Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

investigasi

Pondok Bambu Rasa Istana

Dalam dua periode terpenting hidupnya—di luar dan di dalam penjara Artalyta ”Ayin” Suryani berhasil membuktikan diri sebagai komunikator tangguh. Kaya, tersohor, dan sukses, Ayin, 47 tahun, berteman dengan jaksa, ulama, polisi, politikus, hingga petinggi Istana. Lobinya melintas batas, menerabas keruwetan birokrasi.

Hampir dua tahun dalam kurungan tak memudarkan daya itu: Ayin adalah komunikator supel. Dari ruang-ruang sel, dia dapat mengendalikan jaringan bisnisnya. Dia leluasa menerima asisten, pelayan, keluarga, sopir pribadi, serta para eksekutif perusahaannya kapan saja.

Kisah Ayin di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur, hanyalah satu faset kecil yang memancarkan problem jumbo itu: lemahnya sistem peradilan kita, yang membuat sel-sel bui dapat disulap jadi kamar serba luks bagi mereka yang punya uang dan kuasa. Penegakan hukum dan keadilan akan menjadi pekerjaan rumah terberat Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum—yang mulai bekerja awal Januari ini.

11 Januari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari ketinggian gedung sebelah, kegiatan sehari hari Artalyta Suryani bisa jelas terpantau. Pagi pagi pengusaha 47 tahun asal Lampung itu mulai berkantor. Sopir sekaligus asisten pribadi, juga beberapa pela­yan, siap menjalankan perintah. Bayi sepuluh bulan yang ia adopsi, dirawat seorang pengasuh, menemani sepanjang hari.

Bukan, ini bukan di lantai 11 Wisma Sudirman, Jakarta, lokasi kantor beberapa perusahaan Artalyta. Juga bukan di tempat tinggal mewahnya di Jalan Terusan Hang Lekir, Simprug, Jakarta Selatan. Ini Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Di sini, perempuan yang lebih dikenal sebagai Ayin itu menjalani hukuman lima tahun dalam kasus penyuapan kepada jaksa Urip Tri Gunawan, sejak Maret 2009.

”Kantor baru” Ayin berada di lantai tiga gedung administrasi penjara. Ini sebuah ruang berpenyejuk udara seluas sekitar 6 x 6 meter persegi, yang dibelah dua oleh deretan lemari. Di bagian depan, terpacak tempat tidur kulit ukuran dobel, sofa, dan dua meja. Televisi layar datar merek LG ditaruh di bufet. Sebuah cermin setinggi dua meter disandarkan di dinding, di balik pintu masuk.

Di bagian dalam, ada meja kerja berbentuk L berwarna cokelat muda. Juga kulkas penuh buah dan makanan, serta boks tempat tidur bayi. Bocah berambut kepirangan ini anak seorang bekas narapidana yang diadopsi Ayin. Tangga menuju ke sini melewati depan ruang kerja kepala penjara. Di tempat inilah Ayin mengurusi perusahaannya dari dalam penjara serta menerima para kolega bisnis. ”Saya pernah ke sana,” kata seorang pengusaha pertambangan, rekan bisnis Ayin.

Tamu Ayin memang hilir mudik, kadang sampai larut. Menurut orang dalam penjara, para pembesuk Ayin tak pernah tercatat dalam daftar tamu. Mereka cukup mengucap tiga kata kunci: ”Tamu Bu Artalyta”. Penjaga hanya menaruh curiga kalau sang tamu berpakaian tak rapi. ”Soalnya, semua tamu Ibu Ayin perlente,” kata satu petugas.

Dari ketinggian gedung sebelah, tempat tim investigasi Tempo beberapa kali meneropong dari kejauhan, tampak puluhan perempuan meriung di luar kantor Ayin. Mereka sedang merangkai rangkai mute. Keping kristal warna warni itu dibentuk menjadi bu­nga, bonsai, tas, atau tempat tisu. Inilah kesibukan sosial Ayin, mempekerjakan narapidana perempuan di situ.

Kepada Tempo, Senin pekan lalu, Ayin mengatakan kantor itu bukan khusus untuk dia. ”Kamar itu bukan istimewa buat saya. Dipakai sekian ba­nyak orang, termasuk pesantren kilat, untuk lima puluh orang tiap hari,” ujarnya. Tempat mengaji yang disebut Ayin pesantren kilat ini sebenar­nya balai latihan kerja, tepat di sebelah kantor Ayin. Lantainya berkarpet. Di pinggirnya berjejer mesin jahit.

Setelah wawancara, Ayin mengizinkan Tempo masuk kantor itu. Su­asananya, astaga, jauh berbeda dibanding dari balik teropong. Para perangkai mute bekerja di dalam ruang. Mereka ditemani beberapa sipir perempuan. Aneka rangkaian mute memenuhi meja, lemari, juga lantai. ”Barang barang itu dimasukkan ke ruangan pagi sebelum Anda wawancara dan dikeluarkan lagi setelah Anda pergi,” kata sumber Tempo di Pondok Bambu.

Inilah sepenggal kehidupan Ayin, yang namanya menggegerkan publik­ pada awal 2008. Hingga kini, hampir dua tahun setelah dia ditahan, pertemanannya dengan tokoh tokoh politik tak henti digunjingkan. Apalagi setelah muncul buku yang menyo­roti kaitan dia dengan keluarga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

l l l

Pada sore Ahad, 2 Maret 2008, Ayin mendengar keributan di luar tempat tinggalnya di Simprug. Agus Heriyanto, prajurit Angkatan Darat yang menjadi ajudannya, memberitahukan: jaksa Urip Tri Gunawan yang baru saja bertamu ditangkap petugas Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia segera menelepon anaknya, Rommy Dharma Satrya­wan, agar datang ke rumah.

Urip bukan tamu biasa. Ia memimpin tim penyelidikan kasus dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia buat Bank Dagang Nasional Indonesia. Hampir sepekan sebelumnya, pada 27 Februari, hasil penyelidikan telah diumumkan: kasus tak bisa dilanjutkan ke proses berikutnya. Sjamsul Nursalim, pemilik bank, lolos dari jerat hukum. Sore itu, Urip datang buat mengambil tanda terima kasih: 66 ikat duit seratus dolar, total berjumlah US$ 660 ribu (sekitar Rp 6,6 miliar), yang dimasukkan ke dalam kardus air kemasan merek Ades.

Ayin memang dianggap mewakili­ Sjamsul. Ia sangat intensif mengurus kasus konglomerat bos Grup Gajah­ Tunggal ini di kejaksaan. Ia berhu­bung­an erat dengan Itjih, istri Sjamsul. Petugas Komisi Pemberantasan Korupsi menguntitnya sejak akhir 2007. Teleponnya disadap. Semua komunikasinya direkam.

Pada 9 Januari, Ayin berteleponan dengan Urip. ”Jam dua kita mau ekspose, lho, Bu,” kata Urip. Ayin menjawab, ”Ekspose yang mana?” ”Yang punya Ibu.” Pada hari itu, dipimpin Jaksa Agung Hendarman Supandji, kejaksaan membahas hasil penyelidikan tim kasus Bantuan Likuiditas.

Pada 27 Februari, beberapa jam sebelum pengumuman penghentian penyidikan, Urip kembali menelepon Ayin. ”Nanti bunyinya begini, Bos. Setelah kita lakukan penyelidikan selama ini, ya toh? Setelah diperiksa narasumber ini, ini, gitu kan? Nanti tidak ditemukan melawan hukum,” katanya. Pengumuman yang membebaskan Sjamsul Nursalim benar benar sesuai dengan perkataan Urip. Tak mengherankan, ia tak sabar mengambil tanda terima kasih dari rumah Ayin.

Segera setelah Urip ditangkap, Ayin menelepon Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar. Gagal. Ia lalu menghubungi para petinggi kejaksaan. Hanya Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Untung Udji Santoso yang dapat dihu­bungi. Ia mengontak pula pejabat kepolisian, mencari bantuan agar lolos dari kasus ini. Pada pukul 20.30, dua jam setelah Urip ditangkap, petugas Komisi akhir­nya datang menjemput Ayin.

Sejak malam itu, ia menghuni sel ta­hanan. Mula mula di Markas Besar Kepolisian, lalu pindah ke Rumah Tahanan Pondok Bambu. Menjelang persi­dangan kasusnya, ia minta dikembalikan ke Markas Besar Kepolisian. ”Agar lebih mudah koordinasi,” kata­nya. Setelah Mahkamah Agung mengukuhkan hukuman lima tahun penjara, Ayin kembali ke Pondok Bambu, sejak Maret 2009.

Di Pondok Bambu, menurut seorang petugas, Ayin meminta pindah ke blok Edelweis yang sebetulnya dikhususkan buat narapidana kasus narkoba. ”Dia ingin sendirian,” kata petugas tersebut. Blok ini merupakan gedung baru berlantai dua bercat hijau muda, terletak di bagian tengah belakang kompleks tahanan. Ini blok terakhir dari total lima blok.

Di blok Edelweis, Ayin sendirian menghuni sel nomor 16 di lantai dua. Tapi Ayin membantah dia menem­pati sel ini sendirian. ”Saya bersama dua narapidana lain,” ujarnya. Ia ternyata belum merasa nyaman. ”Bukan panas lagi, tapi puanaaas,” katanya. Ia pun minta dipindahkan lagi, dan ditempatkan di ”sel tambahan” blok Anggrek, yang sebenarnya ruang administrasi. Karena tadinya kantor, pintu ruangan ini bukan jeruji, melainkan kaca film.

Sel ini diisi tempat tidur ukuran dobel, televisi layar datar 21 inci, dan penyejuk udara. Buat membersihkan badan, Ayin tidak memakai air keran, tapi air kemasan. Galonnya ditumpuk di luar kamarnya. Setiap hari, persediaan air ini dipasok oleh orang orang Ayin. Ia juga selalu memesan makanan dari luar.

Sel khusus itu hanya dihuni Ayin untuk tidur. Di luar waktu istirahat, ia menghabiskan hari di kantor lantai tiga. Pagi hari, ia mengikuti senam atau joging. Tiga kali sepekan ia mendatangkan pelatih aerobik. Setelah itu, ia mandi dan bersolek. Pada pukul 10.00, anak hasil adopsi Ayin biasa datang bersama sopir dan babysitter berseragam putih putih.

Tamu Ayin datang dengan pelbagai keperluan. Para manajer perusahaan milik Ayin biasanya datang untuk rapat. Tamu pengusaha kadang datang membahas rencana kerja sama bisnis. ”Saya menjajaki kemungkinan kerja sama (dengan Ayin) di bidang perdagangan batu bara,” kata seorang pengusaha.

l l l

Butuh modal besar setidaknya menurut ukuran orang awam buat memperoleh aneka keistimewaan di penjara. Ayin biasa mendanai aneka kegiatan di lingkungan rumah tahanan. Pada hari hari tertentu, ia biasa memasok makanan buat semua narapidana di Pondok Bambu, sekitar 1.200 orang. Ia juga sponsor aneka kegiatan keagamaan. Kerap pula dia memasok peralatan kantor atau barang elektronik.

Duit tunai, tentu saja, memegang peran penting. Pada tanggal tanggal tua, menurut sumber Tempo, Ayin biasa menyediakan tumpukan amplop. Isinya bervariasi, tapi terdiri atas uang kertas Rp 50 ribu atau Rp 100 ribu. Amplop ini dibagikan kepada seluruh staf. ”Petugas di sini menyebutnya BLT (bantuan langsung tunai),” ujar sumber Tempo.

Pada Juni 2009, Ayin disebut sebut ke luar penjara secara diam diam. Berita ini memicu gunjingan hebat di dalam tahanan. Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan menerjunkan tim inspeksi. Kepada Tempo, Ayin mengatakan keluar ketika itu buat menjenguk kerabat yang menjalani operasi. ”Saya pergi dikawal petugas, kok,” ujarnya.

Oktober lalu, Ayin juga ke luar sel. Ia beralasan sakit gigi dan perlu ke dokter langganannya berjarak lima rumah dari tempat tinggalnya yang lain di Jalan Pakubuwono, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Buat keperluan ini, kata beberapa orang dekatnya, ia mengeluarkan Rp 20 juta. Ketika dimintai konfirmasi soal ini, Ayin mengatakan, ”Itu bohong besar.”

Kepala Rumah Tahanan Pondok Bambu Sarju Wibowo juga membantah ada perlakuan khusus buat Ayin. Ia mengatakan, pada Oktober lalu, Ayin keluar buat berobat. ”Kami rapat sebelum memutuskan memberi izin,” ujar Sarju di ruang kerjanya. Selama wa­wancara, Ayin duduk di ruang yang sama. Ditanya apakah benar Ayin membayar Rp 20 juta buat keluar, Sar­ju menjawab, ”Ya Allah, tidak ada itu….”

Di luar soal uang, Ayin mahir membangun lobi. Suatu malam pertengahan Desember lalu, seorang pejabat Kantor Wilayah DKI Jakarta datang ke Pondok Bambu. Seusai rapat di situ, dia meng­obrol dengan Ayin hingga larut. Saat itu, Ayin masih bersama sopir pribadinya.

Soal kehadiran sopir, pembantu, serta pengasuh bayi Ayin hingga larut jauh melebihi jam besuk penjara menurut beberapa petugas, itu sudah jadi hal yang lazim. Ditanyai soal ini, Ayin hanya menggeleng. Katanya, ”Ah, enggak, me­reka ada di sini hanya sampai jam besuk.”

Harus diakui, Ayin juga mahir mengambil hati. Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan Patrialis Akbar sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, akhir Oktober lalu, ia segera bekerja. ”Ibu minta agar ada pelatihan tari Minang di sini,” ujar satu sumber Tempo.

Patrialis, politikus Partai Amanat Nasional, adalah putra Minang kelahiran Padang. Sebulan setelah menjabat, dia berkunjung ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Tim tari yang telah dilatih di Pondok Bambu segera dikirim ke sana. Sepuluh penari memainkan dua tari Minang—salah satu­nya Tari Persembahan. Menurut hikayatnya, tari ini hanya digelar buat menyambut orang penting seperti raja.

”Raja” pagi itu adalah Patrialis. Dia mengenakan seragam cokelat tua bertulisan ”Polsuspas” Polisi Khusus Lembaga Pemasyarakatan. Nah, dua pekan sebelumnya, Patrialis mampir ke Pondok Bambu. Di rumah tahanan itu, di bawah tenda biru, Ayin, yang rambutnya diikat ekor kuda, berkemeja kebiruan, dan berjins biru ngepas, berdiri seorang diri. Ia menyambut dan me­­nyalami Patrialis dengan sumri­ngah.

Sepuluh penari—mereka narapidana di situ—berlenggak lenggok di sisi belakang. Musik Minang kembali dimainkan. Tetap rancak. Patrialis berujar, ”Bu Ayin, tetap terlihat segar saja, nih….”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus