Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI tengah kondisi ketidakpastian global yang terus bergolak, pertumbuhan ekonomi Indonesia dianggap masih solid karena masih mampu tumbuh 5,11 persen secara tahunan. Tapi, yang menjadi masalah, apakah angka tersebut akan tetap bertahan sepanjang tahun? Hal ini masih menjadi tanda tanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Memasuki triwulan III 2024 mendatang, upaya menjaga dan meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi akan menghadapi tantangan yang lebih sulit. Selain dipengaruhi oleh kebijakan moneter Amerika Serikat, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat bergantung pada geliat perekonomian di dalam negeri. Berbagai faktor temporer, seperti Ramadan, penyelenggaraan pemilihan umum, dan penyaluran bantuan sosial yang tidak akan terulang lagi di sisa tahun, tentu akan mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Walau demikian, secara kuantitatif, angka pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tergolong aman. Namun, dari segi kualitas, pertumbuhan ekonomi Indonesia sesungguhnya masih sangat riskan. Bank Dunia, misalnya, memprediksi ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,9 persen pada 2024. Sementara itu, Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan lebih optimistis, yakni 5,0 persen.
Sepanjang 2024, pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi hanya di angka 4,9-5,0 persen. Ini adalah rentang angka yang belum cukup stabil dan berkualitas. Bahkan dikhawatirkan laju pertumbuhan terus melambat ketika respons kebijakan yang dikeluarkan ternyata keliru.
Aneka Risiko yang Dihadapi
Ada sejumlah risiko yang mesti diantisipasi Indonesia untuk memastikan agar pertumbuhan ekonomi tidak mengalami penurunan tensi. Ancaman yang dihadapi bukan hanya dari kondisi internal, tapi juga faktor eksternal.
Secara garis besar, ada sejumlah ancaman yang dihadapi Indonesia. Pertama, eskalasi ketegangan geopolitik yang belum jelas kapan akan berakhir. Konflik Israel versus Iran-Palestina dan ketegangan yang terjadi di wilayah Timur Tengah niscaya akan mempengaruhi iklim perdagangan dunia, tak terkecuali Indonesia.
Ketidakpastian ekonomi dan gejolak geopolitik menyebabkan pasar keuangan, baik global maupun domestik, tertekan. Meskipun pemerintah melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) telah mengasesmen kinerja perekonomian dan sektor keuangan, imbas kondisi eksternal tampaknya tetap sulit dihindari dan diatasi.
Perang di wilayah Timur Tengah, yang dampaknya mengganggu kelancaran jalur perdagangan dan distribusi migas, niscaya akan mempengaruhi kenaikan harga berbagai komoditas dunia. Transportasi berbagai komoditas yang dipasarkan lintas negara menjadi lebih panjang dan lama sehingga akan mengakibatkan biaya produksi dan distribusi produk naik. Pada titik ini, bisa dipahami bahwa kondisi pasar global terancam lesu karena permintaan turun, sementara biaya produksi naik.
Faktor kedua adalah penurunan kinerja ekspor. Meski Indonesia tercatat masih mampu membukukan surplus neraca perdagangan selama 47 bulan berturut-turut, nilainya menurun 39,4 persen secara tahunan menjadi US$ 7,34 miliar pada periode Januari-Maret 2024. Kinerja ekspor Indonesia turun signifikan ketimbang impor. Penurunan kinerja ekspor diprediksi menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia sehingga melambat menjadi 4,9 persen pada triwulan II 2024 dan 5,0 persen sepanjang tahun.
Ketiga, imbas pelemahan rupiah yang tak kunjung teratasi. Akibat keputusan Amerika mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama dari perkiraan, dampaknya bukan hanya keterpurukan nilai tukar rupiah, tapi juga lonjakan arus modal keluar. Aliran modal keluar (capital outflow) tercatat mencapai US$ 1,89 miliar dari pasar obligasi Indonesia sepanjang triwulan I 2024.
Hal ini terjadi karena perubahan ekspektasi pasar terhadap kebijakan suku bunga bank sentral Amerika, The Federal Reserve. Data memperlihatkan nilai tukar rupiah mencapai titik terlemah dalam empat tahun terakhir, yakni 16.280 per dolar AS pada pertengahan April 2024.
Pelemahan nilai tukar rupiah yang signifikan ini membuat Dewan Gubernur Bank Indonesia memutuskan mempertahankan tingkat suku bunga acuan sebesar 6,25 persen, suku bunga deposit facility 5,50 persen, dan suku bunga lending facility 7,00 persen.
Pelemahan rupiah niscaya akan berdampak pada berbagai aspek. Sektor riil jelas terganggu, daya beli masyarakat turun, dan kepercayaan investor memudar. Secara obyektif, harus diakui bahwa sampai awal Mei 2024, upaya yang diambil BI untuk melawan tekanan pada nilai tukar rupiah tidak berdampak signifikan karena tekanan eksternal lebih besar.
Secara keseluruhan, berbagai tantangan eksternal berupa perlambatan ekonomi global, potensi eskalasi konflik geopolitik, serta kebijakan suku bunga Amerika yang tetap mempertahankan suku bunga acuan tinggi akan menambah risiko bagi kondisi ekonomi Indonesia. Harapan kita, tentu tekanan eksternal akan berkurang secara bertahap sehingga investasi langsung ataupun arus modal masuk kembali meningkat.
Upaya Antisipasi
Mengantisipasi berbagai kemungkinan yang mengancam stabilitas ekonomi Indonesia, BI selama ini telah berupaya memperkuat bauran kebijakan fiskal, moneter, dan menjaga stabilitas sektor keuangan. Berbagai paket kebijakan telah digulirkan untuk melindungi daya beli masyarakat dan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.
Ke depan, Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan pertumbuhan ekonomi pada faktor-faktor temporer, seperti momentum pemilihan kepala daerah serentak atau gelontoran program bantuan sosial. Indonesia membutuhkan langkah-langkah fundamental dan terencana sejak awal untuk menjaga agar penyangga stabilitas ekonomi yang terbangun benar-benar kokoh. Aktivitas ekonomi domestik harus terus didorong perkembangannya.
Tren perkembangan tingkat suku bunga yang tinggi tentu akan melemahkan permintaan domestik ataupun global. Dalam konteks ini, pemerintah perlu mengoptimalkan peran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai peredam gejolak. Peran APBN di sini perlu diperkuat untuk menjaga daya beli masyarakat dan stabilitas ekonomi di tengah ketidakpastian global.
Harus diakui tidak banyak pilihan yang bisa dilakukan pemerintah untuk menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi. Mengandalkan APBN untuk menjaga pertumbuhan tentu tidak akan menyelesaikan semua persoalan dan tak bisa dilakukan terus-menerus. Namun, paling tidak, hal ini akan menjadi penyangga sementara agar ekonomi Indonesia tidak makin terpuruk. Lagi-lagi kita hanya bisa berharap krisis geopolitik dan kebijakan tren suku bunga tinggi di Amerika segera berakhir.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.