Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada yang memungkiri fakta bahwa perairan Nusantara menyimpan potensi sumber daya ikan yang amat besar. Ironisnya, kekayaan itu tak pernah dimanfaatkan maksimal, dan selalu jatuh ke tangan yang salah.
Dari waktu ke waktu, cerita tentang pencurian ikan tak pernah lepas dari pembicaraan khalayak. Topik investigasi Tempo kali ini, tentang maraknya mafia perizinan kapal siluman yang memicu pencurian ikan besar-besaran, juga bukan perkara yang baru terjadi kemarin sore.
Masalah bertambah parah karena tak pernah ada upaya terpadu untuk mengatasi masalah ini. Pelbagai aturan dibuat, rapat koordinasi digelar, tapi hasilnya kerap membuat kita mengelus dada.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap pada Kementerian Kelautan dan Perikanan Gellwyn Jusuf mengakui peliknya masalah ini. Tapi dia menegaskan bahwa kementeriannya bukan satu-satunya pihak yang harus dimintai pertanggungjawaban. "Sampai sekarang tidak ada koordinasi antarinstansi," katanya prihatin. "Apalagi ada banyak benturan peraturan," ujar Gellwyn pada saat ditemui Tempo di ruang kerjanya. Wawancara dilakukan dua kali, pada Februari dan Juni lalu.
Mengapa masih banyak kapal siluman di perairan kita?
Begini. Setiap kapal eks asing atau kapal impor harus memiliki surat keterangan penghapusan kapal (deletion certificate) dari negara asal pembuat kapal. Deletion certificate itu kemudian diserahkan ke Direktorat Perhubungan Laut di Kementerian Perhubungan. Berdasarkan itu, Perhubungan Laut mengeluarkan grosse akte kapal yang kemudian diajukan kepada kami di Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk memperoleh surat izin usaha perikanan (SIUP).
Artinya, sebelum keluar SIUP dari kami, harus ada pihak yang memastikan bahwa kapal itu benar-benar ada di Indonesia dan berbendera Indonesia. Dengan adanya dokumen grosse akte, kami tentu saja berasumsi bahwa kapal itu benar-benar milik orang atau perusahaan Indonesia.
Bagaimana jika ada permainan dalam penerbitan grosse akte dan deletion certificate?
Jika ada kongkalikong, tentu saja itu tidak bisa ditoleransi dan pasti ditindak.
Tapi bagaimana cara Anda mendeteksi ada kongkalikong atau tidak?
Saat deletion certificate dikeluarkan, kami minta perwakilan negara asal kapal itu—misalnya konsulat jenderal atau kedutaan besarnya—ikut mengesahkan. Jelas kami tidak mungkin mengecek kapal sampai ke negara asalnya. Harus disadari bahwa kami punya rentang kendali yang terbatas. Kami tak bermaksud lepas tangan tapi kami memiliki batas-batas kewenangan.
Investigasi kami menemukan sebuah kapal di Bitung yang bisa berubah nama, kemudian disita, tapi tetap bisa melaut lagi. Kok, bisa?
Ini soal kapal Yungin, ya? Izin kapal itu sudah kami cabut. Ketika mendengar informasi ini dari Anda, kami sangat terkejut. Saya langsung minta staf mengecek dan menindaklanjuti. Kami tegaskan bahwa kapal sitaan dari pengadilan tak boleh mendapat surat izin usaha perikanan.
Mengapa Yungin bisa lolos?
Kalau ada yang semacam begini, pasti ada permainan. Jika pemilik aslinya mau membeli kapal itu dari lelang pengadilan dan langsung membawanya pulang ke negaranya, silakan. Yang jelas, kapal itu tidak boleh lagi beroperasi di Indonesia.
Apakah permainan itu melibatkan orang dalam Kementerian?
Jika ada kasus seperti ini, mohon jangan menggeneralisasi dan menuding semuanya sama seperti ini. Kami tidak membantahnya, tapi tolong dipilah.
Bagaimana soal banyaknya awak kapal asing di kapal-kapal berbendera Indonesia?
Kami sudah mengevaluasi temuan Badan Pemeriksa Keuangan mengenai puluhan kapal di Ambon yang memiliki anak buah kapal (ABK) asing. Masalahnya, ini bukan semata-mata kewenangan kami. Ada Undang-Undang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Penanaman Modal, serta aturan keimigrasian, yang memperbolehkan mereka bekerja di sini.
Bukankah Undang-Undang Perikanan melarang sama sekali keberadaan ABK asing?
Betul. Kami terus berupaya agar tidak ada lagi ABK asing sesuai dengan Undang-Undang Perikanan dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan. Ini harga mati. Tapi kami memang terbentur pada aturan lain. Saat ini kami terus berusaha memadukan aturan-aturan berbeda ini.
Apa strategi utama pemerintah untuk mengatasi keberadaan kapal siluman ini?
Kami berusaha terus mempersempit ruang gerak mereka untuk tidak bermain-main soal ini. Tapi, harus diakui, kemampuan kami terbatas. Jumlah kapal patroli kami terbatas, dan jumlah aparat kami pun terbatas.
Karena itu, kami berkoordinasi langsung dengan pemerintah di negara asal kapal-kapal tersebut. Kami berbicara dengan Thailand dan Cina, misalnya. Intinya, kami ingin bisa berbicara dalam satu bahasa dulu. Mereka pasti tahu ini masalah global.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo