Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KERIUHAN terjadi di pengujung rapat koordinasi di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi di gedung Manggala Wanabakti, Jakarta Selatan, akhir Februari lalu. Sahut-menyahut, puluhan kepala daerah mempersoalkan minimnya kuota pengangkatan pegawai negeri tahun ini. Mereka menuntut semua tenaga honorer di wilayah masing-masing langsung diangkat jadi pegawai negeri sipil.
Seorang pejabat dari Papua bahkan sempat merebut pelantang suara dari tangan panitia. "Kami terbang 20 jam kemari agar didengar," ia berteriak penuh emosi. Penjelasan panjang-lebar Menteri Azwar Abubakar tak berhasil meredakan suasana. Gerundelan masih terdengar setelah acara ditutup.
Keriuhan di Manggala Wanabakti itu hanya satu dari serangkaian hiruk-pikuk yang mewarnai program penerimaan tenaga honorer kategori 2 (K2) menjadi pegawai negeri. Pertengahan tahun lalu, ada 649 ribu tenaga honorer yang ikut tes calon pegawai negeri sipil, tapi hanya 30 persen yang dinyatakan lulus. Di sinilah kisruh bermula. Para kepala daerah, baik diam-diam maupun terang-terangan, melobi pemerintah pusat agar menambah jumlah tenaga honorer dari wilayahnya yang lolos.
Sepanjang Februari-Maret lalu, hampir setiap hari kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi jadi sasaran unjuk rasa. Di luar, ribuan tenaga honorer turun ke jalan, memprotes keputusan pemerintah. Di dalam, silih berganti, datang para kepala daerah melancarkan tuntutan serupa.
Menteri Azwar tidak bisa berbuat banyak. Pasalnya, dari ratusan ribu tenaga honorer itu, tak semuanya benar-benar memenuhi persyaratan. Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan banyak data pemalsuan dokumen calon abdi negara itu.
"Tidak hanya curang, mayoritas honorer dipaksa menyetor uang ke pejabat daerah agar lulus ujian pegawai negeri," kata Febri Hendri, peneliti ICW, ketika diwawancarai Tempo, awal Maret lalu. Puluhan anggota staf dan jejaring ICW dikerahkan untuk memeriksa kesahihan laporan pengaduan yang mereka terima. Pertengahan April lalu, lembaga antikorupsi ini melaporkan temuannya ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia.
Satu dari sekian kasus yang dilaporkan terkait dengan temuan surat keputusan bodong untuk pengangkatan tenaga honorer di Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Pertengahan April lalu, Tempo mendatangi pelosok kabupaten itu-delapan jam perjalanan dari Medan-dan mendengar sendiri bagaimana kongkalikong dilakukan di sana.
Adalah Tanda Hutahaean, aktivis antikorupsi di Toba Samosir, yang berperan mengungkap skandal penipuan dan pemalsuan data tenaga honorer di kabupaten di tepi Danau Toba ini. Tak kenal lelah, dia berkeliling dari satu sekolah ke sekolah lain, memeriksa data 298 pegawai negeri sipil asal wilayah itu yang dinyatakan lolos pada tes penerimaan Februari lalu.
Hasilnya mencengangkan. "Nyaris separuhnya diduga palsu," ujar Tanda. Nama dan wajah mereka tak dikenali di sekolah-sekolah di Toba Samosir. Padahal, menurut dokumen pengangkatan sebagai tenaga honorer, mereka bekerja di sana sejak 2005. Tanda sudah melaporkan temuan ini ke polisi.
Lalu siapa yang bermain dalam pemalsuan data besar-besaran ini? Penelusuran Tempo di daerah terpencil ini menemukan tangan-tangan penguasa lokal ikut berperan. Simak pengakuan Tuti-bukan nama sebenarnya-seorang guru honorer di sana. "Saya menyetor Rp 65 juta kepada Bapak Dua Robert Hutajulu agar lolos tes penerimaan pegawai negeri sipil," kata perempuan 40 tahun ini pilu.
Nama yang disebut Tuti bukan orang sembarangan. Robert adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Toba Samosir. Jejaringnya luas. Dia juga dikenal sebagai kawan akrab Bupati Toba Samosir Pandapotan Kasmin Simanjuntak.
Transaksi haram ini terjadi pada awal November tahun lalu. Dari gosip sesama guru di sekolahnya, Tuti mendengar ada jalur khusus untuk lolos jadi pegawai negeri. Syaratnya, dia harus menyuap Bupati Pandapotan. Sogokan harus disetor melalui orang kepercayaan Bupati. Siapa lagi kalau bukan Robert Hutajulu.
Tuti percaya terhadap kabar itu. Dia pun meminjam uang kanan-kiri untuk mengumpulkan fulus Rp 65 juta. Uang itu lalu diantarkan ke rumah Robert di Jalan F.L. Tobing, Kecamatan Laguboti, Toba Samosir. Sebagai jaminan, Tuti memotret Robert ketika menerima setoran dana suap itu. Dia juga merekam pembicaraannya dengan sang politikus. Setelah itu, dia menunggu.
Empat bulan kemudian, pada Februari lalu, pemerintah mengumumkan hasil seleksi calon pegawai negeri sipil dari jalur honorer K2. Nama Tuti tidak ada. Dicari bolak-balik di daftar kelulusan, sia-sia. Tuti pun sadar, dia sudah ditipu.
Awal Maret lalu, Tuti melabrak Robert di rumahnya. Untuk kedua kalinya, dia membawa saksi dan merekam percakapannya dengan Robert. Tempo, yang mendapat semua foto dan rekaman pembicaraan itu, mendengar sendiri bagaimana Robert mengakui semua perbuatannya.
"Uang sudah kuserahkan semua ke Bupati," ujar Robert dalam rekaman itu. "Kalau tak percaya, biar aku bawa kalian ke Bupati." Tak hanya itu, dia juga menjelaskan bahwa Tuti bukan korban satu-satunya. Ada lebih dari seratus tenaga honorer yang sudah menyetor duit kepada Bupati agar lolos jadi pegawai negeri. Besarnya Rp 65-125 juta per orang. Artinya, melalui Robert, Bupati Toba Samosir berhasil meraup uang sogok sedikitnya Rp 7-10 miliar.
Dalam rekaman itu juga terungkap bahwa Robert tak bekerja sendirian. Dia bekerja sama dengan sejumlah anggota DPRD lain. Terang-terangan, Robert menyebut sejumlah nama politikus lokal, seperti Sahat Panjaitan dan Mangapul Siahaan.
Sebelumnya, dari penelusuran Tempo, nama Sahat Panjaitan kerap disebut-sebut. Seorang guru honorer mengaku menyetor Rp 85 juta kepada Ketua DPRD Toba Samosir itu untuk lolos jadi pegawai negeri. "Saya tak lulus, uang pun hangus," kata guru perempuan yang juga menolak disebutkan namanya itu. Modusnya serupa: penerbitan SK bodong.
Ketika dihubungi, Sahat dan Mangapul mati-matian membantah sederet tuduhan itu. "Kalau memang benar ada tuduhan itu, silakan lapor ke polisi dengan bukti yang jelas," ujar Sahat. Jawaban Mangapul Siahaan senada. "Saya enggak mengerti urusan itu," katanya.
Bupati Pandapotan Simanjuntak juga buang badan. "Jangan sangkut-sangkutkan saya dengan soal suap rekrutmen pegawai negeri," ujarnya dengan nada marah. Dia mengatakan urusan pengangkatan tenaga honorer ditangani sepenuhnya oleh Badan Kepegawaian Daerah (BKD).
Ketika Tempo mengejar Kepala BKD Toba Samosir Budiyanto Tambunan, dia malah berkelit. "Penilaian ujian semua dilakukan di Jakarta," ucapnya. Dia tak menjawab soal banyaknya surat pengangkatan tenaga honorer palsu di kabupaten itu. Padahal, tanpa tanda tangan Ketua BKD dan izin Bupati, mustahil surat-surat itu bisa terbit.
Tokoh kunci dalam patgulipat ini, Robert Hutajulu, kini tak jelas rimbanya. Nomor telepon selulernya tak aktif lagi. Ketika Tempo menyambangi rumah Robert, April lalu, pintu hanya dibuka seorang gadis tanggung. "Paman tak ada," katanya.
Menurut sejumlah tetangga, Robert menghilang sejak kasus penipuan ini merebak. "Banyak kali yang ngejar, jadi sporing (kabur) dia," ujar Tanda Hutahaean dengan logat Batak yang kental.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo