Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Demi swasembada daging, Kementerian Pertanian membuat program desa korporasi dan 1.000 desa sapi.
Di lapangan, ada program yang tak berjalan, peternak tak berpengalaman ditunjuk, dan sapi impor yang agak sukar dikawinkan dengan sapi lokal dipilih.
Ada sapi bunting tapi bukan hasil persilangan, melainkan bawaan.
DI Desa Ria, Kecamatan Riung Barat, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, kandang-kandang sapi menjadi tempat tumpukan jerami yang mengering, dirambati semak belukar, dengan tiang somplak dan retak. Kandang-kandang terbengkalai itu seharusnya menampung sapi pemberian Kementerian Pertanian yang mengadakan program Desa Korporasi Sapi sejak 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada 1.000 desa di seluruh Indonesia yang terdaftar dalam program yang semula bernama Seribu Desa Sapi pada 2020 ini. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo hendak menebus janjinya menaikkan populasi sapi ketika dilantik menjadi Menteri Pertanian pada 2019, yakni mencapai swasembada daging.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pikiran politikus Partai NasDem mantan Gubernur Sulawesi Selatan ini, swasembada daging bisa dicapai jika petani-petani membangun peternakan. Setiap tahun, dari 700 ribu ton kebutuhan daging sapi, 200 ribu ton dipenuhi daging impor atau 1,2 juta ekor sapi. Menteri Syahrul ingin menambal bolong itu dengan sapi lokal.
Kementerian Pertanian pun menggelontorkan Rp 180 juta untuk membangun dua kandang di tiap desa yang akan diisi 200 sapi. Di Nusa Tenggara Timur, program Desa Korporasi Sapi dipusatkan di lima desa di Kecamatan Riung Barat—70 kilometer dari Bajawa, ibu kota Ngada.
Tak hanya bakal mendatangkan sapi, Kementerian Pertanian juga memasok pakan 360 ton per desa, instalasi biourine, timbangan ternak, vaksin, dan obat-obatan. Semua fasilitas itu kini terbengkalai karena ratusan sapi yang dijanjikan tak kunjung datang. “Kami sudah siap menerima sapi, tapi sapi tak ada terus,” kata F.X. Senandung, warga Desa Ria, akhir Juni lalu. Hingga laki-laki 40 tahun ini mundur sebagai ketua kelompok peternak karena sakit, sapi tak kunjung tiba.
Gara-gara sapi tak datang-datang, anggota kelompok ternak di Desa Ria tinggal 57 dari semula 100 orang. Selain dalam hal sapi, Senandung merasa tertipu ihwal pakan. Suatu hari, ia memberikan pakan dari Kementerian Pertanian kepada sapi lokal piaraannya. “Saya cek pakannya sudah tidak layak,” ujarnya.
Nusa Tenggara Timur adalah satu dari lima provinsi yang menjadi proyek percontohan program Desa Korporasi Sapi. Dalam catatan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, pemerintah menghabiskan lebih dari Rp 200 miliar untuk membagi-bagikan sapi dalam program ini. Di Ngada, menurut Kepala Dinas Peternakan A.M. Felisitas Killa, sapi yang sampai kurus-kurus. Akibatnya, Kementerian Pertanian menarik sapi-sapi itu. “Tahun ini diurus Dinas Peternakan,” kata Felisitas. “Tapi jumlahnya hanya 500 ekor, bukan 1.000.”
Di atas kertas, pengiriman sapi untuk program Desa Korporasi Sapi mulus belaka. Dokumen lelang di www.lpse.pertanian.go.id menyebutkan pengadaan sapi senilai Rp 20 miliar untuk Ngada telah selesai. Dari tiga paket, hanya satu yang diberi keterangan “evaluasi ulang”. Pemasoknya CV Stupa Sangeti, CV Lembu Mas Perkasa, dan CV Putra Jaya Sakuru.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nasrullah semula meminta Tempo menanyakan pengadaan sapi untuk Ngada kepada pemerintah daerah. Belakangan, ia mengatakan sapi untuk Ngada belum dikirim karena terkena dampak wabah penyakit mulut dan kuku (PMK). “Di sana masih daerah bebas penyakit mulut dan kuku,” ucapnya.
Bukan hanya di Ngada, di Cianjur, Jawa Barat, pengadaan sapi juga bermasalah. Di sini para petani menerima sapi Madura. Di Desa Gekbrong di kaki Gunung Gede-Pangrango, misalnya, Kelompok Ternak Gede Harapan menerima sapi Madura yang dicampur dengan 75 sapi lokal. Sapi-sapi itu ditempatkan di kandang 15 x 45 meter. Seperti di Ngada, sapinya kurus-kurus. “Sejak awal terima sudah kurus,” tutur Uden Suherlan, Ketua Kelompok Ternak, Juni lalu.
Uden tercatat menerima 200 sapi dari Kementerian Pertanian dalam program Desa Korporasi Sapi pada 2021. Selain kelompok Uden, ada empat kelompok ternak yang masing-masing menerima 200 sapi dengan rincian setengah lokal, setengahnya lagi brahman cross dari Australia. Di Cianjur, sapi lokal akan dikawinkan dengan sapi impor untuk menghasilkan keturunan blasteran.
Pemenang tender pemasok sapi Australia adalah PT Berdikari dan PT Darul Ehsan Jaya dengan nilai masing-masing Rp 42 miliar dan Rp 43 miliar. Sedangkan pemasok sapi lokal, antara lain, PT Winara Karya Madani dengan nilai Rp 8,4 miliar.
Selain kurus, Uden Suherlan mengatakan, beberapa sapi dimodifikasi oleh PT Winara Karya Madani agar sesuai dengan spesifikasi, yakni berat tiap ekor tak kurang dari 300 kilogram. “Sebelum ditimbang, sapi diberi banyak pakan yang dicampur air,” kata Uden.
Akibatnya, dari 100 sapi yang diterima Uden, 25 ekor mati. Modifikasi berat sapi membuat para peternak seperti Uden kesulitan memulihkannya. Ia jadi banyak mengeluarkan biaya untuk mengembalikan kesehatan sapi. “Saya seperti ngebengkel sapi,” ujarnya. Uden terpaksa menerima sapi dari pemerintah meski perlu menambah biaya perawatan karena sudah menguras tabungan Rp 800 juta untuk membangun kandang.
Direktur Utama PT Winara Karya Madani, Budi Gianto, menyangkal kabar bahwa bobot sapi yang dikirimnya kurang dari 300 kilogram. Kalau tak sesuai dengan syarat bobot, kata dia, pemerintah akan mengembalikan sapi itu. Dia mencontohkan, ketika sapi yang dikirim 50 ekor tapi peternak mengaku menerima hanya enam, pemerintah mendendanya Rp 300 juta. “Saya kapok, rugi, tak mau main sapi lagi,” tuturnya.
Ihwal sapi yang kurus, Budi mengatakan penyebabnya adalah peternak tak paham cara memelihara sapi. Pernyataan Budi dibenarkan Ridwan, subkontraktor pemasok sapi lokal untuk perusahaan Budi asal Garut, Jawa Barat. Ridwan, yang 30 tahun menjadi pengusaha sapi, memasok sapi untuk peternak Cianjur. Menurut dia, banyak penerima sapi tak paham cara mengurus ternak. “Mereka dibentuk dadakan untuk program ini,” ucapnya. “Saya sampai harus mengajari mereka membersihkan kotoran sapi.”
Tenak program Desa Korporasi Sapi di Cianjur, 27 Juni 2022. (TEMPO/ Erwan Hermawan)
Deden Regianto dari Kelompok Ternak Sumber Arum di Desa Talaga, Cianjur, mengaku tak memiliki pengalaman beternak sapi. Ia mulai belajar beternak tahun lalu, ketika ada sosialisasi program Desa Korporasi Sapi. Uden Suherlan, meski sudah lama menjadi peternak, mengaku baru kali itu mengurus sapi hingga 200 ekor. “Sebelumnya saya mengurus sapi paling banyak 10 ekor,” katanya.
Syarat program Seribu Desa Sapi yang dibuat Kementerian Pertanian menyebutkan penerima sapi harus peternak yang berpengalaman. Offan Soffarudin Maulana, Kepala Bidang Peternakan Dinas Peternakan Cianjur, mengatakan sebagian besar peternak yang ditunjuk Kementerian Pertanian punya pengalaman beternak sapi.
Program Seribu Desa Sapi bermasalah, menurut Offan, karena peternak tak punya pengalaman mengurus sapi brahman cross dari Australia yang diimpor PT Berdikari. “Peternak butuh adaptasi karena terbiasa memelihara sapi lokal,” ujarnya. Juga ada perbedaan kebiasaan. Di negara asalnya, Australia, sapi brahman cross hidup liar di alam bebas. Sedangkan di Cianjur mereka dikurung di kandang yang sempit.
Dengan segala problem itu, Ridwan dari Garut pesimistis program Desa Korporasi Sapi yang dijalankan dengan menyilangkan keturunan sapi lokal dengan sapi Australia akan berhasil. Di kelompok ternak yang dipimpin Uden, ada lima sapi indukan brahman cross yang sudah melahirkan. Namun, menurut Uden, sapi itu hamil bukan karena kawin dengan sapi lokal. “Tapi hamil bawaan dari Australia,” tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo