Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUMAH berlantai dua itu terbilang paling besar di Kompleks Polygon, Palembang. Kemegahannya kian lengkap dengan deretan mobil mewah di halaman depan rumah itu. Pada pertengahan September lalu, suasana rumah itu semarak karena pemiliknya sedang punya hajat: anak gadis keluarga itu bertunangan.
Sorak dan tepuk meriah hari itu amat kontras dengan kesedihan lima tahun lalu. Ketika itu keluarga Mularis—pemilik rumah besar di Kompleks Polygon itu—sedang dirundung masalah. Putra mereka, Hendra Saputra, jadi korban penganiayaan. Yang bikin miris, pelakunya justru para seniornya sendiri di Akademi Kepolisian.
Mularis jelas tak mau tinggal diam. Dia menyewa pengacara Alamsyah Hanafiah untuk menyeret kelima taruna yang menyiksa anaknya ke pengadilan. Sidang perdana digelar di Pengadilan Negeri Semarang pada pertengahan 2006.
Lima taruna tingkat akhir Akademi Kepolisian itu duduk di kursi terdakwa. "Kekerasan di Akademi Kepolisian itu sudah sistemik," kata Alamsyah ketika ditemui Tempo tiga pekan lalu. "Tapi baru Hendra yang berani membawa kasusnya ke pengadilan."
SEMUA berawal pada Maret 2006. Pada hari nahas itu, Hendra Saputra mendatangi sebuah rumah kontrakan di Jalan Karangbendo, Gajahmungkur, Semarang. Oleh para taruna asal Sumatera Selatan, rumah itu digunakan sebagai pos untuk kumpul-kumpul. Taruna dari daerah lain rata-rata punya pos serupa di Semarang.
Di rumah itu, Hendra ditemui lima kakak kelasnya. Pemuda 20 tahun itu lalu diminta mencopot seragam taruna dan memakai kaus oblong saja. Tanpa banyak penjelasan, dia disuruh masuk ke kamar nomor sebelas dan menunggu.
Satu demi satu, seniornya masuk ke kamar sempit berukuran 3 x 3 meter itu. Tak lama, hukuman pertama datang: Hendra diperintah melakukan sikap "tobat": membungkuk sampai ubun-ubun menempel ke lantai. Posisi itu dia pertahankan sampai lima menit, tanpa bergeser. Setelah sikap tobat, Hendra harus kayang. Tak ketinggalan menu wajib: push-up dan sit-up.
Setelah semua selesai, Hendra yang bersimbah peluh diminta duduk bersila. Salah satu seniornya mengambil alat setrum dari dalam lemari. "Itu alat yang biasa digunakan untuk menaikkan dan menurunkan tegangan listrik," kata Hendra di persidangan.
Seniornya lalu memerintahkan Hendra bertelanjang dada dan menutup matanya dengan kaus yang baru dilepasnya. Dengan mata tertutup, Hendra merasakan bagaimana kedua tangannya diikat dengan serbet makan basah. Tiba-tiba dia tersentak: ada aliran listrik di tangannya. Berulang-ulang, kabel listrik ditempelkan di kedua tangannya yang terikat. Dia disetrum sampai delapan kali. "Saya berteriak, baru dilepas," kata Hendra.
Selama penyiksaan itu, dua taruna senior lain yang ada di kamar tak berbuat apa-apa. Satu orang bahkan asyik tiduran di kasur sambil mendengarkan musik yang sengaja disetel kencang.
Setelah penyetruman dan kaus di kepala Hendra dilepas, barulah kesalahan si junior jadi jelas. "Kamu sudah menganggap kami senior atau belum?" kata sang senior. Rupanya, ada laporan bahwa Hendra sering mengabaikan kakak kelasnya. Dia dianggap bandel dan tidak hormat kepada para seniornya.
"Ya...," Hendra menjawab lemah.
"Kau mau disetrum lagi? Di tangan atau perut?" Senior tadi seperti tak puas, mengancam terus.
"Siap," jawab Hendra pelan.
Ketika melangkah pergi meninggalkan rumah itu, taruna senior itu menonjok Hendra di ulu hati, karena adik kelasnya itu berjalan terhuyung-huyung. "Berdiri yang tegap!" perintah sang senior.
PENYIKSAAN yang dialami Hendra baru terungkap sepekan kemudian. Selama belajar di kelas, dia kerap pusing dan merasakan nyeri di dada. Lutut dan tungkai kakinya kerap kesemutan. Oleh petugas klinik di Akademi Kepolisian, Hendra dirujuk ke RS Elizabeth, Semarang. Di sana dia menjalani pemeriksaan CT scan, dan hasilnya mengejutkan: ada sembap otak di bagian pelipis kanan dan kiri.
Selama dirawat, kondisi mental Hendra turun drastis. Dua bulan setelah penganiayaan seniornya, pemuda yang semula periang itu menderita depresi berat. Dia sering berteriak-teriak ingin mati saja. "Korban pernah mengatakan mau bunuh diri," kata psikolog Nunik Pujiarti, yang menjadi saksi di persidangan Hendra.
Anehnya, semua fakta itu gugur di persidangan. Pada April 2007, majelis hakim Pengadilan Negeri Semarang membebaskan kelima terdakwa taruna Akademi Kepolisian. Hakim menganggap peristiwa yang menimpa Hendra "sudah biasa dialami semua siswa akademi polisi".
Penyetruman yang dilaporkan Hendra dianggap tidak pernah terjadi. Pasalnya, jaksa tidak bisa menghadirkan alat setrum yang ketika itu dipakai untuk menyiksa pemuda itu. Advokat Alamsyah Hanafiah, yang ketika itu mendampingi Hendra, tak habis pikir. "Padahal ada pengakuan pelaku ketika diperiksa polisi," katanya. Sayangnya, pengakuan kakak kelas Hendra itu dicabut di persidangan.
Bukti lain, seperti rekam medis Hendra dan hasil pemeriksaan internal oleh provos Akademi Kepolisian, diabaikan hakim. Pemeriksaan provos memang menyatakan kelima taruna itu bersalah. Mereka bahkan sudah mendapat sanksi internal: pangkatnya diturunkan setingkat.
Advokat yang ketika itu mendampingi kelima taruna, Hadi Sasono, menampik tudingan bahwa putusan hakim dalam perkara ini bermasalah. Hadi balik menuduh materi dakwaan atas kliennya itulah yang justru dipaksakan. "Soal penyetruman tidak terbukti di persidangan," katanya pada akhir September lalu. Buktinya, kata dia, Mahkamah Agung pun menolak kasasi jaksa dan tetap membebaskan kelima taruna itu.
Ditemui pekan lalu di Palembang, Hendra Saputra mengaku tak ingin mengingat-ingat pengalaman pahitnya di Semarang. "Saya tidak mau larut dalam kesedihan," katanya. Setelah putusan hakim yang mengejutkan itu, dia mundur dari Akademi Kepolisian.
Setahun kemudian, dia melanjutkan kuliah di Australia. Sekarang, dia punya perusahaan kontraktor dan aktif di sebuah partai politik. "Kenangan di Akpol itu menyakitkan, tapi saya harus bangkit," katanya sambil tersenyum.
DUA tahun setelah insiden penganiayaan Hendra, sebuah kasus kekerasan lain terjadi di Akademi Kepolisian. Pada Mei 2008, seorang taruna, Tri Pramuda Siburian, dipukul beramai-ramai oleh 30 rekan seangkatannya. Peristiwa mengenaskan itu terjadi pada malam hari di dalam asrama taruna. Tri selamat setelah menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Elizabeth.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional, Novel Ali, ketika itu aktif mendampingi korban. Hasil visum rumah sakit menunjukkan Tri mengalami luka dalam akibat pemukulan berulang-ulang. "Ada fakta telah terjadi kekerasan," katanya. Pemicu penganiayaan itu adalah tuduhan bahwa Tri telah mencuri. Bukannya melaporkan Tri ke pengasuh Akpol, para taruna lebih memilih main hakim sendiri.
Novel Ali menyesalkan tradisi kekerasan yang terus berurat berakar di Akademi Kepolisian. Di sana, kata dia, penegakan disiplin selalu identik dengan hukuman fisik dan tindakan kekerasan yang berlebihan. Model pendidikan semacam itu, kata dia, sudah saatnya diubah. "Ini sudah tak sesuai lagi dengan tuntutan menjadikan polisi sebagai pelayan masyarakat," katanya prihatin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo