Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langkah Presiden Joko Widodo melibatkan tentara untuk mendisiplinkan masyarakat dalam memasuki era normal baru di tengah pandemi Covid-19 sungguh tidak tepat. Tak ada alasan kuat dan mendesak melibatkan tentara dalam urusan sipil itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keterlibatan militer menjaga kondisi normal baru, yang akan diterapkan di empat provinsi dan 25 kabupaten/kota, merupakan cerminan pemerintahan sipil yang tak percaya diri. Ini sekaligus menunjukkan pemerintah abai terhadap pelembagaan demokrasi, yang memberikan ruang lebar bagi supremasi sipil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor 7 Tahun 2000, Tentara Nasional Indonesia memang bisa ditugasi membantu Kepolisian RI. Tugas perbantuan itu juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Namun aturan ini tidak serta-merta bisa dieksekusi begitu saja.
Pelibatan TNI dalam urusan sipil harus didasarkan pada keputusan politik negara. Masalahnya, Indonesia belum memiliki pengaturan teknis mekanisme pelibatan dalam penanganan Covid-19. Pada saat ini pun, tak ada unsur kegentingan yang memaksa pemerintah harus mengerahkan militer.
Pengerahan TNI untuk mensosialisasi pencegahan penularan virus corona juga tidak proporsional. Militer dididik dan dilatih untuk berperang, bukan menangani wabah, apalagi meningkatkan kesadaran masyarakat tentang corona. Pandemi ini seharusnya menjadi urusan otoritas medis, bukan militer.
Meski begitu, keputusan Jokowi ini sejatinya tak mengejutkan. Sejak awal, pemerintah memang berhasrat menarik jauh tentara untuk terlibat aktif dalam penanganan Covid-19. Itu dimulai dari observasi tempat karantina di Natuna, membuat rumah sakit di Pulau Galang, menurunkan tenaga medis, hingga evakuasi pemulangan WNI yang terkena dampak Covid-19 dari luar negeri. Pemerintah juga melibatkan militer untuk penjemputan dan distribusi alat-alat kesehatan, penyediaan fasilitas dan tenaga kesehatan, hingga penjagaan akses perbatasan.
Turut campurnya tentara dalam urusan Covid-19 kian terasa setelah pemerintah menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk mengendalikan wabah sejak awal April lalu. Di sinilah letak masalahnya. Militer masuk ke wilayah PSBB untuk membantu penegakan aturan, termasuk “menghukum” para pelanggar. Sekali tentara punya peluang menghukum masyarakat sipil, mereka akan mudah tergelincir pada pelbagai tindak kekerasan.
Pelibatan TNI juga bisa diartikan bahwa Presiden menganggap Polri tak mampu mengawal kebijakan dalam pencegahan Covid-19. Jika pun ingin melibatkan tentara, Jokowi seharusnya membatasinya pada kerja-kerja kemanusiaan, seperti penyaluran bantuan ke kawasan terpencil yang terkena dampak Covid-19.
Karena TNI kini dilibatkan dalam mendisiplinkan dan menertibkan warga, wajar bila mencuat kecurigaan bahwa kebijakan ini merupakan realisasi agenda darurat sipil yang sempat dicanangkan Presiden dalam menangani Covid-19. Presiden seharusnya memahami bahwa reformasi telah membawa Indonesia ke era demokrasi yang menjunjung supremasi sipil. Pelembagaan demokrasi harus dijaga dengan mencegah militer masuk ke ranah sosial dan politik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo