Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Lewat Samping Memburu Ringgit

PULAU Nunukan dan Sebatik di Kalimantan Utara menjadi gerbang utama masuknya tenaga kerja Indonesia ilegal ke Sabah, Malaysia. Jejaring perdagangan manusia ini melibatkan banyak pihak: pengirim tenaga kerja ilegal alias "pengurus", calo paspor, pemilik kapal, petugas imigrasi, hingga pemberi kerja dan aparat di Malaysia. Pada awal Desember 2015, Tempo menelusuri rute penyelundupan para pemburu ringgit itu. Masyarakat setempat menyebutnya "jalur samping".

18 Januari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PANJANG sekitar lima meter, speedboat tanpa nama tersebut tampak kusam dimakan usia. Warnanya sudah memudar, dengan karat di sana-sini. Satu-satunya tempat duduk di kapal motor cepat itu hanya untuk juru mudi, Kahar. Penumpang berjejal di ruang kosong di belakang kemudi, bertumpuk dengan barang bawaan: empat wanita dan tujuh laki-laki.

Rabu awal Desember tahun lalu, Tempo mengikuti rombongan pencari kerja ilegal asal Indonesia yang hendak menyelundup ke Tawau, Malaysia. Menggunakan speedboat kecil itu, rombongan bertolak dari Dermaga Lalosalo, Pulau Sebatik, Nunukan, Kalimantan Utara, menjelang tengah hari.

"Lagi bahaya ke seberang sekarang," kata Petrus Atulangu, 42 tahu, yang ikut berdesakan di lantai kapal. Petrus adalah seorang "pengurus"—sebutan untuk penyelundup yang membantu pencari kerja asal Indonesia masuk Malaysia secara ilegal.

Tadi, sebelum boat bertolak, memang ada kasak-kusuk, tengah berlangsung operasi gabungan antara Indonesia dan polis marin Malaysia di perairan Tawau. Entah berhubungan entah tidak, pekan itu media lokal tengah ramai memberitakan terlunta-luntanya 580 calon pekerja asal Indonesia di Tawau. Paspor mereka ditolak pihak Imigresen Malaysia.

Menyusuri kali berair cokelat, kapal dengan mesin 90 tenaga kuda itu melambat saat mendekati pos TNI Angkatan Laut Sei Pancang, di perbatasan perairan Indonesia-Malaysia di Sebatik. Sebuah menara jaga setinggi kira-kira 10 meter berdiri di atas air kecokelatan di kawasan pantai muara Sungai Pancang itu.

Kahar memberi salam kepada seorang petugas yang sedang berjaga, lalu mendorong tuas gas ke depan. Mesin di bagian belakang meraung sangat keras. Moncong kapal langsung terangkat, membuat penumpang yang duduk di lantai terdorong ke belakang. Kapal melaju cepat menuju laut lepas. Semua berpegangan erat dan terdiam. Hilang sudah suara Ibrahim, lelaki asal Flores, Nusa Tenggara Timur, yang menyanyikan lagu dangdut keras-keras dalam perjalanan naik mobil dari Bambangan menuju Lalosalo.

* * * *

GELOMBANG manusia dari Nunukan ke Sabah mulai marak pada 1960-an. Ini data hasil penelitian Pusat Kajian Antropologi Universitas Indonesia bersama International Catholic Migration Commission (ICMC), yang pada 2010 menginvestigasi perdagangan manusia alias human trafficking dari Indonesia.

"Sejak itu pengiriman manusia ke Sabah boleh dibilang tak pernah berhenti," ujar Dave Lumenta, peneliti dari Pusat Kajian Antropologi. Kebanyakan tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal bekerja sebagai buruh perkebunan, terutama sawit; pekerja seks; dan pembantu rumah tangga.

Para pencari kerja dari Floreslah yang mula-mula menggunakan jalur Nunukan untuk menyusup ke Tawau. Satu dekade kemudian, orang Bugis dari Sulawesi Selatan mengekor. Walhasil, kebanyakan pekerja di negara bagian Sabah tersebut merupakan keturunan Flores dan Bugis. Mereka memilih diselundupkan karena tak mau repot mengurus visa kerja yang biasanya lama dan membutuhkan biaya lumayan besar.

Penyelundupan TKI ilegal banyak dibantu oleh pengurus yang tersebar di Nunukan dan Sebatik. Kepala Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Nunukan, Edy Sudjarwo, mengatakan para pengurus memiliki jaringan yang luas, dari perekrut TKI hingga majikan di Malaysia.

Banyak pengurus menggunakan rumahnya sebagai kantor. Sebagian menyebar di Tunon Taka, yang merupakan pelabuhan utama di Nunukan. Sangat mudah menemukan mereka. Tempo menjumpai Petrus Atulangu di rumahnya setelah bertanya kepada sopir angkot di sekitar pelabuhan.

Petrus sudah sejak 1994 menyelundupkan pekerja Indonesia ke Malaysia. Pria asal Flores Timur itu mengatakan TKI ilegal sebenarnya bisa saja menyeberang sendiri ke Tawau, tapi kebanyakan lebih suka menggunakan jasa pengurus. Menurut Petrus, saat ini ada 300-an pengurus di Nunukan. Mereka memasang tarif 100-350 ringgit atau Rp 320 ribu-1,2 juta per orang, sampai Tawau.

Dengan bayaran lebih mahal, pengurus mau mengantar hingga ke tempat kerja di Tawau, Kalabakan, atau Kota Kinabalu.

"Kalau bayarannya cocok, saya bisa antar hingga Tawau. Jika tidak, nanti di Sebatik akan ada pengurus lain," kata Petrus kepada Tempo. Dia menjelaskan, rute Pulau Sebatik-Tawau merupakan jalur favorit perdagangan manusia.

Sebatik adalah pulau kecil dekat Pulau Nunukan yang berhadapan dengan Tawau. Di pulau ini, Indonesia dan Malaysia berbagi wilayah darat, laut, dan udara. Setiap hari pasti ada pencari kerja ilegal masuk dari Nunukan atau Sebatik ke Malaysia. Jumlah TKI yang melintas "jalur samping"—istilah untuk rute ilegal menuju Tawau—bisa berlipat-lipat jika ada kapal masuk dari NTT dan Parepare, Sulawesi Selatan.

Banyak rute yang bisa ditempuh dari Nunukan ke Tawau. Dermaga Haji Putri salah satunya. Terletak hanya sekitar 300 meter dari gerbang Pelabuhan Tunon Taka, dermaga kayu ini tak dijaga petugas imigrasi atau polisi.

Selain Haji Putri, berderet pelabuhan kecil lain yang kerap dipakai, seperti Dermaga Sungai Mentri, Kandang Babi, dan Pangkalan Haji Muchtar. Pun Dermaga Sungai Bolong, yang memiliki pos imigrasi dan polisi, bisa menjadi titik awal pemberangkatan para pencari kerja.

Bersama rombongan Petrus, Tempo berangkat dari Dermaga Haji Putri menggunakan speedboat menuju Bambangan, sekitar pukul 10.00 wib.

Bambangan, yang terletak di sisi barat Pulau Sebatik, merupakan salah satu dermaga yang paling sering dilabuhi kapal kecil dari Nunukan. Dari tempat itu, para pencari kerja ilegal biasanya menggunakan jalan darat menuju Dermaga Sungai Nyamuk, Lalosalo, atau Aji Kuning untuk selanjutnya menyeberang ke Tawau.

Sekitar setengah jam berlayar, rombongan tiba di Dermaga Bambangan. Belasan Toyota Avanza tampak berjejer menunggu. Menggunakan salah satu mobil tersebut, Petrus membawa Tempo dan rombongan pencari kerja menuju Dermaga Lalosalo di utara Pulau Sebatik.

* * * *

KABAR tentang operasi gabungan di perairan Tawau amat mengganggu Kahar. Lepas dari pos TNI Angkatan Laut Sei Pancang, dia tampak tegang memegang kemudi. Kepala laki-laki Bugis berkulit hitam terbakar matahari itu kerap menoleh ke kiri dan kanan. Sesekali dia berteriak berusaha mengalahkan deru mesin, meminta semua penumpang bergeser ke depan. Dia khawatir terhadap patroli polisi laut Malaysia.

Benar saja, baru 20 menit perahu Kahar membelah buih, sebuah kapal Pasukan Gerakan Marin Polis Diraja Malaysia, Seahawk 2101, mencegat. Tak ada kesempatan untuk melarikan diri. Satu dari empat polis marin berpakaian hitam lengan panjang meminta paspor semua penumpang. "Kau punya paspor sudah mati," katanya menghardik seorang penumpang.

Suasana tegang. Maklum, tertangkap aparat Malaysia berarti bakal dikenai pasal pelanggaran undang-undang anti-penyelundupan manusia. Celakanya bisa berkali-kali: penjara sampai lima tahun atau denda yang besar, dicambuk, setelah itu tetap dideportasi.

Tergopoh-gopoh Kahar mengeluarkan telepon selulernya. Terdengar dia meminta seseorang untuk segera datang. Tak sampai lima menit, dua speedboat lain yang juga mengangkut pencari kerja ilegal dari Lalosalo merapat. Tanpa basa-basi, nakhoda yang baru tiba mendekati salah seorang aparat Malaysia dan memberikan "salam tempel". Keempat polis marin itu mengembalikan semua paspor dan menghilang bersama Seahawk 2101.

Kahar kembali menarik gas. Dengan satu entakan pendek, speedboat melaju lurus menuju pantai Tawau, yang kini tampak jelas di kejauhan.

Pengurus dan kapten kapal memang memiliki koneksi yang cukup kuat dengan aparat Malaysia. "Orang dalam" di Imigresen Malaysia selalu memberi tahu jika sedang ada razia di laut dan darat. Penelitian Pusat Kajian Antropologi UI bersama ICMC malah menemukan hubungan antara penyelundup dan aparat keamanan negeri jiran itu. "Beberapa pengurus bisa berkomunikasi langsung dengan polisi laut di sana," ujar Dave Lumenta.

Tapi Kepala Imigresen Tawau, Noraini, enggan menanggapi kongkalikong yang disaksikan Tempo di perairan Tawau itu. "Saya sedang di Putrajaya," katanya melalui sambungan telepon. Komandan polis marin Tawau, Anor bin Jafar, juga menyatakan tak tahu-menahu. "Saya cuti," ujarnya.

* * * *

SpeedBOAT Kahar tidak berlayar hingga daratan Tawau. Sekitar satu mil dari kawasan Batu-batu, perahu merapat ke kapal pengangkut ikan yang buang sauh di lepas pantai.

Ada tiga kapal ikan berimpitan. Di atas kapal-kapal itu sudah menanti lima pengurus dan puluhan pencari kerja ilegal dari rombongan lain. Firdaus, salah satu pengurus, tampak serius mengawasi perairan di sekitar. Sesekali ponselnya berbunyi, orang di seberang memberi tahu bahwa situasi aman. "Jika kondisi darurat, penumpang kami sembunyikan di ruang mesin bagian bawah kapal," katanya.

Di dalam kapal-kapal ikan itu, Tempo, Petrus, dan kesembilan pencari kerja bergabung bersama penumpang lain di ruang kosong belakang kemudi.

Kapal ikan hanya menjadi semacam halte pada rute penyelundupan orang di jalur ini. Sepuluh menit kemudian, dua perahu motor kayu atau pete-pete dalam bahasa setempat tiba dari arah Tawau. Dari atas kapal ikan, Tempo menyaksikan para pencari kerja satu per satu pindah ke perahu motor, yang segera meluncur ke kawasan Batu-Batu.

Tempat berlabuh penuh batu itu berjarak tak sampai satu kilometer dari Pelabuhan Tawau, pintu masuk resmi di kota itu. Petugas Imigresen Malaysia kadang berjaga di Batu-Batu, tapi jarang memeriksa penumpang pete-pete.

Dua hari setelah kembali dari perairan Malaysia, Tempo masuk secara resmi melalui Pelabuhan Tawau dan menyaksikan pete-pete berlabuh di Batu-Batu. Dua penumpang pria tampak terburu-buru berjalan ke arah Masjid Raya Tawau, sedangkan seorang perempuan berkerudung menyeberang dan naik mobil van putih yang sudah menunggu. Semua berlangsung begitu cepat.

Menurut pengakuan TKI di Tawau, pencari kerja ilegal yang sudah berpengalaman akan kembali ke perkebunan atau tempat kerja lama. Pekerja yang dijemput di tempat pendaratan biasanya orang baru.

Selain di Batu-Batu, banyak tenaga kerja yang diselundupkan lewat Pasar Nelayan Tanjung Batu Keramat. Setiap hari pasti ada TKI ilegal dari Sebatik mendarat di sana, terutama dari Aji Kuning. Mohammad Muhidin, 53 tahun, yang rumahnya berada di samping Pasar Nelayan, bercerita bahwa para pendatang ilegal kerap bersembunyi dalam tumpukan pisang di dalam kapal. "Bisa 10 orang dalam satu kapal," ujarnya.

Pasar tersebut mulai menjadi tujuan para pencari kerja ilegal lima tahun lalu. Warga setempat sering menyaksikan pendatang ilegal kejar-kejaran dengan aparat Malaysia. "Saya beberapa kali melihat mereka meloncat dari kapal dan berenang ke seberang sana," kata Iskandarsyah, 32 tahun, penduduk Tanjung Batu Keramat, sambil menunjuk daratan di seberang Pasar Nelayan.

Ada kalanya pengurus membawa pencari kerja menyusup lewat Pelabuhan Tunon Taka. Cara ini ditempuh jika sedang ada razia di perairan Sebatik-Tawau.

Iman Fardi, 23 tahun, yang kini bekerja di Tawau, mengaku pernah berangkat dari Tunon Taka menggunakan feri. Sebelum kapal masuk Pelabuhan Tawau, dia dan tiga kawannya dipindahkan ke pete-pete. "Supaya tidak terlihat, kami disuruh tiarap," katanya.

Akibat ramainya penyelundupan orang dari Nunukan, jumlah TKI di Tawau dan sekitarnya yang masuk secara ilegal diperkirakan jauh lebih banyak daripada yang lewat jalur resmi. "Pekerja resmi di sini saat ini sekitar 250 ribu," kata Konsul RI di Tawau, Muhammad Soleh.

Duta Besar Malaysia untuk Indonesia, Datuk Seri Zahrain Mahamed Hashim, mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak telah sepakat bekerja sama menangani masalah TKI ilegal dalam pertemuan pada Oktober tahun lalu. Antara lain mereka setuju membentuk saluran khusus untuk membendung tenaga kerja ilegal yang di Malaysia disebut "pendatang tanpa izin" alias "pati" itu.

"Walaupun mereka sering menimbulkan masalah, kami tetap butuh TKI. Sebab, salah satu faktor sukses Malaysia dari segi pembangunan adalah TKI," kata Zahrain di kediamannya di Jakarta, Selasa pekan lalu.

Tapi Duta Besar Zahrain ragu akan kesaksian Tempo atas dugaan keterlibatan aparat Malaysia dalam praktek penyelundupan orang dari Nunukan-Sebatik ke Tawau, "Soalan-soalan bapak lebih kepada spekulasi dan tuduhan-tuduhan tanpa bukti yang rumit untuk saya menjawab," tulisnya melalui WhatsApp.

* * * *

KEPALA Imigrasi Nunukan I Nyoman Gede Surya Mataram mengatakan mereka kesulitan mengawasi jalur tikus yang biasa digunakan TKI ilegal. "Garis pantai ataupun dermaga liar terlalu panjang dan banyak," katanya.

Selain digunakan oleh para pencari kerja baru, menurut dia, jalur perdagangan orang dari Nunukan-Sebatik terpelihara karena banyak TKI nekat kembali ke Malaysia meskipun sudah dideportasi. Malah ada dugaan jalur ini juga sering dipakai untuk perdagangan orang.

Setiap kali ada deportasi, pengurus berkumpul di Pelabuhan Tunon Taka. Begitu turun dari kapal, sebagian besar TKI langsung pergi mengikuti para pengurus.

Ahmad, 28 tahun, asal Buton, Sulawesi Tenggara, misalnya, pernah lima kali dideportasi, tiga kali di antaranya disertai hukuman cambuk. "Saya selalu lewat jalur samping," kata buruh antar barang di sebuah kilang sawit di Kota Kinabalu itu. Tempo bertemu dengan Ahmad yang baru dideportasi itu di penampungan BP3TKI Nunukan.

Edy Sudjarwo, Kepala BP3TKI Nunukan, mengatakan sangat sedikit TKI yang bersedia pulang kampung. Sepanjang 2015, pemerintah Malaysia mendeportasi 6.140 TKI bermasalah lewat Nunukan. Dari jumlah tersebut, "Tak sampai lima persen yang kami pulangkan ke kampung halaman," katanya. Itu pun banyak yang balik ke Nunukan dan kembali menyusup masuk Tawau lewat "jalur samping".


INVESTIGASI
Penanggung jawab: Philipus Parera Penyunting: Philipus Parera Kepala proyek: Stefanus Teguh Edi Pramono Penulis: Stefanus Teguh Edi Pramono, Rusman Paraqbueq, Mustafa Silalahi Penyumbang bahan: Stefanus Teguh Edi Pramono (Tawau & Nunukan), Rusman Paraqbueq, Mustafa Silalahi, Natalia Sari, Linda Trianita (Jakarta) Bahasa: Uu Suhardi, Sapto Nugroho, Iyan Bastian Desain: Djunaedi, Eko Punto Pambudi, Tri Watno Widodo Periset foto: Wahyurizal Hermanuaji Pengolah foto: Hindrawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus