Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Dulu Nanking, Sekarang Tek Sing

Penggarongan harta kuno di bawah laut Indonesia terjadi dalam rupa-rupa cara, dari mengakali kelemahan sistem hukum dan pengawasan hingga kongkalikong pengusaha-pejabat-aparat.

20 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepucuk surat tulisan tangan dikirimkan Berger Michael Hatcher dari Singapura, Desember 1992. Surat itu dialamatkan ke Gimin Bachtiar—bekas mitra kerjanya yang ia tipu pada Proyek Geldermalsen 1986 di Jakarta. Hatcher mengeluhkan pencekalannya ke Indonesia …(I’m not allowed to legally enter Indonesia …). Toh kerinduannya mengeduk kekayaan purbakala membuat pria berkebangsaan Australia ini tak malu bertebal muka mencari jalan kembali (…I look forward to working with you and your partners in Indonesian territorial waters…) ke tambang harta karunnya: perairan Indonesia.

Saat surat mendarat di mejanya, Gimin serta-merta menyisihkan dulu dendam lama. Ia setuju ”menggencat senjata” demi mengejar kembali bagiannya. Dalam proyek Geldermalsen yang mengangkat kapal The Nanking Cargo, Hatcher berutang padanya 20 persen dari nilai proyek alias sekitar US$ 3 juta yang belum sempat dikecapnya. Jadilah! Di lobi Hotel Westinstamford, Singapura, pada pertengahan Januari 1993, Gimin dan Hatcher kembali bertemu—setelah sewindu berseteru—dalam semangat reformasi.

Sembari minum kopi, dibuatlah kesepakatan: Gimin mengurus semua perizinan legal agar Hatcher bisa melenggang masuk secara sah. Sebagai ganti, taipan harta karun itu harus membayar bagian Gimin harta Geldermalsen yang laku US$ 15 juta delapan tahun lalu. Ia juga bertugas mencari modal baru sebesar US$ 5 juta untuk proyek harta karun berikutnya.

Maka, beraksilah Gimin menguruskan surat kanan-kiri, termasuk mempertemukan Hatcher dan Gasyim Amman—waktu itu sekretaris Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga (selanjutnya disebut Pannas)—pada 1998. Hasilnya, Hatcher disilakan beroperasi kapan saja, asalkan bayar dulu bagian pemerintah Indonesia dari The Nanking Cargo (sekitar US$ 6 juta). Hatcher mengangguk.

Alhasil, pada 1998, Hatcher melangkah ke Indonesia berkat sejumlah lobi tingkat tinggi, antara lain surat yang ditulis Mayor Jenderal TNI (Purn.) Supardi (mertua pengusaha Aburizal Bakrie) kepada Presiden Soeharto pada 21 Februari 1998. Dalam surat itu—kini ada di tangan Tim Investigasi TEMPO—yang diberi catatan ”sangat pribadi”, Supardi memohon ”bimbingan dan restu Bapak Presiden”. Selanjutnya, ia meminta agar PT Prasarana Cakrawala Persada yang dipimpin Ari Sigit Hardjojudanto ”diberi restu” Pak Harto untuk bekerja sama dengan Ocean Salvage Corporation Ltd. dari Australia (sebuah holding perusahaan Australia yang kemudian mensubkontrakkan izin pencarian harta karun di Indonesia kepada United Sub-Sea Services Ltd. milik Hatcher).

Kerepotan Pak Jenderal tentu bukan tanpa maksud. Ketua Umum Kesatuan Penerus Perjuangan Republik Indonesia (KPPRI) itu melihat kerja sama Cakrawala Persada Ocean Salvage adalah kiat jitu mencari dana bagi organisasinya di tengah krisis moneter. Untuk bantuan itu, Supardi diiming-imingi bagi hasil untuk KPPRI 10 persen dari hasil—setelah dipotong jatah pemerintah Indonesia, Ocena, dan Cakrawala.

Sementara itu, Suwanda berhasil mempertemukan Hatcher dengan cucu sang Presiden, Ari Sigit, di Jalan Cendana, Februari 1998. Suwanda memang bukan orang lain bagi Ari. Ia pernah jadi montir balap putra Sigit Soeharto itu. Maka, kerja sama pun mulai digelar. Dengan kapal Restless yang dilengkapi scan sea yang bisa mendeteksi benda sampai kedalaman 400 meter dan hydro-ocean (sonar yang bisa mendeteksi hingga kedalaman 50 meter dan radius 12 meter), Hatcher mulai menggaruk kekayaan di Selat Gelasa, seputar Pulau Bangka, pada Mei 1999.

Eh, ketika bau harta mulai tercium di Selat Gelasa, Riau, otak Hatcher dan Suwanda tiba-tiba lebih encer. Tanpa setahu Gimin dan kawan-kawan, mereka lalu mengalihnamakan Cakrawala Persada menjadi Cakrawala Dirga. Perlunya? Untuk menghapus jejak Michael Hatcher dalam proyek ini. Dengan begitu, ia bisa menghindari tuntutan Gimin. Ia juga bisa kabur sewaktu-waktu sembari menitip usaha pada Suwanda.

Yang jelas, ia tak perlu repot-repot membagi hasil Tek Sing kepada Gimin dan kawan-kawannya. Tak heran, saat Pannas berkirim surat agar Hatcher segera menebus utang ke Indonesia, ia santai saja. Alih-alih membayar utang, Hatcher—melalui Suwanda—segera melelang temuan di Gelasa melalui Balai Lelang Negara di Pangkalpinang.

Hebatnya, yang dilelang di Pangkalpinang hanya surat-surat—barang sudah meluncur lebih dulu ke Singapura. Bagian yang dilaporkan ke Pannas dalam pelelangan itu pun hanya sekitar 148 ribu keping. Padahal, ada 350 ribu keping yang tengah melaju ke pelabuhan Adelaide. Harta ini lalu direekspor ke Jerman, siap dilelang secara supermegah di Stuttgart, 17-25 November mendatang. ”Orang Balai Lelang yang menghitung jumlahnya,” Suwanda berkelit ketika TEMPO menanyakan perbedaan jumlah itu.

Skandal ini membuat pemerintah Indonesia merugi penuh atas 200 keping lebih. Sedangkan 148 ribu keping yang sudah pernah dilelang di Pangkalpinang tetap diklaim pemerintah Indonesia sebagai barang ilegal karena tak memiliki izin ekspor. Sayang, kelemahan Undang-Undang Cagar Budaya Indonesia membuat barang itu tak bisa segera ditarik dari Australia. Sebaliknya, Ocean Salvage bisa meyakinkan polisi federal agar meneruskan barang itu ke Jerman dengan sejumlah dokumen di tangan mereka.

Aksi Hatcher-Suwanda rupanya tidak berhenti di situ. Saat digaruk KRI Barakuda, dua kapal asing berbendera Australia itu (Swisco Marine IX berbendera Belize dan Restless M) masih mengangkut sisa rompakan yang terus diurus Suwanda atas perintah Hatcher. Kali ini, sial menimpa. Para awak yang berusaha menyaru sebagai nelayan langsung dicogok patroli TNI AL. Dan, Suwanda, si pemilik barang, diciduk polisi.

Dalam pemeriksaan awal, Suwanda bersikeras bahwa Hatcher tak punya sangkutan apa pun dengan muatan kedua kapal itu. Padahal, ketika ditemui TEMPO di Hotel Mulia, Jakarta Pusat, Rabu lalu, ia mengaku bekerja sama dengan pria Inggris itu. Toh, pengakuan itu tak banyak berarti. Ratusan ribu keping keramik dan porselen sudah dipajang dengan segala katalog sejarahnya di Stuttgart sana.

Michael Hatcher memang contoh fenomenal dalam perompakan harta karun di laut Indonesia. Dengan mudah ia mengakali izin kerja sebagai tenaga asing dengan menyuruh Gimin menguruskannya ke Jakarta sembari ia sendiri asyik mengeduk muatan pada 1985. Mitra Indonesianya itu kemudian dia tendang sembari angkat sauh ke Singapura dengan muatan penuh—sebuah tipuan yang dengan mudah diulangnya pada 1999.

Jurus tipu Hatcher seakan memberi inspirasi pada sejumlah pengusaha untuk berkolusi mengeduk kekayaan dari bawah laut dengan cara halal maupun haram (lihat infografik Halal Rugi, Haram Apalagi). Di zaman Laksamana Sudomo menjabat Menko Polkam, Tommy Soeharto bisa mengantongi hingga enam izin lokasi (pada 1989, seharusnya satu izin untuk satu perusahaan).

Pengangkatan harta karun oleh tim Tommy Soeharto menimbulkan kehebohan tersendiri. Bukan hanya penyelam mahir seperti Chepot Hanny Wiano (anak buah Tommy yang memimpin PT Muara Wiwesa Samudera) yang menyelam ke laut. Kolonel Baroeno, mantan Kasubdit Pengadaan TNI AL, juga ikut masuk ke air. Baroeno adalah Direktur PT Yalagada milik TNI AL yang mendapat izin pengangkatan di Cilacap dan Selat Bangka.

Modus lain yang populer adalah kerja sama pengusaha dengan aparat TNI AL. Seperti dituturkan Gasyim Amman kepada TEMPO, ”Saya tahu persis orang-orang TNI AL mengambil barang-barang (kuno) itu bersama nelayan. Umpama, di Kepulauan Seribu. Saya mendapat laporan, tapi harus bagaimana?” ujarnya setengah mengeluh.

Purnawirawan mayor jenderal yang ikut diperiksa dalam kasus Tek Sing itu mencontohkan kasus di Blanakan, Jawa Barat. Di sana, nelayan menggunakan prajurit TNI AL untuk mencuri di kedalaman laut. Suatu ketika, pengusaha Andi Asmara, yang juga menggunakan jasa prajurit TNI AL, bertemu dengan kelompok nelayan di atas di lokasi pengangkatan yang sama. Maka, pecah bentrokan antara Andi dan nelayan berikut ”pasukan pendukung” mereka.

Menurut Gasyim, Suwanda juga pernah melaporkan ”kerja sama”-nya dengan pangkalan AL Belitung, kepadanya. Ketika dikonfirmasi TEMPO, Suwanda menjawab, ”Yang saya lakukan hanyalah seluruh security clearance yang disyaratkan TNI AL.” Komandan Pangkalan Utama II, Laksamana Muda Djuana Suwarna, tak bisa dimintai konfirmasi mengenai keterlibatan para prajurit TNI AL karena sedang sakit. Wakilnya, Kolonel Sugeng, tak bersedia menemui TEMPO. Jadi?

Tipu harta karun rupanya terus berlangsung dalam pola-pola klasik serupa: mengakali sistem yang lemah, hukum yang bisa diterobos, pejabat yang bisa diberi jatah, dan aparat pengawas yang imannya bisa diguncang dengan uang. Jadi, tak perlu heran kalau pemain sekelas Michael Hatcher bisa melenggang ke Indonesia, menggarong, lalu berangkat lagi. Dulu ia bisa menggaruk Nanking Cargo, kini ia pun dengan mulus berhasil membobol Tek Sing, dan entah apa lagi nanti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus