Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemberian gelar profesor tidak tetap dari Universitas Pertahanan untuk Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri menunjukkan kemerosotan dunia akademik di negeri ini telah mencapai titik nadir. Bagaimana mungkin sebuah perguruan tinggi memberikan status capaian ilmu pengetahuan paripurna untuk seseorang yang tidak pernah sekali pun menulis riset lengkap dengan tinjauan sejawat (peer review) yang memadai?
Tak mengherankan jika reaksi publik, terutama di media sosial, sungguh mengharu biru. Banyak yang menilai penganugerahan gelar profesor untuk Megawati ini mencatatkan rekor baru. Sementara sebelumnya sejumlah kampus di Indonesia rajin mengobral gelar doktor honoris causa alias doktor kehormatan untuk politikus ataupun pengusaha tajir, kini ada kampus yang berani naik satu level dan mengobral gelar profesor.
Reaksi khalayak makin gegap gempita setelah tahu judul orasi ilmiah Megawati dalam upacara pengukuhan dirinya sebagai guru besar. Sebagai tanda sah menjadi profesor, Megawati memang diminta membacakan sebuah pidato akademik di hadapan senat guru besar Universitas Pertahanan. Dia memilih tema orasi ilmiah yang tak disangka-sangka: prestasi dirinya sendiri semasa menjadi presiden (2001-2004).
Rektor Universitas Pertahanan, Laksamana Madya Amarulla Octavian, mengaku bahwa pemberian gelar profesor untuk Megawati didorong oleh prestasi politikus dari partai berlambang banteng itu semasa menjadi presiden. Menurut kajian kampus tersebut, Megawati berhasil menyelesaikan konflik beragama di Ambon dan Poso, juga memulihkan kondisi Bali setelah teror bom 2002. Selain itu, Megawati dinilai sukses menyelenggarakan pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden secara langsung untuk pertama kalinya pada 2004.
Cara pandang semacam itu bermasalah. Menyebut semua kebijakan itu sebagai buah kepemimpinan strategik Megawati sendiri jelas tidak sepenuhnya akurat. Ada banyak aktor politik lain yang ketika itu berperan. Dalam konteks penyelesaian konflik di Ambon dan Poso, kita tahu ada kontribusi besar dari Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (ketika itu) Jusuf Kalla, misalnya. Namun, jika peran sejarah Megawati sebagai kepala pemerintah ketika itu dinilai penting untuk dipelajari mahasiswa Universitas Pertahanan, politikus itu bisa setiap saat diminta mengisi kuliah tamu. Tak perlu repot-repot diangkat menjadi guru besar tidak tetap.
Walhasil, banyak pertanyaan yang muncul soal motif Universitas Pertahanan memberikan gelar tersebut. Muncul spekulasi politik bahwa Menteri Pertahanan Prabowo—selaku atasan Rektor Universitas Pertahanan—ingin mengambil hati Megawati. Ada asumsi bahwa pemberian gelar ini merupakan bagian dari upaya Prabowo mengunduh restu Megawati demi pemilihan presiden 2024.
Apa pun itu, peristiwa penganugerahan gelar guru besar untuk Megawati ini menunjukkan tren kian memburuknya kebebasan akademik di kampus-kampus kita. Banyak dosen dan peneliti enggan terlibat dalam pengambilan keputusan penting di level kampus karena khawatir dicap buruk dan kariernya dipersulit.
Para birokrat kampus pun merajalela dan terus mengobral gelar. Otonomi kampus tinggal cerita ketika rektor atau pimpinan universitas tak punya sikap akademik. Ada dugaan sejumlah universitas memberikan gelar ke sana-kemari sebagai kompensasi untuk perlindungan politik, sumbangan finansial, ataupun dukungan dalam bentuk lain. Ini jelas bentuk lain dari korupsi. Para petinggi perguruan tinggi yang terlibat telah mempermalukan diri sendiri dan menjatuhkan martabat kampusnya.
Para politikus yang gila gelar juga perlu ditegur khalayak ramai. Tindakan mereka bisa jadi dipicu oleh keinginan bawah sadar untuk menyembunyikan inkompetensi. Mereka tampaknya yakin betul: dengan gelar profesor atau doktor honoris causa, mereka bakal dianggap istimewa. Tokoh, pejabat, dan siapa pun yang berhalusinasi semacam itu sebaiknya segera berkonsultasi dengan ahli jiwa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo