Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Presiden Joko Widodo tak perlu takut menaikkan harga bahan bakar minyak. Meski menjelang pemilihan presiden 2019, kebijakan tak populis itu harus ditempuh untuk menyelamatkan perekonomian negara. Pemerintah mesti berpikir realistis bahwa impor BBM dan minyak mentah yang tinggi membuat neraca perdagangan tekor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Bulan lalu, Badan Pusat Statistik merilis neraca ekspor-impor Indonesia pada Agustus 2018 minus US$ 1,02 miliar. Penyebab tekor paling besar adalah sektor minyak dan gas sebesar US$ 1,6 miliar. Sebaliknya, surplus yang dihasilkan sektor non-migas-yang hanya US$ 639 miliar-tak mampu menutup defisit yang terlampau menganga. Sepanjang Januari-Agustus tahun ini, neraca jomplang US$ 4,09 miliar gara-gara tekor perdagangan migas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Masalah itu timbul karena tren harga minyak mentah di pasar dunia cenderung naik. Sempat terkoreksi selama beberapa hari terakhir, harga masih di atas US$ 70 per barel. Bagi Indonesia, kondisi semakin berat lantaran nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terus melorot. Dalam sepekan terakhir, kurs rupiah menembus batas psikologis 15 ribu per dolar AS.
Pemerintah Jokowi, melalui Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014, menetapkan kebijakan subsidi hanya diberikan untuk jenis BBM tertentu, yakni minyak solar dan minyak tanah. Adapun BBM khusus penugasan, yaitu Premium, tidak disubsidi. Harga Premium Rp 6.550 per liter di Jawa, Madura, dan Bali. Di luar wilayah itu, harganya Rp 6.450.
Regulasi itu tentu tak mengganggu keuangan PT Pertamina (Persero) bila semua faktor sesuai dengan perkiraan. Badan usaha milik negara yang bertugas menyediakan dan mendistribusikan bensin tersebut, dalam rencana kerja, menetapkan harga minyak US$ 48 per barel, seperti asumsi pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018, dengan kurs 13.400 per dolar AS.
Persoalan semakin bertumpuk karena Pertamina tak boleh menaikkan harga BBM tanpa persetujuan pemerintah. Arus kas perusahaan babak belur. Neraca transaksi berjalan juga hancur gara-gara nilai belanja minyak membengkak. Bayangkan bagaimana Pertamina mengeluarkan sekitar US$ 150 juta (lebih dari Rp 2,27 triliun) per hari untuk mengimpor komoditas tersebut.
Presiden Jokowi harus menaikkan harga BBM. Opsi itu mujarab untuk meredam pelemahan rupiah karena bisa langsung menekan defisit transaksi berjalan yang disebabkan oleh impor minyak.
Langkah menaikkan harga BBM pernah diambil Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, pada Mei 2008. Saat itu, Premium naik 33 persen menjadi Rp 6.000 per liter. Meski demikian, menjelang pemilihan presiden 2009, harga diturunkan sebanyak tiga kali, yakni pada 1 Desember 2008 (menjadi Rp 5.500), 15 Desember 2008 (menjadi Rp 5.000), dan 15 Januari 2009 (menjadi Rp 4.500).
Jokowi tak perlu berlebihan memikirkan nasib popularitasnya. Berdasarkan hasil survei Saiful Mujani Research & Consulting, 6 bulan sebelum pilpres, elektabilitas Jokowi-bersama calon wakil presiden Ma’ruf Amin-mencapai 60,4 persen. Kebijakan menyelamatkan perekonomian, neraca perdagangan, kurs, dan keuangan perusahaan negara memang tak populis tapi penting untuk menyelamatkan Republik.