunggu langkah kedua lembaga itu,” ujarnya.
Kepada tim investigasi ini, Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas membenarkan pihaknya telah menerima laporan atas kasus itu, sekitar sebulan lalu. ”Sedang kami telaah,” kata Erry.
Kasus ini harus dirunut dari 9 September 1991. Ketika itu PLN mengikat perjanjian kerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB). Fokus kerja sama di bidang penelitian serta pengembangan rekayasa bidang teknik dan listrik. Perjanjian itu diteken oleh Ermansyah Jamin, Direktur Utama PLN, dan Wiranto Arismunandar, Rektor ITB, ketika itu. Perjanjian itu adalah payung bagi kerja sama antara dua lembaga (lihat infografik Berliku Menuju Netway).
Pada Agustus 1994, Politeknik ITB memaraf perjanjian dengan PLN Distribusi Jakarta dan Tangerang, Disjaya. Perjanjian ini lebih spesifik, yaitu kerja sama dalam pembuatan Rencana Induk Sistem Informasi (RISI) Pelanggan. Sebelumnya, Politeknik ITB menandatangani perjanjian kerja sama dengan PT Netway Utama.
Dalam perjanjian Politeknik ITB-Disjaya disebutkan, pekerjaan yang diterima oleh pihak kedua, dalam hal ini Politeknik ITB, tidak dibenarkan diborongkan ke pihak lain. Repotnya, sebelum perjanjian itu disahkan, Politeknik sudah terikat perjanjian kerja sama dengan Netway Utama. Jadilah Netway ikut menggarap proyek ini. Di kemudian hari, Gani Abdul Gani, Direktur Utama Netway, juga bertindak mewakili Politeknik ITB—dia memang dosen Politeknik.
Proyek yang digarap dalam tujuh tahap ini cukup lelet dalam perjalanannya. Yang bisa diselesaikan cuma tahap pertama hingga tahap ketiga. Sedangkan empat tahap lainnya terlunta-lunta. Pada Juli 1999 proyek ini dihentikan. Menurut Eddie Widiono, proyek itu terhenti karena adanya restukturisasi dalam tubuh PLN. Juga karena Bank Dunia—penyokong dana proyek ini—menghentikan bantuannya.
Tapi separuh proyek toh sudah jalan. Akhirnya, pada 10 September 1999 dibuat berita acara yang menyebutkan bahwa Politeknik ITB berhak mendapatkan 15 persen pembayaran dari nilai proyek. Setelah semuanya beres, proyek dikembalikan ke PLN Disjaya pada 9 Mei 2001. Kisah keterlibatan Politeknik ITB dalam Proyek CIS berakhir di sini.
Yang agak janggal, jauh sebelum proyek ini dikembalikan ke Disjaya, Netway Utama ternyata sudah mengirim proposal lain ke Disjaya per 12 September 2000. Dan proposal ini terus diproses, ”Walau proyeknya masih di tangan Politeknik ITB,” kata sumber Tempo di PLN. Setelah mengirim proposal itu, petinggi Netway langsung mempresentasikannya di kantor PLN Disjaya pada 21 September 2000. Tapi Abdul Gani membantah bahwa pihaknya menelikung Politeknik ITB. ”Netway ditunjuk sebagai pelaksana setelah kontrak dengan Politeknik sudah selesai,” kata Gani (lihat wawancara dengan Gani Abdul Gani).
Proposal Netway itu kemudian dievaluasi Tim Evaluasi Khusus Disjaya. Hasil evaluasi dilaporkan ke petinggi PLN Pusat. Tampaknya proposal Netway disambut hangat. Pada Januari 2001 Eddie Widiono, yang saat itu menduduki posisi Direktur Pemasaran dan Distribusi PLN Pusat, mengirim surat ke PLN Disjaya. Ada kabar gembira. Secara teknis proposal itu, kata Widiono, merupakan peluang bisnis yang menarik, karena dua pihak sama-sama bahagia. Eddie Widiono juga memerintahkan PLN Disjaya segera melakukan negosiasi lebih lanjut.
Tapi negosiasi itu seret karena terjadi mutasi di tubuh PLN, yang menyebabkan perubahan keanggotaan tim evaluasi atas proyek ini. Tim baru itu menilai ramuan proposal Netway memang cespleng. Mengacu ke hasil evaluasi tersebut, Disjaya meminta PLN Pusat segera memberikan izin untuk proyek ini. Tapi apakah tak perlu proses tender? Tampaknya tak perlu, ”Karena proyek ini memenuhi syarat outsourcing lewat penunjukan langsung,” kata Eddie Widiono.
Apalagi dalam surat ke PLN Pusat, Disjaya juga menyertakan legal memorandum yang diterbitkan oleh Kantor Hukum Reksa Paramitra. Legal memorandum itu memberikan pernyataan hukum bahwa penunjukan langsung kepada Netway memenuhi persyaratan alias sah secara hukum.
Tapi Anggota Serikat Pekerja (SP) PLN mengendus adanya keganjilan dalam kerja sama ini. Sehelai surat atas nama Serikat Pekerja PLN tiba-tiba meluncur ke kantor Wakil Presiden pada Maret 2001. Surat itu memprotes penunjukan Netway sebagai pelaksana proyek karena tanpa tender dan tidak transparan. ”Kredibilitas Netway juga diragukan,” antara lain bunyi surat itu. Laporan itu juga meluncur ke Kejaksaan Agung, kepolisian, DPR, Badan Pemeriksa Keuangan, serta sejumlah lembaga antikorupsi.
Surat itu langsung ditanggapi Wakil Presiden. Sekretaris Wakil Presiden Deputi Bidang Ekonomi mengirim surat ke Eddie Widiono, yang ketika itu sudah menjabat Direktur PLN. Dalam surat itu, Susiati mempertanyakan penunjukan Netway yang diduga tidak transparan. Dalam jawabannya, Eddie Widiono menerangkan Netway Utama merupakan mitra PLN Disjaya. Dia juga menegaskan, surat yang diterima Susyati itu tidak mewakili Serikat Pekerja PLN. ”Ah, itu kan cuman surat kaleng.” Bank Dunia, katanya, sudah menyetujui proyek ini. Eddie Widiono benar karena dalam aide memoire yang dikeluarkan pada April 1999 Bank Dunia menyatakan siap mendanai proyek ini.
Tapi sumber Tempo di perusahaan pelat merah itu membantah soal aide memoire. Aide memoire, kata sumber ini, merujuk ke Politeknik ITB dan bukan Netway Utama. ”Persetujuan itu keluar karena yang diketahui Bank Dunia, konsultan proyek ini adalah ITB, bukan Netway,” kata sumber ini (lihat infografik, Silang Selisih Sejumlah Fakta) yang menggunakan logika urut-urutan waktu. Aide memoire keluar pada April 1999, sedangkan kerja sama Netway dengan PLN Disjaya Jakarta baru ditandatangani pada 2001.
Keraguan atas penunjukan langsung itu juga datang dari Laksamana Sukardi, Menteri Negara Urusan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) saat itu. Pada November 2001 Laksamana meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan audit investigasi atas penunjukan Netway Utama. Dalam surat kepada Menteri BUMN, Eddie Widiono menerangkan hasil rapat direksi dan komisaris PLN yang memutuskan Netway Utama akan dinegosiasi, baik dari sisi harga, cara pengadaan barang, maupun pembayarannya. Jadi perjanjian sesungguhnya belum final.
Bersamaan dengan itu terjadi pergantian komisaris di jajaran PLN. Komisaris Utama dipegang oleh Andung Nitimihardja, yang saat ini menjadi Menteri Perindustrian. Sejak saat itu proses kerja sama ini meluncur cepat. November 2003, Andung mengirim surat ke Direktur Utama PLN. Intinya, Andung menyatakan komisaris mendukung proyek ini.
Lampu hijau dari komisaris baru bak kunci pembuka bagi para direksi. Kerja sama ini mulus. April 2004 lahirlah perjanjian kerja sama antara Netway Utama dan PLN Disjaya atas proyek ini. Nilainya Rp 137 miliar lebih. Mengapa komisaris tiba-tiba setuju dengan proyek ini? Eddie Widiono menjelaskan bahwa proyek ini amat diperlukan PLN. Di samping itu, ”Hubungan antara kami dengan komisaris baru amat dekat,” katanya.
Persetujuan komisaris itu bukan berarti proyek beres sudah. Sejumlah kejanggalan masih terbuka untuk dipersoalkan. Sumber Tempo di PLN menuturkan bahwa dasar hukum penunjukan langsung terhadap Netway Utama adalah legal memorandum yang dikeluarkan oleh Kantor Hukum Reksa Paramitra. Dalam legal memorandum yang salinannya diperoleh Tempo itu disebutkan bahwa penunjukan langsung dibenarkan karena proyek ini bersifat mendesak, yang apabila ditunda-tunda dapat merugikan PLN Disjaya.
Informasi yang diperoleh tim investigasi ini dari satu sumber di PLN menyebutkan kantor Reksa Paramitra itu adalah kantor hukum milik PLN sendiri. ”Jadi, jelas saja dia setuju, karena mereka adalah bawahan Direktur Utama. Dan legal memorandum itu cacat hukum,” ujar si sumber. Dari pantauan Tempo, Reksa Paramitra memang berkantor di lantai tiga gedung PLN Pusat, Jakarta Selatan.
Eddie Widiono membenarkan sejumlah anak buahnya bekerja di kantor Reksa Paramitra itu. ”Mereka ditugaskaryakan,” katanya. Tapi Eddie memastikan, anak buahnya mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan profesional. Ia juga menambahkan, legal memorandum atas proyek ini dilakukan oleh tiga lembaga hukum, yaitu Reksa Paramitra, tim hukum PLN Disjaya, dan Kantor Hukum Remi Darus. Tiga-tiganya seia sekata bahwa, ”Outsourcing dengan penunjukan langsung sah adanya,” kata Widiono.
Proses penunjukan langsung memang dimungkinkan jika keadaannya bersifat khusus. Menurut Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 2004, yang dimaksud keadaan khusus antara lain kondisi darurat pertahanan negara, bersifat mendesak, dan karateristik barang hanya dimiliki satu penyedia.
Investigasi ini mendapat pengakuan dari orang dalam PLN bahwa proyek ini termasuk kategori customer relationship management (CMP), yang merupakan produk umum dan gampang didapat dari vendor lain. Umpama Orcale atau SAP. Katanya, ”Kalau persediaan di pasar banyak, mengapa tidak ditenderkan saja untuk mencari harga murah?”
Sesuatu yang juga patut dipersoalkan dari kerja sama ini adalah soal hak cipta. Netway Utama telah mematenkan CCBS (Customer Care Billing System) kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual pada Oktober 2001. Padahal, bukankah peranti lunak CCBS merupakan bagian dari perjanjian, yang seharusnya menjadi milik PLN?
Soal ini dipertanyakan pula oleh tim pemeriksa Pengawas Internal. Jawaban yang mereka peroleh, penguasaan hak cipta perangkat lunak Netway CCBS disebabkan tim penunjukan langsung pengadaan jasa outsourcing kurang memahami aspek legal.
Tapi Eddie Widiono membantah soal hak cipta ini. Dalam program yang disiapkan Netway itu, katanya, ada yang disebut engine. Yakni modul yang paling dalam untuk melakukan perhitungan secara efisien. Enginenya menggunakan Netway CCBS, sehingga menjadi hak paten Netway.
Mengutip kata-kata Eddie Widiono: ”Saya bisa bayar orang untuk membuat produk ini. Produknya adalah milik saya. Tapi buah pikirannya tidak bisa diklaim.”
Berliku Menuju Netway
1991: 9 September Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) Ermansyah Jamin dan Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) Wiranto Arismunandar meneken kerja sama pendidikan, penelitian, dan pengembangan rekayasa bidang teknik tenaga listrik untuk 10 tahun.
1994: 8 Agustus Direktur Politeknik ITB Tonny Soewandito dan Direktur Utama PT Netway Utama Gani Abdul Gani meneken kontrak teknik serta nonteknik dari PLN Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang selanjutnya disebut Disjaya). Materi proyek: perancangan dan pembuatan master plan sistem informasi PLN Disjaya.
23 Agustus Pimpinan PLN Disjaya, Azis Sabarto dan Tonny Soewandito, meneken surat perintah kerja pembuatan rencana induk sistem informasi (RISI) Disjaya. Juga, perjanjian kerja sama pendidikan, penelitian, dan pengembangan rekayasa bidang teknik tenaga listrik untuk 10 tahun.
1996: 24 Desember Pimpinan baru Disjaya, Tunggono (pengganti Azis), dan Direktur Politeknik Bambang Budiono (pengganti Tonny) meneken kerja sama Implementasi Sistem Informasi Keuangan dan Sistem Informasi Pelanggan di sembilan lokasi.
1997: 15 Desember Tunggono dan Bambang Budiono memaraf perubahan surat perjanjian (amendemen) 24 Desember 1996.
1998: 1 Juli Tunggono dan Bambang Budiono menandatangani perubahan surat perjanjian 24 Desember 1996 dan 15 Desember 1997.
1999: 8 Januari Tunggono dan Bambang Budiono memaraf perubahan surat perjanjian 24 Desember 1996, 15 Desember 1997, 1 Juli 1998.
10 Juni Dirut PLN Adisatriya (pengganti Ermansyah Jamin) menyurati Bank Dunia agar mendukung dana program restrukturisasi PLN. Dokumen yang dilampirkan dalam surat tersebut menyebutkan konsultan lokal proyek ini adalah ITB.
14 Juli Pimpinan Disjaya, Margo Santoso (pengganti Tunggono) dan Bambang Budiono, meneken perubahan surat perjanjian 24 Desember 1996, 15 Desember 1997, 1 Juli 1998, dan 8 Januari 1999.
2000: 19 Oktober Margo Santoso mengeluarkan letter of intent CIS outsourcing kepada Netway, bersifat tak mengikat, untuk negosiasi dalam tiga bulan.
2001: 31 Maret-28 Agustus Dirut PLN Eddie Widiono menjawab pertanyaan seputar proyek CIS Rencana Induk Sistem Informasi (selanjutnya disebut CIS Rencana Induk—Red) kepada Serikat Pekerja PLN, Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri, pejabat sementara Komisaris Utama PLN Sofyan Djalil, serta Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi Luluk Sumiarso.
9 Mei Margo Santoso dan Bambang Budiono menandatangani pernyataan selesainya seluruh kerja sama Disjaya dan Politeknik.
26 Oktober Netway mematenkan Netway Customer Care Billing System, CCBS.
8 November Rapat konsultasi terbatas antara Dirut Telkom dan dewan komisaris—notulensi oleh Sofyan Djalil—di Hotel Bimasena, Jakarta, mendukung proyek ini.
5 November Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi menyurati Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengaudit penunjukan Netway.
2002: 31 Januari Margo Santoso membentuk Tim Reevaluasi dan Negosiasi CIS Rencana Induk.
2003: 31 Januari General Manager Disjaya, Fahmi Mochtar, membentuk Tim Penunjukan Langsung Pengadaan Jasa Outsourcing CIS Rencana Induk.
21 November Komisaris Utama PLN, Andung Nitimihardja, menyurati Dirut PLN. Isinya, mendukung pelaksanaan CIS Rencana Induk.
2004: 29 April General Manager Disjaya Fahmi Mochtar dan Dirut Netway Abdul Gani meneken perjanjian outsourcing CIS Rencana Induk selama dua tahun.
Naik-Turun Pasal Biaya
Paket Rp 3,85 miliar
Pada 9 September 1991, PLN-ITB memaraf kerja sama pendidikan, penelitian, dan pengembangan rekayasa bidang teknik tenaga listrik untuk 10 tahun senilai Rp 3,85 miliar. Rinciannya:
- Pembuatan Rencana Induk Sistem Informasi Disjaya bernilai kontrak Rp 576,9 juta.
- Kerja sama Rencana Induk tahap pertama berupa perancangan Sistem Informasi Pelanggan, Sistem Informasi Keuangan, dan SIMDIST bernilai kontrak Rp 1,2 miliar.
- Implementasi Sistem Informasi Keuangan dan Sistem Informasi Pelanggan Disjaya bernilai kontrak Rp 2,072 miliar.
Paket Rp 800 miliar
- Pada 12 September 2000, Disjaya menerima proposal dari Netway mengenai CIS Rencana Induk Sistem Informasi dengan usulan nilai kontrak Rp 870 miliar untuk lima tahun.
- Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara ketika itu, Laksamana Sukardi, meminta BPKP melakukan audit investigasi Netway. Komisaris PLN menyatakan paket biaya ini terlalu mahal.
Paket Rp 137 miliar
Disjaya dengan Netway meneken perjanjian outsourcing CIS RISI bernilai kontrak Rp 137 miliar pada 29 April 2004 dengan rincian:
- Biaya langsung personel Rp 101, 2 miliar.
- Biaya langsung non-personel Rp 35,8 miliar.
- Nilai ini lebih rendah dari usulan paket biaya sebelumnya (Rp 800 miliar) karena ada elemen pembiayaan perangkat keras dipisahkan dan ditenderkan.
Silang Selisih Sejumlah Fakta
Perjalanan proyek Customer Information System (CIS) diwarnai sejumlah fakta bertentangan. Berikut verifikasi yang dilakukan tim investigasi Tempo:
1. Politeknik dan Netway meneken kontrak teknik dan nonteknik dari Disjaya—8 Agustus 1994.
Bertentangan dengan Perjanjian kerjasama pendidikan, penelitian, pengembangan rekayasa bidang teknik tenaga listrik untuk 10 tahun PLN - ITB pada 9 September 1991 serta Surat Perintah Kerja Pembuatan Rencana Induk Sistem Informasi Disjaya – Politeknik yang diteken pada 23 Agustus 1994.
Verifikasi Tempo: Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pekerjaan yang diterima Politeknik tak boleh diserahkan kepada pihak lain tanpa pengetahuan PLN. Tetapi Politeknik mengikat perjanjian dengan Netway. Menurut PLN, perjanjian 9 September 1991 cuma soal penelitian dan pengembangan. Soal CIS-RISI baru dibahas dalam di perjanjian, 23 Agustus 1994.
2. Tanggal 29 Juni 2001 Sekretaris Wakil Presiden Deputi Bidang Ekonomi Susiati B. Irawan mempertanyakan penunjukan Netway. Dalam jawabannya, Eddie Widiono menjelaskan bahwa Netway adalah rekanan Disjaya. Dijelaskan juga bahwa dalam aide memoire Bank Dunia, proyek ini sudah disetujui.
Bertentangan dengan Perjanjian kerjasama Disjaya - Politeknik 23 Agustus 1994. Jadi kontrak implementasi Sistem Informasi Keuangan dan Sistem Informasi Pelanggan antara Disjaya – Politeknik, bukan Disjaya – Netway.
Verifikasi Tempo: Aide memoire keluar 29 April 1999 sedang kontrak Disjaya –Netway baru tanggal 24 April 2004. Jadi Bank Dunia mengeluarkan aide memoire dengan konsultan ITB, bukan Netway. Netway dan Politeknik meneken perjanjian kerjasama 8 Agustus 1994. Disjaya dan Politeknik meneken perjanjian tanggal 23 Agustus 1994. Menurut Eddie Widiono, Netway dengan sendirinya terikat dalam perjanjian Disjaya—Politeknik.
3. Netway mematenkan Netway Customer Care Billing System kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Kehakiman dan HAM pada 26 Oktober 2001.
Bertentangan Dengan Perjanjian outsourcing CIS Rencana Induk Disjaya – Netway pada 29 April 2004 bahwa CIS itu jadi milik Disjaya.
Verifikasi Tempo: Peranti lunak Customer Care Billing System merupakan hasil pengembangan dan kerjasama Disjaya – Politeknik ITB. Posisi Netway adalah perusahaan yang dioutsorced oleh Politeknik ITB, bukan partner langsung Disjaya. Menurut Eddie Widiono dalam program yang disiapkan Netway ada yang disebut engine, modul paling dalam untuk melakukan perhitungan secara efisien. Engine itu merupakan hak Netway.
4. General Manager Disjaya Fahmi Mochtar membentuk Tim Penunjukan Langsung Pengadaan Jasa Outsourcing CIS Rencana Induk pada 31 Januari 2003. Pada 29 April 2004, Fahmi Mochtar dan Direktur Utama Netway Gani Abdul Gani meneken perjanjian outsourcing CIS Rencana Induk selama dua tahun.
Bertentangan dengan: Keppres No 61 tahun 2004 yang menerangkan bahwa penunjukan langsung hanya dimungkinkan bila keadaan darurat dan penyedia barang cuma satu.
Verifikasi Tempo: Menurut audit internal Satuan Pengawas Internal PLN, Wakil Ketua Tim Penunjukan Langsung Pengadaan Jasa Outsourcing ternyata merangkap jabatan sebagai Manajer Roll Out CIS. Bisa melemahkan pengendalian manajemen proyek. Menurut PLN, penunjukan langsung dimungkinkan karena proyek ini bersifat mendesak.Soal perangkapan jabatan ini sudah diselesaikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo