Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah berusaha memperkuat rupiah melalui transaksi bilateral dengan mata uang lokal.
Kebijakan ini untuk mengurangi ketergantungan penggunaan hard currency seperti dolar Amerika Serikat.
Perkembangan transaksi dengan mata uang lokal menunjukkan kemajuan dalam enam tahun terakhir.
Abraham Wahyu Nugroho
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Analis Departemen Komunikasi Bank Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bank Indonesia terus berinovasi dalam hal kebijakan stabilisasi rupiah. Salah satu kebijakan yang masuk dalam deklarasi ASEAN pada September lalu adalah transaksi mata uang lokal (LCT), yang dulu dikenal sebagai penyelesaian transaksi bilateral dengan mata uang lokal (LCS). Kebijakan ini bertujuan ganda, yakni mendukung stabilisasi rupiah sekaligus mendorong perdagangan dan investasi di kawasan Asia.
Kebijakan ini agaknya terlewat dalam editorial Koran Tempo pada 6 Oktober lalu, yang hanya membahas upaya pemerintah dan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas rupiah dari perspektif kebijakan devisa hasil ekspor (DHE) dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Padahal ada beberapa kebijakan lain yang telah mampu meredam risiko dalam upaya stabilisasi rupiah, seperti LCS. Kebijakan DHE maupun SRBI pada intinya bertujuan untuk menambah pasokan valas (capital inflow). Adapun LCS adalah kebijakan yang dapat mendukung stabilisasi rupiah dengan menggunakan mata uang rupiah itu sendiri, tanpa harus bergantung pada pasokan valas.
LCS merupakan mekanisme settlement atau penyelesaian transaksi perdagangan dan investasi antarnegara dengan menggunakan mata uang lokal masing-masing negara. Ada beberapa pemikiran mengapa LCS telah dan terus digaungkan sejak 2016. Yang utama adalah tingginya dominasi dan ketergantungan penggunaan hard currency (mata uang negara kuat yang diterima luas di seluruh dunia), seperti dolar Amerika Serikat, dalam transaksi di kawasan Asia, padahal negara yang terlibat sejatinya memiliki mata uang masing-masing. Tingginya ketergantungan itu tentunya berdampak kurang baik, terlebih pada saat bank sentral asal valas tersebut mengeluarkan kebijakan moneter yang memberi tekanan nilai tukar terhadap mata uang lokal negara kawasan. Negara-negara yang memiliki ketergantungan valas dalam transaksinya rentan atau sensitif terhadap guncangan global. Keguncangan ini harus diwaspadai karena berdampak langsung terhadap stabilitas sistem keuangan dan makroekonomi. Diversifikasi eksposur mata uang selain hard currency menjadi salah satu jalan tengahnya.
Pemikiran berikutnya adalah data ekonomi yang menunjukkan semakin meningkatnya volume perdagangan dan skala ekonomi kawasan Asia. Peningkatan tersebut selayaknya diiringi dengan penggunaan mata uang lokal yang dipandang lebih menguntungkan karena dapat mengefisienkan biaya transaksi (tidak terimbas selisih kurs), mempermudah pembiayaan perdagangan dan investasi untuk pengguna LCS, kecepatan pengiriman dana (satu zona waktu Asia), hingga kemudahan proses kepabeanan (custom clearance) bagi pelaku usaha. Dalam hal makroekonomi, LCS turut mengembangkan pasar mata uang lokal negara-negara kawasan dalam pengembangan akses dan partisipasi pelaku pasar. Kriteria tersebut merupakan kondisi akhir dari pendalaman pasar keuangan yang akan turut mendukung pencapaian kestabilan nilai rupiah.
Tidak berhenti pada penyelesaian transaksi perdagangan atau investasi, kini kerangka kerja LCS diperluas menjadi LCT. Selain berfungsi dalam settlement, ada fungsi lain yang dapat disematkan kepadanya, seperti fungsi sistem pembayaran lintas batas negara (cross border payment) yang telah sukses diimplementasikan di kawasan Asia dalam bentuk QRIS antarnegara. Selain itu, ada kebutuhan LCT untuk mendukung transaksi pasar keuangan Indonesia dengan kawasan negara mitra. Perluasan ini memastikan bahwa upaya stabilisasi rupiah semakin terbentuk dibanding mekanisme sebelumnya. Dari sisi akses pasar juga terkena dampak, seperti bertambahnya pelaku pasar, yang sebelumnya hanya pelaku usaha dan perbankan, tapi kini telah bertambah dengan ekosistem sistem pembayaran disertai perluasan underlying transaksi pasar keuangan.
Nota kesepahaman (MoU) LCS sebenarnya telah disepakati antara Indonesia dan beberapa negara mitra di kawasan sejak 2016. Berselang dua tahun, negara mitra dagang, seperti Malaysia, Thailand, Jepang, dan Cina, menjadi negara tahap pertama yang telah mengimplementasikan LCS dan LCT. Singapura, Korea Selatan, India, dan Filipina menjadi negara selanjutnya yang dijadwalkan menerapkan LCT pada periode 2023-2024. Negara-negara tersebut dipilih karena menjadi mitra utama perdagangan dan investasi langsung ke sektor industri, pertambangan, telekomunikasi, energi, konstruksi, dan properti.
Perkembangan transaksi LCS dan LCT menunjukkan kemajuan dalam enam tahun terakhir. Hingga Agustus 2023, total transaksi sementara LCS Indonesia dengan negara mitra mencapai US$ 4,3 miliar, naik dari tahun sebelumnya yang sebesar US$ 4,1 miliar (setahun penuh). Dari nilai transaksi semester I 2023 tersebut, Malaysia menjadi kontributor terbesar (10,7 persen), disusul Thailand (7,6 persen), Jepang (3,9 persen), dan Cina (0,9 persen).
Proporsi transaksi LCS terhadap total perdagangan baru 5,8 persen, tapi angka tersebut terus bertumbuh dibanding tahun sebelumnya yang sebesar 2,85 persen. Transaksi ekspor-impor Indonesia dengan negara mitra di kawasan, yang saat ini hampir 90 persen menggunakan valas, dipastikan akan terkurangi ketergantungannya. Kepercayaan ini didasari oleh komitmen antarnegara dalam mengurangi peran valas, misalnya antara Indonesia dan Cina. Cina, yang menjadi rujukan utama ekspor sebesar US$ 41,1 miliar dan impor US$ 48,78 miliar, telah melibatkan 16 bank yang ditunjuk untuk melaksanakan transaksi mata uang (ACCD) di Indonesia dan delapan bank di Cina. Bank ACCD ini menjembatani kebutuhan pelaku usaha atau nasabahnya untuk memperoleh langsung hasil usahanya dalam bentuk rupiah atau yuan.
Keseriusan lain dalam mendukung pengurangan hard currency melalui LCT ditunjukkan dengan pembentukan Satuan Tugas LCT. Satuan tugas ini beranggotakan Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan, Kementerian Luar Negeri, serta kementerian-kementerian yang berkaitan dengan perdagangan dan ekonomi. Satuan ini akan merumuskan kebijakan yang menambah kemudahan, insentif, dan percepatan pelayanan ekspor-impor bagi pelaku usaha yang menggunakan LCT. Penerapan LCS/LCT butuh waktu beberapa tahun agar terlihat hasilnya. Kebijakan ini tentu membutuhkan dukungan dan kolaborasi aktif antarpemangku kepentingan untuk bersama-sama mewujudkan rupiah yang berdaulat.
*) Tulisan ini merupakan opini pribadi, bukan pendapat institusi
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo